Resensi: Kesegaran (Perjuangan) Wanita dalam Menanam Gamang



Judul : Menanam Gamang

Penulis : Dhianita Kusuma Pertiwi

Penerbit : Pelangi Sastra

Tahun : 2020

Halaman : 124

ISBN : 9786237283898

Novel spekulatif, atau biasa juga disebut distopia atau beragam nama lainnya, ialah salah satu cara yang tepat untuk merespon keadaan pandemi seperti sekarang ini. Pasalnya, pandemi covid-19 yang sedang berlangsung memang mengubah banyak hidup manusia entah dari aspek manapun. Apa-apa yang biasanya luput dari kehidupan sebelum pandemi (semisal teknologi virtual, kesadaran akan kontrol kesehatan, konspirasi, pemuasan hasrat biologis jarak jauh, dan lain sebagainya) mulai dijajaki secara masif. Dan hal-hal seperti inilah yang ditangkap dan dikembangkan dalam novel Menanam Gamang karya Dhianita Kusuma Pertiwi.

Saya pribadi tidak akan terlalu panjang membahas bagaimana karakteristik dari novel-novel spekulatif. Ini dikarenakan novel yang sudah-sudah juga memiliki pola yang tidak jauh berbeda. Salah satu contoh saja semisal tempo cerita harus dibuat sedikit lambat karena pendeskripsian sesuatu hal yang kini belum ada dengan cara yang sangat detail—dalam novel ini cukup banyak kata-kata ilmiah dan penamaan teknologi mutakhir pada masa itu yang cukup efektif dalam mendukung atmosfer semesta cerita. Atau disebabkan cerita yang berada pada tahun yang jauh, yang entah itu akan terjadi atau tidak di dalam kenyataan, prilaku-prilaku penduduk di dalamnya akan diceritakan dengan cukup jelas dengan maksud menjadi pembeda dengan dunia nyata yang kini kita tempati—ada perbedaan atau tidaknya dengan hari ini, setiap pembaca pasti mengantungi kesimpulan itu dalam benak masing-masing. Saya tidak ingin terlalu berkutat di situ.

Apa yang ingin saya bahas disini adalah rasa ketertarikan saya dengan peran tokoh di dalam cerita tersebut—khususnya tokoh wanita. Ketertarikan itu muncul tersebab dalam Menanam Gamang, saya tidak menemukan dominasi laki-laki untuk menggerakkan cerita, kalaupun ada itu sangat tipis dan tidak bisa dijadikan faktor utama. Sebaliknya, ada kesegaran dari perjuangan wanita yang ditampilkan di sini melalui dua tokoh wanita yang cukup dominan diceritakan. Keduanya sama-sama memiliki otoritasnya masing-masing atas hidupnya, namun dengan pergerakan yang berbeda. Ialah Leah N. dan Eva H.

Saya tidak ingin terjebak dalam keterburu-buruan memahami fenomena tumpulnya tokoh lelaki dan superiornya tokoh wanita dalam novel ini. Untuk itu saya akan mencoba membacanya melalui perspektif Valerie Solanas dengan bukunya Manifesto Perlawan Perempuan. Saya menemukan keterkaitan antar kedua buku tersebut, namun sebelum masuk ke kaitannya, ada baiknya sedikit saya parafrasekan kedua tokoh wanita yang sedari tadi saya singgung.

Leah N. adalah seorang wanita dengan jabatan Ketua Badan Kesehatan di negara Ygeia—tempat dari semesta fiksi novel tersebut. Ia begitu kagum dengan ayah dan kakekknya yang bekerja sebagai ilmuwan dan penemu vaksin untuk pandemi yang terjadi kala ia masih kecil. Sayangnya, ayah dan kakeknya tidak punya kuasa dalam urusan kebijakan sehingga penemuan mereka selalu terhalang oleh aturan-aturan negara. 20 tahun setelah itu, Leah N. telah menjadi solusi dari kementokkan ayah dan kakeknya. Ia sangat terobsesi untuk menjadikan Ygeia sebagai negara yang selalu aman dari pandemi. Silakan baca novel ini dan diakhir cerita anda akan menemukan kesialannya atas pandemi yang kembali terjadi di Ygeia.

Eva H. adalah wanita yang bekerja sebagai camgirl dalam aplikasi Girls on Cam (GoC). Sebelumya ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang pada akhirnya harus meninggalkan keilmuawannya karena menganggap dokter dan ilmuwan sebagai sekumpulan manusia yang ingin menantang alam bahkan menghilangkan kodrat manusia sebagai mahluk hidup. Kesadaran ini ia dapatkan setelah mendengar racauan ambisi yang hampir rampung dari ayahnya—Profesor Boaz H. si perancang bioteknologi ternama—sebelum mati. Tidak berlama-lama, setelah ayahnya tiada, Eva H. pindah kuliah ke jurusan filsafat (sebenarnya saya tidak tahu urgensinya pindah ke jurusan filsafat sementara kesadarannya akan dirinya yang penentang sudah didapatkan sebelum masuk jurusan filsafat) dan kelak menjadi camgirl.

Kedua tokoh di atas adalah wanita yang memiliki andil besar dalam sorotan narator. Sama-sama wanita, sama-sama memiliki otoritas, namun mengapa mereka berdua saling membenci (bukan pergesekan langsung antar tokoh melainkan hanya sebatas Eva H. membenci orang-orang seperti Leah N. dan sebaliknya begitu)? Jika kita menelisiknya dari perspektif feminisme yang menganggap bahwa musuh dari kedua tokoh di atas adalah laki-laki—pertentangan antar gender—maka dalam novel ini kita akan dibuat keliru. Lantas perjuangan macam apa yang relevan atas kedua tokoh tersebut?

Di sinilah peran Solanas menjadi berfungsi. Mari sedikit bergeser pada apa yang ditulis oleh Solanas pada manifestonya. Pada paragraf pertama pembuka manifestonya, Solanas memberikan pengantar: rasanya bosan bukan main untuk hidup dalam masyarakat yang hanya memberikan tempat kepada para perempuan beradab dan bertanggung jawab, sedangkan mereka yang menggebu-gebu untuk menggulingkan pemerintah, menghilangkan sistem uang, menjadikan lembaga otomatisasi, dan menghancurkan patriarki, malah dianggap tidak relevan (hlm. 1).

Solanas menganggap bahwa lelaki hanyalah manusia yang tidak lengkap dan tidak mampu memiliki sifat sosial yang diperlukan untuk membangun dunia. Lelaki hanyalah penyebar racun patriarki untuk memanjakan dirinya. Dominasi lelaki yang telah terjadi sejak lampau, kini telah diserap dengan baik oleh banyak wanita. Ini menyebabkan musuh dari feminisme lewat kaca mata Solanas bukanlah laki-laki yang ia anggap sebagai produk gagal dalam kehidupan dan sebaiknya diasingkan saja ke suatu tempat. Musuh utama wanita adalah sistem warisan patriarki dan wanita itu sendiri yang—entah sedang berkuasa atau tidak—malah melanggengkan sistem patriarki. Fokus utama Solanas adalah menggalang kekuatan bersama wanita dan lelaki yang setuju olehnya, kemudian memberangus segala sistem yang merepresif.

Novel ini seperti ada di dalam payung Solanas. Bisa ditelisik dari tokoh lelakinya yang tidak terlalu memiliki fungsi apapun kecuali membayangi tokoh wanitanya. Ayah dan kakek Leah N. adalah ilmuwan yang tidak berdaya ketika ingin meluncurkan penemuan vaksinnya. Ayah Eva H. tidak jauh berbeda, ialah ilmuwan yang hanya selesai pada obsesi dirinya saja. Belum lagi Barnabas R. dan Abram M. Keduanya hanyalah pion-pion yang difungsikan untuk dipermainkan oleh Eva H. Dari banyaknya ketakberdayaan tokoh lelaki, tentu saja jika kita masih menganggap bahwa feminisme adalah wanita vs. lelaki, di dalam novel ini tidak akan ditemukan pertandingan yang imbang. Pertentangan antar gender mungkin sudah usang dan perjuangan wanita bukan lagi ke arah sana.

Manifesto Solanas saya rasa adalah babak baru dari pertentangan macam apa yang akan dilewati para feminis untuk perjuangan mereka. Kita bisa membuat representasi pertentangan itu dari Leah N. di sisi pelanggeng kekuasaan sistem patriarki (di dalam novel ini melalui badan kesehatan ia benar-benar merepresi masyarakat) dan Eva H. di sisi pemberontakkan. Ini menjadi mungkin karena patriarki yang bisa juga dianalogikan dominasi satu arah dari salah satu pemegang kekuasaan, dilakukan oleh Leah N. dengan sangat baik dan jitu. Tidak tanggung-tanggung, ia memiliki tim yang bisa mewujudkan apa yang ingin ia capai.

Di sisi lain, Eva H. adalah wanita sinis yang ingin menghapus semua rumusan-rumusan kehidupan mulai dari harapan orangtua pada dirinya hingga apa-apa yang berjalan di hadapannya. Menjadi camgirl memang membuatnya terkesan menjadi pemuas nafsu lelaki. Namun itu hanya sementara. Dua peristiwa terakhir, ialah ketika ia mempermainkan Barnabas R. dan masturbasi di depan kamera adalah bentuk pemberontakannya. Untuk masturbasi sendiri, saya rasa itu adalah puncak yang tepat pada novel ini. Eva H. yang semula tidak ingin masturbasi di depan kamera karena tidak ingin terlalu menuruti permintaan pelanggan dan glot (sistem uang di sana) akhirnya bermasturbasi. Itu ia lakukan bukan karena lelaki manapun maupun glot. Ia hanya ingin merasa bebas dan tidak peduli dengan pandangan apapun atas dirinya jika melakukan hal itu. Dalam orgasmenya, ia ingin melepaskan diri dari sistem yang selama ini mengungkung dirinya.

Gambaran kedua tokoh di atas sudah cukup jelas untuk dinyatakan sebagai oposisi biner dalam kaca mata Solanas. Lantas kalau sudah seperti itu, ada di mana keberpihakan pengarang dalam jenis pejuang wanita yang sudah digambarkan? Kalau saja virus dari pandemi yang sedang berlangsung pada semesta novel tersebut dijadikan simbol untuk menyerang wanita yang “bersalah”, sudah jelas Leah N. dengan mudah kita dapuk sebagai jenis manusia yang harus dihindari. Namun pengarang nampaknya tidak bermaksud demikian. Saya rasa ini ada kaitannya dengan penggunaan judul Menanam Gamang. Pandemi menanam kengerian kepada kita karena ternyata mereka (virus) bukanlah simbol dari apapun. Tentu kita tahu siapa yang menjadi orang baik di sini, namun Eva H. pada akhirnya harus roboh karena sesak—yang saya simpulkan kalau ia turut terserang virus. Dan begitulah sifat virus yang notabenenya bukanlah pengurus moral manusia. Ia akan menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. ***

 

Biodata Penulis

MochamadNasrullah (1993) sedang tinggal di Jember. Buku yang ditulisnya Balada Supri (Penerbit Anagram : 2019). Beberapa tulisannya dimuat di media daring dan cetak. Kini sedang asyik menikmati kehidupan baca tulis di jember.


Resensi: Kesegaran (Perjuangan) Wanita dalam Menanam Gamang Resensi: Kesegaran (Perjuangan) Wanita dalam Menanam Gamang Reviewed by takanta on April 26, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar