Cerpen: Tradescantia



Kucing yang sejak tadi memperhatikanmu seolah tidak mau beranjak dari atas pot yang kamu isi dengan tanah, tapi tidak pernah kamu tanami tumbuhan apapun. Sejenak kamu merasa kesal dengan kucing itu, untuk apa memperhatikanmu tanpa berkedip sama sekali. Kamu berpikir barangkali kucing itu jelmaan makhluk astral atau seorang pangeran yang dikutuk menjadi seekor kucing. Mustahil, tapi sialnya kamu percaya pikiran konyolmu sendiri.


kamu membiarkan kucing itu di tempatnya, mencoba berpikir waras. Mungkin saja hanya kucing kampung yang tidak ada kerjaan. Kamu beranjak dari kursi rotan di teras depan. Masuk ke dalam rumah dan membiarkan kertas gambar milikmu tetap berserak, hanya palet dan tiga kuas kecil yang kamu bawa masuk. Barangkali kamu lupa atau memang sengaja.


Langkahmu berat menuju kamar, seperti mendikte perasaan yang semakin hari semakin buyar. Matamu menyapu ruangan, saat melihat kalender seketika saja berhenti.


“Sudah tanggal sembilan, genap satu tahun dia pergi. Harusnya aku sudah lupa apa-apa tentangnya. Tapi kenapa masih jelas begini.”


Kamu menghela napas berat. Menghembuskannya dengan kasar. Barangkali kamu memang benar-benar kesal karena hatimu masih nyeri. Sekelebat kenangan tentangnya malah asik memenuhi pikiran yang tak pernah terkendali. Mengingat janjinya yang tidak ditepati sama sekali. Mengingat saat kamu ditinggalkan demi ego dan bosan. Iya, cinta memang tidak harus memiliki, tapi juga tidak mudah untuk melepasnya pergi.


Lamat-lamat kamu menatap kalender. Matamu berair. Saat kamu sadar, ternyata sudah dua jam kamu mentap kosong ke arah tembok. Kamu membuang pikiran-pikiran tentang mantan kekasihmu, meski nantinya akan kembali lagi tanpa diminta. Handuk merah jambu yang tergeletak di atas kasur dan sedikit menjuntai ke lantai mengingatkanmu untuk segera mandi.


***


Sebuah toples acar sengaja kamu letakan di atas meja kayu dekat jendela. Toples yang berisi tanaman hias yang identik dengan daun bergaris putih, hijau, dan silver. Kamu tetap menjaga tanaman itu agar tanahnya tidak terlalu lembab. Berhati-hati sekali ketika menakar air saat menyiram. Tanaman yang kamu dapat dari toko bunga kecil yang sudah tua di tepi kota.


Bagimu yang penyuka tanaman, tanaman yang berada di toples acar itu sangat sederhana, tidak ada yang istimewa. Hanya saja setiap datang senja tanaman itu menangis. Tangkainya meneteskan air perlahan. Kamu pernah mencicipinya, rasa asin khas air mata. Suatu hari kamu meneliti kalau-kalau tumbuhan itu memiliki mata pada tangkainya. Nihil. Tangkainya sama seperti tumbuhan pada umumnya. Lalu apa yang membuat tanaman itu menangis?


Kucing yang tadi kamu lihat di teras tiba-tiba saja berada di bawah meja tempat tanaman hiasmu diletakkan. Kamu sedikit heran kenapa kucing itu berada di kamarmu. Bulu kudukmu berdiri, ngeri membayangkan kucing itu sebagai hewan jadi-jadian. Matamu menoleh ke arah jendela.


“Ah, ternyata aku lupa menutup jendela. Barangkali kucing itu masuk lewat jendela.” Kamu bergumam.


Dan kamu memutuskan tidur.


Tepat saat kamu terlelap, sebuah tangan mengusap rambutmu dengan lembut. Menyentuh pipi yang sejak kemarin basah oleh air mata. Barangkali kamu merasakan hangatnya tangan itu di kulitmu yang gigil. Tapi matamu terus saja terpejam, seolah kamu menemukan ketenangan di dalam tidurmu yang tak seberapa nyenyak.


Kucing putih itu adalah hadiah untuk kamu, Ryn.


Kamu merasakan sesuatu yang hangat di keningmu, seketika kamu bangun dan membuka mata. Tidak ada siapapun. “Mungkin hanya mimpi. Tapi kenapa terasa nyata?” Kamu masih mengantuk, dan memilih tidur kembali.


Paginya kamu melihat tanamanmu mengeluarkan cairan yang bukan lagi seperti air mata, melainkan darah.


“Apakah getahnya memang berwarna merah? Tapi tidak ada batang yang patah.Berkali-kali kamu memeriksa dengan teliti tumbuhanmu. Barangkali ada bagian yang terlepas dari pandangan. Bagian yang meneteskan cairan merah itu sama sekali tidak ada yang rusak.


Lama-lama baunya semakin anyir. Jelas ini bau darah, pikirmu.


Dan entah kenapa, saat kau melihat dan mencium baunya, ingatanmu melambung jauh. Melambung ke masa di mana seorang laki-laki yang terkapar di sebelah bunga kesayanganmu. Laki-laki itu terkapar dengan darah di bagian kepalanya. Kedua matanya melotot ke arahmu dan tak pernah berkedip lagi. (*)


 

Wilda Zakiyah, lahir di Situbondo. Mengingat sesuatu adalah hobinya.


Cerpen: Tradescantia Cerpen: Tradescantia Reviewed by takanta on Desember 27, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar