Cerpen: Menggadai Kebahagiaan




"Sam!"


"Sam, bawalah bekal ini buat sarapan!"


Sam, Samudra, dikenal sebagai pemuda tanpa lengkung senyum di bibirnya. Ia berjalan agak lunglai menghampiri pria yang terus berusaha menghentikan langkahnya yang sudah menginjak aspal jalan. Tidak peduli meski ia dikepung oleh tatapan tetangga sewaktu menampik kotak bekal dari tangan papanya.


Sam cukup senang disebut sebagai anak yang nakal. Dengan begitu, ia tidak perlu bersikap manis saat menikmati jam istirahat di sekolah. Satu ketika ia pernah mendengar obrolan teman-temannya. Enam dari delapan jumlah mereka, sangat bangga mendapati diri nyaris punya KTP. Mereka menyebut benda itu lambang kedewasaan. Itu artinya lelaki dewasa akan tampak mengerikan bila menenggak air dari botol minum bergambar beruang.


Sam meremas tas gendongnya bertenaga. Sementara gelagat wajahnya mendung bagai langit pagi ini. Entahlah, ia juga tidak mengerti mengapa dirinya tidak ada niatan untuk berhenti membangkang. Bertahun-tahun sampai kini, tidak ada satu pun orang yang kuasa menghentikan rasa bencinya pada Papa. Masih dengan alasan yang sama; Papa sudah melukai harga dirinya sebagai anak lelaki. Ah, sudah berkali-kali! Sampai Sam begitu ingin kabur dari rumah ini.


"Kapan Papa berhenti menyodori Sam bekal? Aku bukan anak kecil yang senang membawa makanan, Pa! Sam cuma mau Mama pulang!"


Mama, kata sapaan untuk wanita yang sudah melahirkannya itu memenuhi ladang rindu. Wanita yang memutuskan tak pulang kala langit sedang menangis. Seorang ibu yang dipisahkan dengan anaknya yang baru berusia tujuh tahun.


Betapa masih jelas terbayang dalam benak Sam. Kala itu hujan turun menemani jejak kesedihannya yang mencoba mengakhiri langkah wanita itu. Sebelum pelukan Papa menawannya di bawah derasnya hujan.


"Nak, mamamu tidak punya alasan untuk pulang. Sungguh, Papa lebih menyayangimu, Sam."


Bercahayakan lampu temaram. Kawanan rayap di kursi kayu panjang bersaksi atas ungkapan seorang pria yang tidak pernah bermain hati.


Sampai saat ini lelaki berkaus oblong itu bersikeras menggenggamkan bekal pada anak semata wayangnya. "Sudah siang, hari makin gelap. Bergegaslah sebelum kau terlambat ke sekolah karena hujan!"


Masih dengan keangkuhan yang sama, Samudra berbalik badan dan mengatakan, "Aku benci Papa!"


***


"Badai apa yang hinggap di wajahmu hari ini, Sam?" Jaka menepuk bahu Sam dari belakang.


Ia menggeser kursi plastik di sudut ruang seusai meletakkan secangkir kopi  pada Sam.


Warung kopi milik Jaka akrab menjadi tempat berlabuh saat bolos sekolah. Sejauh keakraban itu, Sam juga tahu betapa berharganya kehadiran gubuk ini di sela himpitan ekonomi yang keluarga Jaka alami.


Semenjak ayahnya kabur untuk kesenangan duniawi, Jaka dibebankan tanggung jawab merawat kedua adiknya yang baru berusia tiga dan lima tahun. Sementara ibunya mulai sakit-sakitan. Jaka pun memilih putus sekolah usai menyadari garis kemiskinan menjerat keluarganya.


"Kau selalu tahu jawabannya," kata Sam.


"Sebaiknya kau cari badai asmara saja, Sam. Biar wajahmu itu pernah merasakan bahagia. Jangan terus-terusan kau pamerkan muka kecutmu itu tiap hari padaku," terang Jaka memancing reaksi Sam berikutnya.


"Hanya perempuan hilang akal yang mau denganku," balasnya.


Dibanding perempuan, pandangan Sam lebih tertarik pada bentuk petir yang seperti ranting.


Tidak lama mata Sam pun beralih menatap rintik hujan di persimpangan jalan. Rupanya agak berbeda. Dari sini ia melihat seorang perempuan berlari kecil mencari tempat tujuan. Sam yakin ia kehilangan arah. Ah, bodoh! Jelas saja hanya gubuk ini yang menjadi tujuan terdekat untuk berteduh.


"Permisi, Dik. Bolehkah saya numpang duduk di sini?" Bagai gayung bersambut, pemuda berseragam putih abu-abu itu mempersilakan gadis sekitar umur 23 tahun tersebut duduk.


Kini Sam tidak lagi penasaran siapa nama gadis jelita itu, Kesan. Seumpama jejak yang sengaja ibunya tinggalkan, begitu ungkapnya dalam obrolan panjang tempo hari. Bagi Sam, Kesan bukan hanya sekadar nama, tetapi jarak yang lambat laun memantik relung hatinya yang padam.


Sam belajar memahami garis Sang Maha Indah kali ini. Ya, mungkin saja, takdir baik tengah berenang di lautan masygul antara dirinya dan Papa selama ini. Ataukah ini akhir dari semua yang ia alami? Ia tidak berani mendahului-Nya.


"Kau sudah berjanji minggu lalu," tagih Sam atas ajakan Kesan untuk mampir ke rumahnya.


"Bukan waktu yang pas untuk singgah," bantah Kesan.


"Aku punya ibu tiri," bisiknya lagi sembari mengalihkan raut wajah sengit ke arah Jaka.


Jaka yang sedang mengaduk kopi risih dengan tatapan itu. "Jangan bercanda, Mbak!" suaranya agak menyentak. Lalu ia menyembunyikan tatapannya di bawah kolong meja. Perkataan Kesan hampir saja menyulut emosinya.


"Ah, kau terlalu serius. Sampai tak bisa mengecap gula yang bapakmu rasakan!" ujar Kesan sebelum meminta keduanya agar esok datang.


Kesan bergegas tanpa memberi sempat pada Sam untuk menjawab.


Jaka pun langsung menyerobot Sam dengan pernyataan. "Sam! Jauhi Kesan sebelum kau menyesal. Sudahi saja kedekatan kalian. Kau tahu? Firasatku soal dia jelek semua."


"Husss, sembarangan! Sejak kapan seorang Jaka berpikiran dangkal begitu?" kritik Sam yang bersantai dengan kopinya.


"Percayalah padaku. Bagaimana juga naluriku sebagai anak masih kuat. Lihat! Dia dengan kamu itu sebelas dua belas. Menantang orangtua. Mending kamu pulang, tobat, minta pengampunan Papa dan Gusti Allah." Sam tersendak. Lalu mengelap tangannya yang terkena percikan air kopi. Ia hampir saja bersimpulan bila si Jaka ini jiwanya baru saja tertukar dengan malaikat.


"Ah, sudahlah obrolanmu makin tak nyambung. Mending aku pulang," tukas Sam seraya mengemas kembali kotak bekal yang sudah raib isinya dimakan Jaka.


"Ya sudah, terima kasih makanannya, Sam. Kalau perlu sering-sering saja, selagi papamu belum berhenti buat bekal lagi!"


***


"Sam, tolong Papa."


"Kenapa lagi?" tanya Sam setengah hati.


"Sebaiknya kamu benahi bekalmu sendiri. Papa harus masak air," terangnya beranjak ke dapur setelah melewati meja makan yang sudah tertata banyak makanan. Sam selalu berandai jika semua ini masakan Mama.


"Berhenti membuatku terlihat merepotkanmu, Pa! Lagi pula di rumah sepi. Buat apa masak air?"


"Buat kamu minum teh atau kopi. Kata Jaka kamu sering mampir ke warungnya."


"Halah, tak usah pedulikan aku!"


Modal pakaian seadanya, Sam memutuskan pergi dari rumah. Ia tak akan kembali sebelum menyaksikan senyum manis Mama pada foto dalam genggamannya.


"Tunggu kedatangan anakmu ini, Ma. Aku pasti akan membawamu pulang," tekadnya sebelum Jaka mencekal tangannya di depan gang.


"Ikut aku!" Pemuda itu tak memberi Sam pengertian. Kecuali dari ekspresinya yang masam dipandang.


Kesan datang dari balik pintu sebuah rumah.


Sam mendapati siluet seorang wanita dari balik jendela seperti sedang meraung-raung. Mungkinkah wanita itu mengalami gangguan jiwa? pikirnya tak bermaksud menanyakan itu pada Kesan maupun Jaka.


"Puas?" Jaka mendesaknya dengan pertanyaan yang sulit dipecahkan.


"Senang bertemu dengan mamamu yang gila itu?" Kesan menudingnya sambil tertawa.


"Dia wanita murahan yang sudah menghancurkan keluarga kami!"


Pecah perhatian Sam oleh sorot mata penuh dendam keduanya. Sekarang ia tahu betapa kebencian menggelapkan hatinya. Bahkan ia tak punya kepedulian untuk mencari alasan mengapa Mama pergi. Alasan yang seharusnya terungkap lebih cepat daripada kebencian, yaitu: rasa sakit keluarga Jaka dan Kesan atas kekejaman perilaku Mama.


"Itulah mengapa Papamu memberimu nama Samudra. Agar kau bersahabat dengan ombak dan batu karang di dunia yang begitu liar." Setegar itu hati Jaka sampai menuntun Sam yang tak berdaya.


"Terlambat! Aku sudah menggadaikan kebahagiaanku semata-mata untuk kembali pada masa lalu yang tidak akan pernah bisa kusentuh." (*)

 


 

Devi Tasyaroh, lahir di Serang. Suka duduk di ruang terkoneksi wifi dan berselancar di instagram. Mari berkunjung ke akun @valdrada18 untuk melihat beberapa karya picisan lainnya.

Cerpen: Menggadai Kebahagiaan Cerpen: Menggadai Kebahagiaan Reviewed by takanta on Maret 14, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar