Cerpen: Sebuah Cerita di Hari Pernikahanmu



19 Mei 2019, 17:20 WIB

 

Jam dinding terus berdetik: tik... tik... tik.... Hujan mengguyur di luar. Di atas kursi kayu, seorang laki-laki tua memalingkan pandang ke luar jendela loteng. Matanya menatap begitu jauh—bahkan melebihi jarak mata dan benda-benda. Sangat jauh. Dan kosong. Namun ada suatu putaran perasaan menariknya; seolah-olah membuatnya ingin melompat ke dalamnya: masa lalu itu. Benar-benar ingin, tepatnya. Ia ingin melompat ke Terminal Tawang Alun akhir dekade 90-an. Kembali pada masa melepaskan, meninggalkan, dan—harus—melupakan. Meski, sesungguhnya tak ada yang benar-benar bisa dilupakan, dan ia tahu itu. Sesuatu yang telah terpotret oleh mata, bercokol dalam ingatan kepala, sesuatu yang benar-benar menyedihkan dan telah berumah di dalam kepala, hanya bisa menunggu waktu dan satu-satunya penawar hanyalah berdamai dengannya. Itu pun, jika mungkin.

 

Tapi berdamai memang tidak semudah itu. Dan ia juga sudah tahu itu sejak awal. Untuk itulah ia selalu ingin melompat, tapi bukan untuk masa lalu. Sebelum ini berkali-kali ia ingin melompat: dari tepi jembatan, dari tebing, dari jalan layang, gedung bertingkat, bahkan dari balkon lantai dua rumahnya. Tapi selalu gagal. Tak ada yang benar-benar bisa dilupakan pada akhirnya. Malah, itu semua bercokol menjadi ingatan baru. Kemudian ia menyerah. Benar-benar menyerah setelah cukup lama mencoba dan gagal. Hingga akhirnya kini ia hanya menyisakan satu keinginan untuk melompat: ia hanya ingin melompat ke masa lalu, bahkan semisal itu adalah sesuatu yang mustahil, ia masih ingin melompat, setidaknya melalui ingatannya....

 

***

 

“Ah, bukankah manusia memang disiapkan untuk terluka,” akunya kemudian. Meski terasa berat pada mulanya.

 

Namun ajaib. Benar-benar ajaib. Justru dengan kalimat itu kini ia mulai berhasil melompat, melalui ingatannya, kembali ke Terminal Tawang Alun tahun 1999. Apa ini? Ia tak pernah menduga sebelumnya, bahkan setelah cukup lama: berdamai yang ia cari selama ini ternyata harus dimulai dari satu peristiwa ke peristiwa. Masuk lebih dalam meski itu berarti membuka lebih lebar ngilu pada dadanya.

 

Masih di tempat yang sama, di waktu yang sama, dan dalam keraguan yang sama; ia mulai menutup mata.

 

Ia melihat setangkai mawar di atas meja. Masih segar dan ada surat kecil bertuliskan Untuk Alenia di sampingnya. Ia semakin masuk ke dalam, lebih dalam lagi, dan ia melihat seorang laki-laki di depan cermin. Ia langsung mengenalinya, laki-laki itu adalah dirinya. Benar, dirinya sendiri di waktu yang lain, di semesta dan takdir yang lalu, yang telah lewat.

 

Laki-laki di depan cermin—dirinya sendiri di masa lalu—itu mengenakan tuksedo hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu hitam ditambah celana hitam dan kacamata tebal. Sangat gagah. Melihat itu senyumnya agak terangkat. “Setelan itu masih kusimpan rapi. Bahkan setelah cukup lama.”

 

Senyumnya, berangsur-angsur semakin terangkat.

 

Tapi sekonyong-konyong senyum itu menghilang, seiring ia membatin, “Tunggu, seandainya kau—aku di waktu itu—tahu takdir ini sejak awal!” Dan penyakit itu mulai datang; penyakit bernama penyesalan. Penyakit penyesalan yang juga telah membuatnya menderita bertahun-tahun. Yang akhirnya menempatkan takdir sebagai satu-satunya terdakwa dalam kasus meninggalkan itu.

 

Namun ketika ia masuk jauh lebih dalam, ia menemukan hal lain: seandainya aku tahu takdir itu sejak awal, maka tak akan ada ‘aku’ pada detik ini, pada waktu-waktu setelahnya. Tak ada aku yang melompat ke masa lalu. Tak ada aku yang berulang kali mencoba mengakhiri hidup dan selalu gagal. Bahkan, bukankah aku sendiri pun tak pernah tahu jika itu selalu berakhir dengan kegagalan?

 

Kemudian senyum itu kembali merekah pada bibirnya. Ia telah menemukan satu keyakinan: takdir bisa begitu menyenangkan justru karena misteri yang dikandungnya. Ketidaktahuan tak selamanya buruk, batinnya. Malah, bisa begitu membahagiakan. Setidaknya untuk saat ini. Cara terbaik berdamai dengan masa lalu adalah dengan mengingat lebih dalam; dari satu peristiwa ke peristiwa lain.

 

Laki-laki di depan cermin—dirinya di masa lalu—itu terlihat seperti patung. Berdiri, hanya terdiam, dan tatapannya lurus ke depan. Kemudian ia ingat, justru pada bagian itulah segalanya bermula. Ngilu semakin menjalar pada dadanya. Melihat tatapannya yang  nanar namun kosong, ia bergumam lirih, ah, waktu hanyalah ruang-ruang tragedi. Misteri dan waktu lahir bersama pada akhirnya.

 

Kemudian ia masuk lebih dalam, melompat ke waktu setelahnya: dan tiba-tiba ia berada di dalam bus yang bergerak pelan. Sangat pelan dan berbelok keluar meninggalkan Terminal Tawang Alun, di tahun 1999. Matanya sama sekali tak menghiraukan kumpulan orang-orang yang berdesakan, tangis bayi yang kepanasan, pedagang asongan yang sibuk menjajakan, kecuali pada satu wajah yang lagi-lagi begitu ia kenali. Wajah itu... adalah dirinya, di dalam bus yang meninggalkan Terminal Tawang Alun di tahun 1999 itu.

 

“Aku ingat hari itu.” Kemudian ia kembali tersenyum hangat. “Hari yang benar-benar indah untuk bersedih,” tambahnya.

 

Ia melihat dirinya sendiri termenung di samping jendela bus, memandangi jalanan seolah-olah tak ada yang benar-benar pasti. Sebab dari dalam bus yang bergerak, semuanya juga terlihat bergerak. Termasuk air matanya. Ternyata pada masa itu aku cukup memalukan, batinnya. Kemudian senyumnya semakin terangkat; ia berhasil tersenyum lepas untuk pertama kali. Memang cukup memalukan, tapi seandainya ia bisa berbicara kepada dirinya sendiri di waktu itu, ia yakin dirinya di waktu itu akan membantah keras. Kesedihan paling dalam telah menanggalkan segalanya, termasuk rasa malu bagi seorang laki-laki sekalipun.

 

Pada detik ini ia mulai bisa berdamai justru ketika ia menelusuri kembali kejadian dan sumber luka yang telah berumah dalam kepalanya cukup lama. Atau bahkan sangat lama. Dibiarkan tak tersentuh dan sengaja ia hindari. Seperti perabotan lama di dalam gudang.

 

Tiba-tiba—entah karena apa—ia merasa disentak. Disentak begitu keras hingga melemparkan kesadarannya kembali. Ia membuka matanya perlahan. Begitu pelan dan di luar, hujan masih belum berhenti. Kopi hitam di atas meja terlihat sudah tak mengepul. Bahkan sudah benar-benar dingin ketika bibirnya menyeruput kopi itu. Ah, sudah berapa lama aku melompat ke masa lalu? Tanyanya kepada diri sendiri, pada kesepiannya sendiri.

 

Ia memalingkan muka ke tempat jam dinding—yang masih dan akan selalu berdetik. Tik... tik... tik... jarum jam menunjukkan pukul 23:55. Ia sedikit terperanjat, cukup lama ternyata, batinnya. Tapi kemudian ia menambahkan, aku tak pernah mengira sebelumnya melompat dan berdamai dengan masa lalu ternyata bisa begitu menyenangkan.

 

Kemudian ia beranjak dari kursi, bergegas menuju almari kayu jati di pojok ruangan yang sudah lama tak ia sentuh. Almari itu tak dikunci, ia membuka pintunya dan langsung mengambil setelan miliknya yang masih tergantung rapi: tuksedo hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu. Sepucuk surat dan mawar kering terlihat mencongol dari saku kemeja itu. Tanpa basa-basi ia bergegas mengenakan setelannya kemudian berjalan mengambil lilin di dalam laci dan kembali ke tempatnya semula, menuju kursi kayu di dekat jendela loteng.

 

20 Mei 2019, 00:09 WIB

 

Hari telah berganti.

 

Ia meletakkan lilin itu di atas meja, menyulut sumbunya, meletakkan mawar kering di sampingnya, dan membuka amplop surat yang bertuliskan Untuk Alenia itu.

 

Ketika matanya menangkap isi surat itu, senyum lagi-lagi mengembang pada bibirnya. Surat itu benar-benar singkat; hanya berisikan puisi “Aku ingin” milik Sapardi dan ucapan ‘Selamat ulang tahun Alenia’.

 

Ternyata, gumamnya, berdamai dengan kenangan getir tidak terlalu buruk pada akhirnya. Cepat-cepat ia merogoh saku celananya, mengambil pena yang selalu ia bawa ke mana-mana kemudian menambahkan isi surat itu:

 

Selamat ulang tahun Alenia dan semoga selalu berbahagia di hari pernikahanmu ini.

 

20 Mei 2019, pukul 00: 16, jarum jam tetap berdetik di dalam loteng itu: tik... tik... tik... Dan kemudian laki-laki tua itu meniup lilin di atas meja dengan embusan pelan.... (*)

 

*Untuk Mas Alip dan jutaan laki-laki yang merasa pernah ditinggalkan....

 

Haryo Pamungkas, lahir di Jember, Jawa Timur. Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Menulis cerpen, esai, dan puisi sejak 2017. Bukunya yang akan segera terbit, Mawar dan Mayat (Kumpulan Cerpen, 2020).    


Cerpen: Sebuah Cerita di Hari Pernikahanmu Cerpen: Sebuah Cerita di Hari Pernikahanmu Reviewed by takanta on Oktober 11, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar