Cerpen: Pada Suatu Dermaga


“Kadang ada kisah yang sebaiknya kamu rahasiakan saja, Hanum. Termasuk perasaanmu padanya dan hal-hal lain yang telah terjadi padamu,” ujar Bima pada suatu dermaga besar di kota mereka. “Laut tahu diri untuk tak menceritakan perasaannya pada langit. Begitu juga sebaiknya kamu terhadapnya, Hanum.”

Hanum mengangguk. Mengiyakan perkataan lelaki yang duduk tepat di sampingnya. Namun ia masih saja terdiam sembari membatin tentang perasaannya, tentang betapa dahsyat hatinya terguncang, tentang bagaimana ia harus mendengarkan dan memahami perkataan lelaki di sampingnya. Apakah ia harus menjaga rahasianya? Menjaga segala perasaan terpendam pada hatinya, hingga waktu menjemput kematiannya tanpa seorang pun tahu apa rahasia hatinya sebenarnya. Ia memutuskan diam-diam terhadap perasaannya sendiri. Namun bagaimana mungkin lelaki bernama Bima itu bisa mengetahui rahasia terbesar hatinya, tentang siapa seorang lelaki lain yang ia cintai?

Sementara Bima hanyalah salah satu nelayan miskin yang beruntung dapat berkenalan dengan Hanum. Ketika suatu kali mereka bertemu, Hanum menunduk diam saja sebab ia terdampar pada kota dermaga ini. Bima adalah lelaki pertama yang menghampiri Hanum ketika ia dengan linglung menuruni dek kapal, ketika ia memandangi biru laut dan biru langit yang cerah. Perpaduan yang mengagumkan, gumamnya kala itu. Bima mencoba membantu membawakan barang-barang Hanum, namun dengan lembut Hanum menolak, menggelengkan kepalanya. Itulah awal mula pertemuan juga percakapan mereka. Dari percakapan-percakapan itulah, perlahan Bima mengetahui segala rahasia lubuk hati Hanum. Hanum mencari lelakinya.

***

“Kota yang megah, dengan pesiar yang seakan tak pernah tidur, dengan dermaga serta teluk yang mengharu biru, kota yang sepenuh hati bersahabat dengan laut. Siang dan malam pun tak banyak beda, selalu biru yang akan mendominasi cahaya. Angin kencang di sini pun tak bosan berputar. Maka jangan salah sangka, kamu akan merasakan kesejukan tiada tara, atas deburan ombak yang dibawa angin-angin itu,” kata Aeria, lelaki yang Hanum cintai, pada pertemuan pertama mereka di kampung halaman mereka.

“Kamu harus mengunjungi kota itu demi memandang segala kejayaan dan keindahannya, Hanum.”

Hanum melirik pada raut wajah Aeria. Betapa tabah dan tegas kedua mata lelaki yang ia cintai itu. Debar hatinya bak menyamai irama sajak pada pembacaan puisi, hatinya berguncang dengan penuh pengkhayatan cinta luar biasa. Namun Hanum tak berani memandangi Aeria, ia hanya berani sesekali melirik. Ia takut malu tersipu ketahuan dengan rona pipi kemerahan. Jadi sepanjang mereka bercerita sore itu, Hanum tertunduk dengan hati yang berdebar.

Sesekali Aeria tersenyum dan tertawa, memperlihatkan gigi-gigi putih yang terawat namun tak rapi. Aeria adalah pencerita yang baik. Ia bercerita mengenai pengalamannya dalam mengarungi laut dan samudra, mengenai perlawanannya terhadap badai dan hujan, mengenai kota dengan dermaga yang indah, mengenai kehidupan di dalam kapal serta hal-hal hebat lain yang dapat ia ceritakan. Hanum jugalah seorang pendengar yang baik. Ia mengangguk-angguk, meski diam namun penuh harap dan antusias untuk mendengarkan cerita demi cerita Aeria. Dari pekerjaan mendengar Aeria bercerita, timbulah rasa kekaguman, cinta atau entah apalagi penyebutannya, dari hati Hanum terhadap Aeria. Haruskah secepat itu Hanum menyebut perasaannya sebagai cinta?

***

Benar adanya bahwa cinta telah membawa Hanum pergi kemari, terdampar pada kota tak bernama, kota dengan dermaga terbesar dan termegah di dunia. Ia sempat melamun beberapa jam saat pertama kali tiba di kota ini, hingga sosok lelaki kumal hitam datang menghampirinya. Kelak lelaki inilah yang menjadi sahabatnya di dermaga ini. Lelaki itu Bima, Bima yang ramah dan supel. Setelah melihat Hanum, ia merasa telah menemukan belahan jiwa. Ia tak henti-hentinya menjalin percakapan dengan Hanum. Bahkan Bima juga yang membantu segala perlengkapan Hanum saat tiba pada kota dermaga itu, ia menyewakan penginapan, ia mencarikan pekerjaan untuk Hanum, dan ia juga yang menemani Hanum pergi ke manapun. Hingga pada suatu kali, Hanum menceritakan segala alasan perihal mengapa ia tiba pada kota dermaga itu.

Perpisahan terakhir antara Aeria dengan Hanum memang baru beberapa bulan lalu. Namun hal ini tak menghilangkan perasaan debar dalam dada Hanum terhadap lelaki yang ia cintai itu. Dan entah bagaimana mulanya, Hanum mulai merasa bahwa dirinya harus mengungkapkan segala rasa rahasianya pada Aeria, sesegera mungkin. Sebuah perasaan tak boleh menjadi rahasia, gumamnya. Bima mendengarkan dengan seksama hingga dalam hatinya ia merasa pedih dan kecut. Cinta Bima bertepuk sebelah tangan. Bima belajar mencintai dan ia juga belajar mengobati hatinya yang pedih secara bersamaan. Dan biarlah Bima memendam serta merahasiakan gejolak dalam debar dadanya pada Hanum, ia tak ingin merusak persahabatan mereka.

Namun Aeria, lelaki tampan dan gagah yang dicari-cari itu tak pernah benar-benar ditemukan oleh Hanum. Hanum dan Bima telah menelusuri, menanyai, menjelajahi segala sangkut paut mengenai lelaki itu, namun mereka tak pernah dapat menemui Aeria. Hanum kecewa.

Empat bulan telah berlalu semenjak kedatangan Hanum pada dermaga itu. Aktivitas di dermaga itu tak banyak yang berubah, masih biru, dengan hiruk-pikuk orang kebingungan saban hari, di antara mereka ada yang mencari ikan, pendatang baru atau para pelayar laut yang tiba, atau kapal-kapal pengangkut truk-truk yang melabuh tiap hari. Hanum sudah dapat beradaptasi dengan dermaganya, sayangnya aktivitas yang terus menerus pada dermaga itu tak dibarengi dengan tujuan mulanya kemari: mencari Aeria. Dermaga yang dicerita-ceritakan Aeria tanpa Aeria di dalamnya merupakan penemuan semu yang mengucilkan perasaan Hanum sendiri. Dermaga ini tak sehebat apa yang diceritakan Aeira jika tanpa ada Aeria di sini, gumamnya.

Sementara sesuatu perlahan berubah pada tubuh Hanum yang semakin membucit. Hari demi hari berlalu dengan perutnya yang semakin membesar. Kini orang-orang tahu; Hanum tengah mengandung. Dengan firasat dan kondisi tubuh yang semakin lemas itu Hanum perlahan mengingat kembali kata Martini di kampung negeri asalnya. Sebuah nasihat sebelum ia memutuskan mencari Aeria.

“Kamu bukan Maria, Hanum. Maria dikehendaki Tuhan mengandung tanpa ada seorang pun yang menanamkan benih Isa padanya. Melainkan Tuhan hanya menghendaki jadilah, maka jadilah. Di dunia ini tak ada wanita yang dapat menyamai kodrat dan kesucian Maria, juga bukan kamu Hanum. Jujurlah padaku, siapa yang menanamkan benih padamu!” hardik Martini,

Namun Hanum tak mengerti perkataan kakak kandungnya itu. Hanum tak tahu Maria, juga tak tahu Tuhan. Apalagi hal-hal yang berkaitan dengan benih-benih itu.

“Pastilah lelaki pelaut bejat itu!” umpat Martini menggerutu. “Carilah pada kota dermaga itu, temui lelaki itu. Dan suruh dia mengawinimu dan bertanggung jawab!”

Hanum terpejam membayangkan kejadian pada empat bulan yang lalu menyeruak kembali. Ia merasa aneh saat itu. Saat ia merasa dirinya mual, saat ia direndam dengan perasaan rindu tiada tara pada lelakinya, saat perlahan ia melakukan perjalanan seorang diri menuju dermaga ini.

Bima mengejutkan lamunan Hanum dengan menutup kedua mata wanita itu dari belakang. Hanum yang sontak kaget menggeliat, memarahi Bima dengan canda. Mereka tertawa. Perlahan Bima dapat menyembuhkan perasaannya sebab ia bertemu saban hari dengan Hanum. Sementara Hanum masih terjebak dalam bayangan Aeria. Suatu kali Bima menanyai perihal perut Hanum yang membesar itu, namun Hanum hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara tidak tahu atau sebuah kisah yang sengaja dirahasiakan. Bima menghargai itu.

***

Kebahagiaan Bima tak berlangsung lama. Dua bulan setelah itu, lelaki gagah bernama Aeria tiba mengunjungi dermaga itu, ia datang bersama dengan ratusan pelaut lainnya dengan kapal barang dari negeri seberang. Betapa terkejutnya Hanum dan Bima mengetahui kabar bahwa Aeria telah kembali. Hanum segera pergi pada salah satu sudut dermaga menunggu lelakinya. Sementara Bima menunggu pertemuan mereka dari kejauhan.

Aeria pun mengalami keterkejutan yang sama, ia ditunggu sosok gadis cantik dengan raut wajah merona. Mereka segera berpelukan dan berciuman lama sekali. Sontak melihat kemesraan itu, hati Bima hancur. Harapan cinta yang telah membumbungi jiwanya sontak lenyap. Bima menangis menyaksikan itu. Ia cemburu berat. Ingin rasanya ia berteriak, menuntut segala ketidakberdayaan yang ia miliki. Ia berlari pergi.

“Mengapa kamu bisa di sini? Dan apa yang ada dalam perutmu, Hanum?” tanya Aeria dengan suara beratnya.

“Sebab aku mencarimu, Aeria. Sebab perut ini aku mencarimu.” Hanum yang sedari tadi bimbang akhirnya memutuskan untuk menceritakan perihal rahasia terdalamnya.

“Apa yang terjadi pada perutmu, Hanum? Kau mengandung?”

“Martini, kakak perempuanku bilang bahwa aku bukanlah Maria. Maka aku harus mencarimu, seseorang yang telah menanamkan benihnya terhadapku.”

Merasa tersinggung dan jiwanya yang terancam. Aeria menampar wajah mungil Hanum. “Kamu memang bukan Maria, Hanum. Namun apa yang kau kandung telah membuatku marah besar terhadapmu! Siapa yang menanamkan benih padamu, Hanum? Mengapa kau menuduhku?”

Hanum menunduk, menangis. Betapa perasaannya hancur tercabik-cabik. Ia menunggu enam bulan di dermaga demi menemui lelaki itu, namun yang ia dapat adalah sebuah tamparan keras dan teriakan.

Aeria melanjutkan kata dengan naik pitam, “Bahkan aku tak pernah menyentuhmu, aku tak pernah memerawanimu, aku tak pernah memerkosamu, Hanum!” Kerongkongannya tertahan. Dalam amarah yang memenuhi risaunya, sesegera setelah itu Aeria menyeret Hanum pada sudut dermaga yang sepi dan memerkosanya dengan gusar. Nafsu dan gairahnya tak bisa dibendung lagi. Sementara tangis Hanum berkepanjangan, tak henti-hentinya memekik, meronta, berteriak kesakitan dan ketakutan. Suara-suara gusar itu tercampur aduk dengan hujan lebat. Dalam tangsian Hanum, ia sesekali memanggil Bima, berharap Bima segera datang pada sudut dermaga itu dan menyelamatkannya.

Sedangkan di sudut dermaga lain, Bima berbicara dengan dirinya sendiri, “Tuhan benar-benar menyukai pertemuan kalian, maka sebab itulah ia menakdirkan kalian bertemu pada suatu dermaga, senja hari. Megah sekali di antara ciuman kalian yang hangat. Sementara aku memandangi kalian dari kejauhan, memendam pedih dan angkara,” ujar Bima sebelum ia menjebloskan dirinya pada hamparan laut yang membiru. Bagaimanapun laut telah mencurinya.

aku lebih memilih mundur dari peperangan ini. dari sajak-sajak yang dibuat oleh angin angkara, dari kumpulan puisi yang dibuat oleh langit, dari kumpulan cerita yang dibuat oleh hujan, serta dari kumpulan cinta yang dibuat oleh senyummu. aku menyerah dalam perebutan memedihkan ini. sebab aku mengerti, akulah pendosa, akulah manusia penuh hina dina, akulah manusia kikir. pendosa hanya berhak memiliki dosa-dosanya sendiri, pendosa tak berhak meraup kejayaan, pendosa tak berhak, pendosa tak, pendosa. hujan betalu-talu menghujam payung putih yang kugunakan, bunyi ketukan dan rintikan hujan menjelma nada hingga menyerupai detak jantung, jantung yang tertancap, jantung yang memekik. bebarengan dengan itu debur ombak mengungkapkan perasaan cintanya terhadap dermaga. dingin mengesahkan diri dalam sanubari jiwa, kala hujan terlupa menyapa malam. (*)

 

Azinuddin Ikram Hakim, lelaki pengagum langit ungu berkelahiran Solo 97. Suka menulis sajak atau opini, sesekali mendengarkan lagu jadul serta membawakannya sebagai musisi amatir. Penulis merupakan salah satu anggota redaktur nongkrong.co.

Cerpen: Pada Suatu Dermaga Cerpen: Pada Suatu Dermaga Reviewed by takanta on Mei 09, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar