Cerpen: Riwayat Kedurhakaan


 

Siapa yang sebenarnya durhaka, Bu? Tidakkah kau ajarkan apa arti dosa dan rindu? [1]


Joe tersenyum penuh kemenangan, di pinggir pantai ia memandangi nyiur-nyiur yang melambaikan ketenangan. Tiba-tiba seorang perempuan cantik datang menghampirinya membeli beberapa ikan hasil tangkapannya itu.


“Sepuluh ribu saja, Mbak,” ucap Joe.


Perempuan itu langsung mengeluarkan dompet dan memberi uang bergambar seorang pahlawan tanah air itu.


“Terima kasih abang ganteng!”


Joe tersenyum bangga mengartikan apa maksud dari perempuan itu. Pertemuan pertama dengan perempuan itu membuat hari-harinya berbeda. Tak henti-henti ia memikirkan perempuan itu, padahal tujuan ia kemari adalah mencari ayahnya. Hingga ia terdampar di pulau yang tak memiliki nama di peta itu.


***


“Bapak kenapa khianati Ibu?” suara perempuan itu pecah dengan isak tangisnaya.


“Bukan ninggalin, tapi bapak harus pergi. Semua demi masa depan anak kita. Toh, nantinya bapak akan tetap ngirim uang.”


“Uang? Uang dari Hongkong! Bapak pergi bersama perempuan penggoda itu, mana mungkin bisa mengirim uang untuk anak-istrinya di sini. Toh, pasti akan digunakan untuk menghidupi kebutuhan kalian berdua.”


Bapak Joe geram tak menyangka jika penuturan istrinya itu tepat sasaran. Tapi, baju telah dikemas, pantang untuk kembali meletakkan di lemari. Maka lelaki yang sudah hampir setengah abad itu pergi dengan membawa beberapa helai pakaian.


Joe kecil hanya menangis di pelukan ibunya. Sang Ibu kemudian berusaha keras menghidupi kebutuhan Joe, sayang Joe yang sewaktu kecil itu hanya banyak main-main dengan teman-temannya. Hingga suatu ketika, Joe mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepeda ontel temannya.


Ibunya yang menyandang status janda atau tidak itu terpaksa menjual dirinya pada bapak dari teman lelaki Joe yang dirusak sepedanya. Joe kecil hanya mendengar erengan-erengan kecil penuh gairah. Tapi, tangannya mengepal kuat, tak percaya kesalahannya yang kecil itu membuat kehormatan ibunya hilang seketika. Singkat cerita, kabar menyeruak datang di desa Joe. Sepeninggal ia bermain, ibunya menerima beberapa lelaki yang memberi rupiah setelah menikmati tubuh cantik itu. 


“Aku tak mau melihat Ibu bersama lelaki-lelaki itu. Jijik!” Joe segera protes kebiasan ibunya itu, apalagi ia sudah beranjak remaja dan menjadi lelaki yang penuh sejuta pesona.


“Aku akan bekerja, Bu. Tapi, Ibu janji tidak boleh bareng laki-laki manapun!”


Ibu Joe hanya diam, jauh dari lubuk hati perempuan setengah baya yang masih memiliki sisa-sisa kecantikan itu merasa jika kelakuannya adalah upaya membalas kelakuan Ayah Joe yang pernah menyampakkan. Buktinya begitu banyak kumbang yang datang padanya.


“Kamu tidak boleh bekerja, Nak. Di sini saja, temani Ibu.” Ibu Joe mendekati Joe dengan elusan hangat di sekitar paha.


Joe jijik seketika. Ia kemudian membereskan pakaiannya. Ia tak habis pikir kelakuan Ibunya seperti menggodanya.


***


Joe tiba-tiba mengingat Ibunya yang cantik itu, wajah setengah baya itu telah menghiasi malam-malam dalam mimpinya.


Di tempat lain, nun jauh di sana. Ibu Joe begitu menyesal atas apa yang telah dilakukannya, hingga membuat buah hatinya jauh dari dekapan. Sementara itu, begitu banyak duda-duda kaya yang ingin menghisap bunga dalam tubuhnya. Tapi, kini ia tak menerima pelayanan itu kepada siapa pun. Malah perempuan itu, kembali berusaha keras untuk mencari rezeki secara halal.


***


Malam terus berganti. Tepat setahun Joe di pulau tak bernama di peta itu. Pencapaian kerja Joe cukup fantastis, pasalnya bosnya yang jurangan kapal itu mengangkatnya menjadi menantu, bahkan memberi kapal pesiar. Bukan kapal penghasil ikan yang ia lakukan setiap harinya.


Diam-diam Joe juga berhasil menghapus mimpi akan cinta pertamanya itu, seorang gadis yang membelinya ikan. Juga mimpi akan kedua orang tuanya yang membuat tak sedikit pun rasa bangga. Kapal Joe begitu mewah, bahkan sering melakukan ekspedisi ke mana-mana.


Suatu ketika Joe pergi ke sebuah pulau kecil yang mengingatkannya akan ibunya. Tapi, pulau tandus dan tidak subur itu telah berubah. Di jalan, Joe bertemu seorang pengemis tua. Ia pun memberikan beberapa rupiah.


Dan anehnya, ketika perempuan tua menerima uang dari Joe.


“Kau Joe anakku,” kata perempuan itu senduh.


Joe tak melihat sedikit pun tanda jika perempuan itu adalah ibunya. Pasalnya, ibunya cantik tidak seperti perempuan tua dia hadapannya.


“Apa benar dia ibumu, Kanda?” tanya istri Joe.


“Tidak!” jerit Joe lalu mengajak istrinya berlalu.


“Dasar anak durhaka, kau tega tak mengakui aku sebagai ibumu. Hatimu begitu keras seperti batu!”


Tiba-tiba bumi seakan marah, petir-petir menggelegar. Joe langsung kaku dan berubah menjadi batu.


Perubahan tubuh Joe menjadi batu membuat istrinya menangis. Joe yang tak bisa berbahasa manusia itu hanya memberi pertanda bahwa bukan dia yang durhaka tapi ibunya? Apalagi, perempuan itu tak pernah mengajari arti dosa dan rindu. Ia juga menyesali dirinya, tidak mengenal ibunya sendiri. Sebab tubuh ibunya cantik tidak seperti sekarang.


Jika, ditanya siapa yang salah dan siapa yang benar? Sepasang orangtua dan anak ini mengaku sama-sama benar. Kemudian, saya sebagai penulis menawarkan dua pilihan. Pertama, Joe yang benar sebab dia tidak mengenali ibunya. Dia juga bisa disebut pahlawan, sebab menjadi simbol perubahan dari kemelaratan menuju kejayaan. Kedua, ibunya yang benar sebab seburuk-buruknya seorang Ibu. Tetaplah dia harus dihormati oleh setiap anak. Semua tergantung persepsi pembaca. (*)


[1] Potongan dari puisi Indrian Koto "Pledoi Malin Kundang"


Malang, 10 Juli 2020  21:17


Gusti Trisno, mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi.  Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo).

Cerpen: Riwayat Kedurhakaan Cerpen: Riwayat Kedurhakaan Reviewed by takanta on Agustus 30, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar