Ulas Buku: Reka Ulang Tata Ruang dan Ruang Tata Desa

 


Oleh:  Junaedi, S.E.

Ada beragam cara dalam mendefiniskan dan menafsirkan makna ruang yang dilakukan komunitas-komunitas yang terhimpun dalam sebuah struktu pemerintahan desa atau nama lainnya yang setara dengan desa.

Definisi dan tafsir itu dipengaruhi oleh tatanan sosial yang berlaku di komunitas, tradisi, dan kebudayaan yang mereka jalani; ketersediaan wilayah tempat mereka tinggal; kondisi geografis sebuah wilayah; jenis-jenis pekerjaan sehari-hari yang dijalani komunitas; serta unsur-unsur spiritualitas yang diyakini bersama oleh seluruh anggot komunitas pada sebuah wadah bernama desa atau setingkat desa.

Aspek-aspek praktis juga tak lepas dari pertimbangan sebuah komunitas menafsirkan ruang hidup mereka. Daratan, perairan (laut/sungai/danau), dan udara jadi elemen-elemen yang didefinisikan dan ditafsirkan dalam lingkup sebuah ruang yang dimanfaatkan bersama komunitas. Semuanya ditata lewat kesepakatan-kesepakatan dengan maksud kenyamanan bersama seluruh anggota.

Dr. Sunaryo, stafsus Gubernur Jawa Tengah, menitik beratkan tata ruang desa dengan memfokuskan Pedukuhan sebagai satuan pengambilan keputusan organik. Ada tiga rekomendasi yang diajukan oleh beliau, yaitu : 1). Pedukuhan perlu dipertimbangkan menjadi satuan politik, ekonomi dan budaya serta ideologi untuk mengambil keputusan tata ruang desa secara demokratis substantif.

2). Menarik Perda Kabupaten yang mengambil alih kedaulatan komunita Pedukuhan dalam pemilihan kepala dukuh agar skema komunitas yang mengatur diri sendiri (self-governing community) kembali berlangsung.

 3). Untuk menjamin terlaksananya demokrasi substantif, Pemkab menempatkan diri sebagai pengendali kualitas dengan menjaga warga Pedukuhan agar mematuhi aturan main yang telah mereka buat sendiri.

Bobby Tumpal P. Lubis, merekomendasikan beberapa hal terkait tata ruang desa dan pembangunan infrastruktur lingkungan antara lain : 1). membuat pedoman penyusunan dan muatan rencana tata ruang desa;  2).dalam perencanaan pembangunan desa, konsep tata ruang desa ditempatkan menjadi bagian di dalam RPJM Desa; 3). pembangunan desa tidak hanya mewujudkan bentuk fisik seperti infrastruktur, tetapi juga sebagai respons kondisi sosial-ekonomi masyarakat di dalamnya; 4). menjadikan tata ruang desa sebagai pedoman bagi pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan desa yang optimal.

Sementara Wijang Wijanarko, menulis dengan tajuk wajah desa, wajah Indonesia masa depan. Menata kembali pascaprahara yang datang adalah sikap optimistik yang semestinya terus dikembangkan karena bencana semestinya jadi kesempatan untuk menata diri.

Mengeja I-N-D-O-N-E-S-I-A semoga bukan sekedar menata ulang rangkaian vokal dan konsonan belaka, melainkan mengeja I-N-D-O-N-E-S-I-A adalah laku batin yang diejawantahkan dalam laku dharma menata ruang kehidupan bersama. Kongres Kebudayaan Desa semoga menjadi laku dan dharma kolektif yang dilakukan menuju kebaikan bersama dalam menata ulang bumi sebagai ruang bersama semua makhluk Tuhan.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan, mewariskan ajaran Panca Dharma yang terdiri dari kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Ajaran ini semoga menjadi pelengkap Pancasila kita dan menjadi dasar dharma bagi kita dalam menata ulang ruang desa sekaligus menata ulang  wajah bangsa.

Menurut Velix Vernando Wanggai, dengan tajuk “Pengarusutamaan Budaya dalam Pembangunan Desa Terpadu”, sebagaiamana tertulis dalam RPJMN IV 2020-2024, terdapat beberapa pengarusutamaan sebagai pendekatan inovatif yang akan menjadi katalis bagi pembangunan nasional yang berkeadilan sekaligus adaptif, guna mempercepat pencapaian target pembangunan nasional.

Pengarusutamaan ini bertujuan untuk memberikan akses pembangunan yang merata dan adil. Keenam pengarusutamaan tersebut adalah kesetaraan gender, tata kelola pemerintah, pembangunan berkelanjutan, kerentanan bencana dan perubahan iklim, modal sosial dan budaya, serta transformasi digital.

Kebudayaan dalam RPJMN memiliki peran sebagai pengarusutamaan. Artinya, kebudayaan ini tidak berada di dalam satu kontak tersendiri di dalam RPJMN, melainkan kebudayaan ini berada di setiap sektor dalam RPJMN. Setiap kami melakukan pembangunan, pengarusutamaan kebudayaan ini harus melekat atau embeded di dalam setiap langkah pembangunan yang dilakukan (hal 50-51).

Sedangkan lewat tajuk “Memahami Tata Ruang Desa untuk Kesejahteraan Bersama” , Yoshi Fajar Kresno Mukti memaparkan bahwa ekologi desa telah hilang dalam konteks ruang desa hari ini. Sehingga kata “tata” menjadi penting untuk ditambahkan dalam ruang desa. Hal tersebut dapat menjadi celah untuk melakukan pengelolaan tanah bersama atau tanah komunal desa.

Terdapat faktor birokrasi, sistem penyewaan, sistem kultural yang berbeda di tiap desa sehingga membuat semuanya tidak sederhana. Perlu dilakukan inventarisasi, mengidentifikasi, tanah-tanah komunal, tetapi bukan seperti nalar Bank Dunia menilai Sultan ground atau Pakualaman ground yang memperjelas batas-batas, lalu dapat menyewakannya dengan nilai lebih tinggi. Namun, kita perlu mengidentifikasi tata ruang desa dalam konteks kepentingan desa dan harus dilakukan oleh warga setempat, bukan orang luar desa (hal 62-63).

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Ada beberapa tawaran yang di sampaikan dalam buku ini, sebagai respons yang keluar berdasarkan pengalaman kerja di bidang tata ruang dan infrastruktur, mengkaji tema tata ruang dan infrastruktur, bergelut di dunia akademis perihal tema ini, dan pengalaman terlibat langsung dalam program –program pengelolaan tata ruang nasional. Buku pengetahuan ini, layak untuk dibaca dan dimiliki oleh Kepala Desa, Pendamping Desa, Pegiat Desa dan semua orang yang tertarik tertarik tentang isu desa.

Tetapi sayang pengetahuan sebagus ini, tidak didukung performance buku yang menarik, seperti cover kemudian juga font tulisan yang cenderung kecil. Dan mungkin bagi orang awan kebanyakan, penggunaan diksi yang ilmiah bahasa asing kurang dimengerti atau dipahami karena mungkin baru membaca atau mendengar diksi-diksi tersebut. Begitu sistematika urutan dan penulisan buku kurang detail, tidak disetai pendahuluan, isi dan penutup, serta tidak di detailkan bab per babnya.

 

Identitas Buku

Judul Buku:  TATA RUANG DAN INFRASTRUKTUR : Negoisasi Ulang Peta Ruang dan Lingkungan Permukiman

Dewan Redaksi  :  Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta dan Sholahuddin Nurazmy

Penerbit:  Yayasan Sanggar Inovasi Desa

Penanggung Jawab Produksi :   Faiz Ahsoul

 Editor:   Fawas

Penyelia Aksara:   Dyah Permatasari

Tata Letak Isi:   Fitriana Hadi

Desain Dan Ilustrasi Sampul:   Ketjil Bergerak, Arif Gunawan, dan Agus Teriyana

Cetakan:  Pertama,  Agustus 2020

Ukuran Buku:  13  x 19 cm

Tebal Buku  :  xxxiv + 100 halaman

 

Biodata Penulis

Junaedi, S.E., Lahir 06 Januari 1974, Lulusan S1 STIE Widya Wiwaha Yogyakarta (1999), sebagai Pegiat Desa Budaya Bumi Panggung, bekerja di Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID) Kalurahan Panggungharjo Kapanewon Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. No WA : 088 225 045 416. Medsos IG :@imfatjunaedi   FB : Junaedi Imfat.

 

 

 

Ulas Buku: Reka Ulang Tata Ruang dan Ruang Tata Desa  Ulas Buku: Reka Ulang Tata Ruang dan Ruang Tata Desa Reviewed by Redaksi on April 04, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar