Ulas Buku: Tawaf Bersama Rembulan



Judul Buku: Tawaf Bersama Rembulan

Penulis: Muhammad Subarkah

Penerbit: Republika

Tahun Terbit: Februari 2020

Tebal Buku: 360 Halaman

ISBN: 978-623-7458-40-1

 

Haji; Tunggangan Politik

Oleh: A. Zainul Kholil Rz*

Diantara rukun atau keawajiban bagi orang Islam adalah menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima. Oleh karenanya, tidak bisa dihindarkan lagi, bahwa haji menjadi ritual tahunan oleh umat Islam. Sebab ibadah haji memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama orang Islam. Teruma bagi yang sudah berhaji pasti mempercayai pengalaman religius dan spritual yang tidak bisa dilupakan. Dimana pengalaman tersebut tidak bisa didapatkan dari ritual wajib lainnya. Akan tetapi ibadah haji hanya dilaksanakan oleh orang yang memiliki kemampuan finansial, bagi yang tidak, cukuplah salat Jumat diistiqomahkan.

Orang yang sudah berhaji akan diyakini memilik kekuatan spritual meski tidak tampak kepermukaan. Hal tersebut tidak berlaku bagi suku Bugis pedalaman Sumatera. Bagi mereka, orang yang sudah berhaji akan langsung menjadi panutan, pemuka agama, dan tabib desa. Suku Bugis memiliki keyakinan bahwa orang yang tidak bisa melaksanakan ibadah haji belum menjadi muslim yang utuh. Bagi kami suku Bugis, haji adalah kehormatan, tak berhaji bagi orang Bugis melum menjadi muslim yang utuh. (Hal.26)

Buku karangan Muhammad Subarkah ini, mencoba menyajikan cerita tentang haji; kisah haji masa kerajaan Nusantara (mataram, demak, dll), Kolonial Belanda, dan politik di masa sekarang. Buku ini tak ubahanya sebuah catatan perihal ke khasan ibadah haji orang nusantara, khususnya Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Aceh. Haji dalam pandangan suku-suku tentu tidak sama. Seperti haji orang Jawa yang lebih, untuk kalangan raja, ingin melegitimasi kata sultan di depan namanya kepada Musyanif Mekah. Untuk kalangan priyai dijadikan sebagai pemererat hubungan bilateral Arab dan Nusantara (Indonesia). Terlepas dari itu, haji hanya menjadi kewajiaban beragama Islam saja.

Antusiasme orang Indonesia dalam berhaji sangat kuat dan kompak. Bahkan orang Indonesia lebih mementingkan berhaji dari pada negaranya. Inilah alasan mendasar mengapa orang Indonesia atau Asia Tenggara dijuluki jamaah terbanyak diantara negara lain.  Meski letak geografis sangat jauh dari pada negara-negara lain, tidak menjadi alasan untuk tidak berhaji. Karena orang Indonesia memiliki keyakinan untuk menyempurnakan keislaman, maka berhaji menjadi penutup ibadah umat Islam. Maksudnya, orang yang sudah berhaji akan dianggap telah menyelesaikan kewajibannya dalam konteks rukun atau ritual yang ada dalam Islam itu sendiri.

Akan tetapi dari haji itu sendiri terkadang ada misi-misi tertentu. Bisa jadi misi tersebut bernuansa politik. Misal seperti Sultan Agung yang saat itu masih menjadi pangeran mahkota di kerajaan Mataram. Beliau meminta restu ada kata Sultan di depan namanya ketika naik takhta. Beliau ingin menjadikan hal tersebut sebagai mementum sebagai datangnya era baru. Sebab dari dulu gelar pangeran kehormatan selalu menggunakan peninggalan Majapahit, yakni Susuhan. Beliau ingin mencari legitimasi kepada para wali/ulama yang saat itu menjadi kekuatan utama politik dan sosial di kerajaan. (Hal.79) alasan inilah yang mendasari mengapa Sultan Rangsang atau Sultan Agung ingin memberikan gelar sultan di depan namanya.

Melangkah jauh ke depan. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh para calon  presiden Republik Indonesia ketika pemilihan sedang berlangsung atau ketika melakukan kampaye. Biasanya calon presiden akan berkunjung ke Mekah dengan dalih ingin ibadah. Padahal dibalik itu ada maksud lain, yakni ingin mendapat perhatian lebih dari umat Islam. Karena Indonesia tidak membatasi beragama atau keyakinan, dan kebetulan  dari kemajemukan ini, umat islam masih menjadi kaum mayoritas diantara agama yang ada di Indonesia.

Meskipun haji “terkadang” menjadi tunggangan politik. Hal tersebut tidak mengurangi keabsahan eksistensi haji itu sendiri sehingga substansi haji tercemari. Dengan opini tersebut, akan muncul pertanyaan. Ada apa dengan haji? Mengapah Haramain yang menjadi objek dalam berpolitik? Bukankah haji tidak bisa menaikan suara rakyat? Lantas mengapa haji yang suci ini menjadi tunggangan? Hal tersebut seolah mengidikasikan, meski tidak spesifik, haji bisa memenangkan perebutan kekuasaan.

Muhammad Subarkah cukup ulet dalam mengumpulkan cerita-serita dalam bukunya. Bagaimana tidak? Buku dengan empat bagian ini ia tulis atau kumpulkan dalam rentan waktu yang cukup lama. Walaupun pengerjaannya cukup lama, hal tersebut tidak mengurangi keautentikan dalam berbagi pengalaman. Buku bersampul biru ini memang tidak menarasikan haji secara praktek, melainkan cerita-cerita yang dilakukan ketika pemberangkatan dalam perjalanan sampai di Haramain, atau sebaliknya dari Haramain sampia pulang kembali.

Sejatinya buku ini cukup unik dan asyik untuk dijadika sebagai teman santai. Sebab bahasa yang digunakan oleh penulis adalah bahasa keseharian. Tentu buku ini tidak akan mengernyitkan dari pembaca. Justru dua sudut bibir akan sama tertarik  karena cerita sebagian kecil ada yang jenaka. Namun yang pasti, buku ini tetap menyuguhkan wawasan pengetahuan tentang histori berhaji dari abad ke abad. Sekadar berusul, jika buku ini hendak dicetak ulang, alangkah baiknya perbaikan diksi dan titik-koma menjadi perhatian penting. Meski terdapat problem buku ini tetap layak dijadikan pengalaman imajinasi bagi pembaca.

 

*Mahasiswa Istitut Ilmu Keislaman Annuqayah
Ulas Buku: Tawaf Bersama Rembulan Ulas Buku: Tawaf Bersama Rembulan Reviewed by Redaksi on September 04, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar