Aksi, Puisi, Puisi Aksi



Puisi yang lahir dari realita akan abadi tidak lekang dimakan masa.

Oleh: Dani Alifian

Ketika negara tengah gonjang ganjing, sementara penyair sebagian menjelma penyair salon, yang pernah ditulis WS Rendra terpisah dari kenyataan, sementara ketidakadilan berada di sampingnya.

Omnibus law memang tidak mengatur soal puisi, dan penyair. Tetapi, sebagai bagian satu kesatuan dari masyarakat yang hak-haknya direnggut pemerintah penyair memang selayaknya mengkritisi lewat karya.

Gerakan perlawanan melalui jalur puisi bukan perkara baru. Jauh sebelum peradaban postmodern lahir, Revolusi Perancis pada abad ke 19 melalui dunia kesusastraan Prancis, Lamartine, Vigny, Musset, dan Hugo adalah figur-figur utama yang mengusung romantisisme puitis. Dengan merayakan hasrat, kebebasan, dan pilihan politik, mereka menyatakan kebencian terhadap tatanan sosial masyarakat borjuis dan penolakan terhadap segala bentuk konformisme (Intan T, 2018-1).

Di Indonesie, gerakan vis a vis pemerintah melalui jalan sunyi telah mulai di inisiasi oleh Angkatan 45, melalui Chairil Anwar ia pernah menuliskan sebuah puisi berjudul “Karawang Bekasi.” Berilah kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian, representasi dari perjuangan bangsa Indonesia yang tengah terjerembab melawan kolonial Belanda. Tidak selesai di Chairil, WS Rendra yang terkenal dengan Sajak Sebatang Lisong begitu gagah gempita menyuarakan ketidakadilan masa Orde Baru.

WS Rendra bisa begitu dekat dengan keresahan sosial. Sebagai bentuk tanggungjawab moral seorang penyair, yang memang sebuah karya puisi layak hadir bersamaan sekaligus menjawab persoalan sosial. WS Rendra bahkan tidak pernah lekang karya puisinya hingga kini.

Lalu, ada sosok Wiji Tukul penyair yang lenyap entah ke mana. Ia telah menjadi korban pemberangusan secara nyata. Buku puisinya berjudul “Nyanyian Akar Rumput” acap kali dikutip beberapa bait yang dituliskan pada pamflet jalanan, tembok tembok, dan halaman sosial media. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan!. (Wiji Thukul, 1986).

Rekam jejak sejarah memberi pemahaman bahwa puisi mesti selalu dekat dengan realita sosial. Puisi menjadi semacam jalan lain (alternatif) menanggulangi kondisi berantakan. Penyair angkatan 2000-an ke atas memang tidak memunculkan nama-nama moncer seperti pada angkatan sebelumnya. Dapat diamati dari beberapa aksi demonstrasi, tidak banyak penyair yang turut melibatkan suara lantangnya di mimbar-mimbar orasi. Padahal, senyatanya puisi menjadi jalan alternatif terbaik guna menyuarakan kritik. Kritik yang lantang dengan kata kata elektoral hanya menghasilkan ketidakpastian, sementara kritik yang dibangun melalui majas (puisi, red) menjelma letupan yang abadi sepanjang masa.

Suara Sumbang

Kritisasi terhadap kondisi senjakala kepenyairan terepresentasi dari tidak adanya nama motorik dari dunia penyair untuk menanggapi soal Omnibus Law. Terlalu sibuk mengeluh akan rentetan panjang isi dari Omnibus Law hingga lupa menuliskan bentuk ketimpangan.

Suara itu sumbang, nyanyian akar rumput Wiji Thukul yang masih bertahan. Sementara angkatan pasca Wiji, Rendra, dan Chairil membenamkan pada isu popularitas. Jalan alternatif masuk pada realita sosial, mengamati carut marut lingkungan, masuk pada ke dalam batin, menghasilkan reflektif yang mungkin bisa menjadi acuan masyarakat luas.

Ke dalam batin selalu menghasilkan karya yang murni, banyak contoh representatifnya. Penyair menjadi penting berkelindan, lalu turut serta bertanggap pada permasalahan sekitar, sebab sastra hingga detik ini masih diimani sebagai jalan suci. Saat demonstrasi menghasilkan “anti demo,” perebutan kontestasi, tunggang menunggangi, tutup menutupi, sikut menyikut, tumpu menumpu, jalan kesunyian harus ditempuh.

Penyair memang bukah tokoh agamawan, bukan akademisi, apalagi ahli hukum, Tetapi, saat memasuki dimensi realita sosial dan kemanusiaan, penyair sebagai pembebas dari realita yang kini telah banyak tersandera kepentingan.

Kemana Penyair Indonesia, Kini?

Banyak, penyair Indonesia tidak sedang krisis. Bahkan, dari bujur barat hingga ujung timur penyair bertumpah ruah. Hanya saja, penyair yang mau terlibat langsung ke lapangan, bergerak bersama rakyat, menyadarkan lewat puisinya memang sulit ditemukan.

Puisi hari ini, sedang sibuk pada miss persepsi romantisme Victor Hugo. Romantisme dimaknai sebagai puisi laris, alunan kata kamaran puitis yang dikirim pada pacarnya agar merasa senang. Sementara, rasa panggung rendra sempat saya sadur. Menghasilkan sebuah puisi begini, ini adopsi dari “Sajak Sebatang Lisong.”

 

Hari Ini DPR.

 

Menghisap bau kotoran

melihat senyum investor,

mendengar suara “sah” , ketok palu kala rakyat lengah,

dan di senayan

DPR menutup telinga, senang ngantuk

mengencingi hak hak dua ratus juta rakyat Indonesia! 

 

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku mengamati Omnibus Law di legalkan begitu saja.

Buruh merintih, seolah hari esok telah tiada.

 

Aku aksi,

tetapi aksi ku bakal

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan gedung menggaung tinggi

yang telah terlepas dari persoalan kehidupan

 

 

Sembilan juta buruh

menghadapi satu persoalan ribet,

tanpa pilihan

tanpa ada yang mendengar,

tanpa sengau, tanpa ada pelipur senang

tanpa ada bayangan ujungnya.

…………………

 

Menghisap ketek para penguasa

yang baunya semriwing,

aku melihat mahasiswa turun ke jalan

aku melihat para buruh menuntut keadilan;

aku melihat wanita pekerja

menjemput sedikit keringanan

 

Dan di senayan;

para DPR berkata :

 

bahwa ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

syarat dan ketentuan berlaku,

bahwa bangsa mesti jadi pekerja;

sehari 7 jam,

disesuaikan dengan teknologi yang telah menjelma teknokrasi

 

Gedung gedung menjulang.

Tirani pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terbungkam,

terhimpit di bawah jas hitam dasi merah

dan uang berlogo Pejuang kemerdekaan.

 

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat politisi politisi anggur,

yang menggaungkan tentang kesejahteraan, keadilan sosial,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan sembilan juta buruh tanpa uang pensiunan

termangu-mangu di bawah langit temaram

 

Mahasiswa memperjuangkan pencabutan

Buruh membela hak nya

aktivis lingkungan jangan lah bersedih;

bangsa ini akan mengaum

jika gedung putih di depan ini

kita duduki, hari ini kita berhak menerima fasilitas

yang asal muaranya dari rakyat

dibangun dari

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

yang kini menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

………………

 

Kita harus berhenti menjual keringat buruh

Diktat-diktat hanya boleh untuk negeri sendiri,

kita sendiri mesti merumuskan keadaan, jangan terus berkaca ke Barat!

DPR mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

 

 

//////

Inilah sajakku

Kegelisahan masa darurat.

Apakah artinya omnibus law

bila hanya membuat derita tak berkesudahan.

Apakah artinya wakil rakyat,

bila terpisah dari keadilan.

Dan apakah artinya mahasiswa

Bila kritik terus dibungkam

 

 

2020

Puisi ini, memang belum terbacakan saat aksi di kota Malang. Minimal ada niat, kehadiran puisi bukan sebagai upaya eksistensi sebagai penyair yang benar terjun ke lapangan. Perlu dipertegas, penyair itu bukan saya, Saut Situmorang, Hasan Aspahani, Kim Al Ghazali, Beni Satryo, Binhad Nurrohmat, merekalah penyair. Xixixix. 

Aksi, Puisi, Puisi Aksi Aksi, Puisi, Puisi Aksi Reviewed by Redaksi on Oktober 26, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar