Resensi: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang



Judul Buku: Dayon

Penulis: Akmel Nasery Basral

Penerbit: Mekar Cipta Lestari

Tahun Terbit: Mei, 2021

Tebal: viii + 324 halaman

ISBN: 978-623-96067-3-2

Novel yang lahir dari realitas memang selalu menarik untuk dibaca. Ada yang menyebut based on true story, tetapi saya lebih suka mengutip pendapat Aristoteles bahwa sebuah karya merupakan mimesis atau tiruan dari dunia nyata itu sendiri.

Setidaknya Akmal Nasery Basral telah berhasil membuat saya merasakan novel ini bukan cerita fiksi, tapi nyata. Saya terbawa akan latar Bukittinggi juga beberapa tempat yang penulis novel ceritakan dengan cukup detail.

Karya lahir dari suatu realitas atau kenyataan. Begitu novel ini menarasikan sisi kebudayaan dan peradaban Minangkabau. Sebagai pembaca di luar orang Minang, mungkin akan merasa bingung dengan beberapa istilah khas Minang. Kendati demikian, dari novel Dayon kita akan dibawa semakin dekat, seolah menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri. Dayon bisa dibilang cukup kompleks dalam hal penyajian fakta. 

Mengutip pernyataan Prof Azyumardi  Azra bahwa Dayon lebih dari sekedar Novel, sebab menggambarkan gejolak psikologis, sosiologis, dan antropologis anak bangsa di tengah perubahan disruptif. Bacaan wajib yang reflektif dan kaya perspektif. Sisi menarik dari novel ini dari segi kearifan lokal yang ditampilkan. Akmal Nasery, sebagai seorang jurnalis yang konsen pada bidang sejarah membuat isi cerita nampak seperti kenyataan. Termasuk dalam menggambarkan tempat, cerita sejarah, hingga kejadian terekam layaknya satu fragmen. 

Judul novel Dayon diambil dari nama tokoh utama ‘Dayon,’ yang merupakan nama kepanjangan dari Uda Bayon. Seorang anak yang berasal dari Bukittinggi, tepatnya di Kapau Sumatera. Nama Boyon atau Dayon beberapa kali mengalami perubahan seiring pertumbuhannya. Saat Sekolah Dasar ia lebih nyaman dipanggil Boyon kemudian ketika SMP ia bernama Jems, saat SMA iya justru mengubah nama, begitu pula saat kuliah. Itu diceritakan secara berurutan, membentuk satu kesatuan cerita. 

Novel ini nampak menjadi cerita yang akrab sekaligus tragis dan mengharukan tentang daya imajinasi dan harapan. Barangkali pepatah lama yang pernah mengatakan jika nama itu merupakan untaian doa, bahkan ketika salah dalam hal pengejaan sekalipun. 

Meski kebanyakan orang tua bersungguh-sungguh ketika memberikan nama bagi anak-anak mereka, tak sedikit orang berharap punya nama yang berbeda, apalagi jika nama itu kerap membuatnya jadi bahan ejekan. “Jems Boyon, itulah dua kata yang bersekutu menjadi namaku. Menjadi lintasan hidup dan garis takdirku, berawal dari sebuah dusun beledu berhias jalan jalan berbatu,” halaman 15 

Dalam novel yang kompleks dengan muatan romantis sekaligus mistis, ada unsur jenaka dengan baluran mitos, dengan bumbu cerita hikayat dan legenda. Secara umum novel ini banyak menyajikan kisah sejarah di tanah Bukittinggi, tempat kelahiran para orang hebat seperti Haji Agus Salim, pengisahan novel memposisikan pengarang sebagai aku, yang uniknya justru memasukkan namanya sendiri dari patahan kisah. 

“Aku berkenalan dengan seorang Wartawan majalah berita. Namanya Akmal Nasery Basral. Dari namanya kutebak dia orang Minang. Ternyata benar.”

Dayon merupakan novel yang membawa pengalaman kompleks. Akmal Nasery tentu menulis dengan banyak pengetahuan. Dayon menggunakan alur maju mundur, secara bersamaan pembaca dibuat merasakan masa kecil seorang Uda Bayon sekaligus saat ia menjadi seorang Sutradara Film dan pernikahannya dengan Sabai,

Saat coba saya telusuri ternyata Akmal Nasery memang berdarah Minang. Sehingga novel yang dihasilkannya pun tidak hanya menampilkan ruang luar dari kebudayaan Minang. Akmal Nasery menulisnya dengan upaya rekam peristiwa yang bisa jadi juga berasal dari hasil liputannya.

Keterampilan jurnalistik penulis novel utamanya dalam  merujuk pada dokumen sejarah dipakai dalam menarasikan imaji. Karena alur yang dipakai maju-mundur, sehingga menghasilkan cerita yang mengalir dari hulu ke hilir.

Narasi yang dibangun menghantar pembaca sebagai tokoh aku, sekaligus orang ketiga. Penuh dengan Plot twist, antara satu cerita dan yang lainnya disampaikan oleh tokoh aku pada pembaca seolah tengah mendongeng di depan muka. Cerita dirangkum sedemikian rupa oleh penulis novel guna menggiring sampai akhir. Akhir cerita yang menggembirakan setelah melewati proses pasang surut.

Latar Sosiokultural

Latar sosio kultural merupakan kejadian yang berhubungan sosial dan kultur masyarakat, dalam novel ini banyak menampilkan terutama cerita sejarah, legenda, dan kebudayaan masyarakat Minang. Latar sosio kultural dalam novel ini menggambarkan suasana daerah Minang beserta kehidupan sosial masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat setempat. Di samping itu, latar sosio kultural dapat diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah dan dialek-dialek tertentu.

Seperti pada halaman 17, “Dari mana pohon Andalas berasal? Menurut legenda berawal dari sebatang tongkat Datuk Perpatih Nan Sabatang, salah seorang leluhur masyarakat Minang. Tongkat itu ditancapkan Sang Datuk ke tanah dan -bim salabim, -berubah menjadi pohon megah yang membuat orang terperangah, terpesona, dan terpengaruh,” penulis Novel tengah menuliskan legenda sejarah. Pengetahuan semacam ini tidak didapatkan tanpa sumber yang jelas, tentu penulis secara serius menggarap novel dengan berbasis pada sumber primer, maupun dari teks atau cerita masyarakat.

Selanjutnya Akmal juga membawa narasi mitos dari suku Minangkabau tentang sebuah alat musik bernama saluang, yang dapat berfungsi sebagai pengasihan. “Ini contoh saluang daerahku, Payakumbuh. Mak terkejut. “Apakah ini yang digunakan guna seperti kata orang? Ya. Itu digunakan oleh lelaki yang ingin menaklukkan hati perempuan yang menolak cintanya atau ingin mencelakakan perempuan itu. Peniup saluang sirompak bersama tukang soga yang membunyikan alat musik lain sebagai pengiring mantra yang diucapkan pawang sirompak atau dukun. Mantra itu untuk memanggil simambang atau roh halus. Ada lima simambang sesuai dengan jumlah lima lubang pada saluang,” Halaman 49.

Lebih lanjut dalam cerita mitos itu juga disebutkan jika ada pantangan khususnya yang dampaknya akan sangat berbahaya. Latar sosio kultur masyarakat Minang begitu lekat dalam novel yang terbit pada tahun 2021 ini. Tidak hanya itu, latar sosio kultural menjadi warna utama dalam membangun satu kesatuan cerita.

 

Biodata Penulis

Dani Alifian, kelahiran Situbondo. Saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Malang, saat ini aktif menulis di beberapa media. Buku pertama berjudul Idealisme Telur Setengah Matang (Kali Pustaka, 2020).

Resensi: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang    Resensi: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang Reviewed by takanta on Juli 03, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar