Ulas Buku: Mendidik dan Menjaga Psikologi Anak


Judul: Bincang Akhlak
Penulis: Takdir Alisyahbana Ridwan
Penerbit: MediaKita
Tahun Terbit: Cetakan Keempat, 2020
Tebal: 235 Halaman
ISBN: 978-979-794-595-4
Peresensi: M. A. Rahman Hakim*

Mengokohkan komitmen di tengah kemajuan yang sangat pesat, tentu tidak mudah. Apalagi yang dikokohkan berkenaan dengan ibadah. Mengapa demikian? Karena untuk dunia saat ini, orang-orang lebih sibuk dengan hal-hal materi daripada spiritual, sehingga untuk beribadah “rela” dimarjinalkan.
Peradigma seperti ini, tentu sangat tidak baik, sebab banyak hal yang akan direnggut identitasnya, entah yang bersifat realis ataupun surealis. Misalnya seperti ibadah yang hasilnya masih mengambang. Akan tetapi  meskipun demikian, ibadah wajib dinomorsatukan, karena jika hal ini dilakukan secara linear, kita akan mudah dan nyaman dalam menjalani hidup yang penuh drama ini.  Salat wajib karena berada di rukun Islam nomer dua, dan orang yang bukan Islam memang tidak dikenakan sanksi, dan lagi salat lebih baik dilakukan di awal waktu, apalagi berjamaah. Akan tetapi untuk hari ini tak sedikit orang melaksanakan salat di awal waktu. Problem yang paling sentral yaitu mengejar dunia.  
Hal di atas senda dengan tokoh novel dalam buku “Bincang Akhlak”. Dalam buku ini, tokoh “aku” yang lahir di lingkungan agamis, boro-boro berubah saat bersandingan dengan dunia pergaulan sekarang. Karena dia yang semasih kecil selalu ikut jamaah ke masjid—kebetulan bapaknya imam masjiddan ibunya juga ketat dalam hal ibadah. Sehingga orang tuanya merasa sang anak sudah kuat keyakinannya perihal ibadah.
Akan  tetapi hal itu tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh orang tuanya, meski pada awalnya ketika SD sang anak culun dan penurut.  Namun ketika SMP berubah dratis. Sang anak sudah berani mengambil uang orang tua tanpa pamit untuk (dibuat) main Play Station, tak jarang pula digunakan untuk membeli rokok. Tentu hal ini termasuk kelalaian orang tua dalam mendidik anak. Padahal seharusnya orang tua harus lebih ekstra memantau sang anak, karena realita sekarang banyak anak yang selempangan keluar dari jalur sebayanya.
 Memasuki SMA, tokoh aku semakin parah, dia semakin tidak terkontrol. Kedewasaannya mulai bergairah, pergaulannya dengan lawan jenis mulai tak mengenal batas. Ini sangat jauh dari harapan orang tua! Ketika jam pelajaran kosong dia dan teman sebayanya membeli minuman keras, dan parahnya dia hampir berzina! Akan tetapi hal tersebut tidak terealisasi, sebab dia teringat orang tua.
Dunia luar memang tidak terbayang oleh seorang anak yang selama masa kecilnya berada dikungkungan orang tua.  Meskipun sang anak lahir dilingkungan agamis, psikologi mereka tetap tidak kuat, apalagi godaan yang berkelindan berupa hal-hal enak.  Karena pergaulan anak sekarang sudah tidak mengenal batas, intinya semua yang nyaman itu boleh dilakukan, selama tidak membunuh sesamanya. Hal sangat penting untuk dijadikan bahan ajaran bagi orang tua ketika hendak melepas anak ke dunia luar tidak lupa mengontrolnya setiap saat, berbagai pertimbangan matang harus dicangangkan jauh-jauh hari, demi mewanti-wanti hal-hal yang tidak diinginkan orang tua terjadi.
Meski secara zahir, tokoh “aku” sudah kotor atau berlumurang dosa, dia tetap menjalankan ibadah wajib, khususnya salat. Senakal apapun kamu, jangan pernah tinggalkan salat. Begitulah aku, tetap salat walau berlumur dosa. (Hal.39) Hal itulah yang bisa dia lakukan selama jauh dari orang tua, dan hal itu pesan yang selalu diingatkan ibunya ketika memberi kabar.
Memang sangat sulit mempertahankan salat ketika kita krisis ekonomi. Bisa jadi salat akan dikata pengganggu rezeki, karena dikira membuang-buang waktu. Hal itu belum ke sosial, bangsa dan agama. Namun, meskipun kita berada di auto-sibuk manapun, ibadah tetap harus dijalankan. Kerena sudah menjadi kewajiban sejak  aqil-baligh. Tak ada dispensasi selagi ruh masih melekat dengan tubuh.
Hal yang perlu diprioritaskan ketika hendak melepas anak ke dunia luar  adalah keimanan dan psikologinya, karena hal ini yang akan  menemani mereka ketika jauh dari orang tua. Andai dua hal ini ditata dengan sangat baik, maka bisa jadi orang tua tidak banyak berpikir tentang keadaannya.  Semisal iman dan psikisnya kuat atau kokoh, tentu dapat dipastikan anak tidak akan ceroboh dalam bertindak, karena tahu mana keinginan atau kebutuhan.  Namun untuk memperkuat psikologi, tentu (memang) tidak mudah, namun bimbingan dan arahan orang tua tetap menjadi hal utama dalam memperkuat psikis anak.
Dari buku yang tebalnya 232  ini dikemas dengan bahasa  ringan dan jenaka.   Bisa diambil hikmahnya, atau bisa pula menarik kesimpulan, bahwa setiap usia pasti memiliki masanya, dan setiap masa pasti memiliki usianya (jika itu dikontrol dengan baik) akan melahirkan pribadi yang patuh pada orang tua dan agama. Namun jika tidak akan menjadi musibah. Sehingga buku ini bisa dijadikan sampel untuk orang tua agar selalu mamantau sang anak,  di samping buku ini sangat cocok untuk dijadikan rujukan dalam melepas anak ke dunia luar atau kehidupan yang tak mengenal batas halal-haramnya. Wallahu a’alam


*Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa
Ulas Buku: Mendidik dan Menjaga Psikologi Anak Ulas Buku: Mendidik dan Menjaga Psikologi Anak Reviewed by takanta on Juli 24, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar