Menilai Bung Karna: Sebuah Panduan untuk Kamu yang Masih Patah Hati
Oleh Arifa Oktaviana*
Kehadiran
Giring eks Nidji di Pendopo Kabupaten Situbondo menimbulkan banyak kritik terhadap
Bung Karna yang baru saja dilantik menjadi Bupati Situbondo setelah pilbup yang
cukup “panas”. Hal ini tentu sangatlah melegakan sebab ini artinya masyarakat
merasa ikut bertanggung jawab untuk memastikan Pemerintah Daerah Situbondo
terus bekerja dengan baik.
Di
antara banyak kritik di linimasa, sebuah artikel yang dimuat di takanta.id
berjudul “Pak Karna Tidak Salah, Kita Saja yang Terlalu Nyinyir” begitu menarik
untuk dibahas. Apresiasi setinggi–tingginya karena penulis menyampaikan penilaian
dan kritik yang menyenangkan lewat tulisan, bukan caci maki tak beraturan.
Melalui
tulisan ini saya ingin menyampaikan sudut pandang lain sebagai panduan menilai
Bung Karna untuk kamu yang masih patah hati sebagai ikhtiar menjadi bagian dari
masyarakat beradab yang membalas tulisan dengan tulisan.
Giring
Ganesha hadir di Pendopo Bupati Situbondo sebagai Plt Ketua Umum Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) yang sedang melakukan rangkaian kunjungan ke
beberapa kota termasuk Situbondo dan Banyuwangi. Dia hadir sebagai tamu yang
datang bersama beberapa pengurus PSI Kabupaten Situbondo tentunya dengan agenda
yang lebih dari sekadar nyanyi–nyanyi.
Saya
kebetulan sedang berada di lingkungan Pendopo untuk satu urusan lain ketika
acara tersebut sedang berlangsung. Saat itu saya menyaksikan ada tidak lebih
dari 30 tamu undangan memakai masker yang duduk di kursi yang diatur dengan
jarak yang cukup.
Saya
juga menyaksikan Giring menyanyikan tiga lagu yang salah satunya adalah lagu
kesukaan saya “Laskar Pelangi”. Giring melepas maskernya saat bernyanyi, maka tidak
mengherankan ketika kemudian banyak kritik terkait protokol kesehatan pada
acara tersebut.
“Menurut saya, acara nyanyi-nyanyi Pak Karna bersama Giring itu adalah
janji yang ditepati. Masih ingat kan slogan beliau di pilkada kemarin? Ya,
salam perubahan. Sekali lagi, SALAM PERUBAHAN. Gak
afdol kalau belum tiga kali, S-A-L-A-M P-E-R-U-B-A-H-A-N. Nah
wajar kan kalau apa-apa mulai diubah. Pendopo yang setiap Minggu malam khidmat
dengan acara Sholawatan, diubah jadi nyanyi-nyanyi.”.
Begitu bunyi satu
paragraf pada artikel tersebut. Sebuah lompatan berpikir dan logika yang
mengagumkan. Kesimpulan pada paragraf di atas pasti lah ilmu tingkat tinggi
yang jauh di atas bab Logika pada pelajaran Matematika yang kita pelajari di
sekolah dulu.
Ilmu tingkat tinggi
sebab apa yang terjadi di Pendopo adalah kemungkinan dilanggarnya protokol
kesehatan, namun tidak kita temukan kritik tentang ini pada artikel tersebut. Penulis
melompat jauh pada selawat. Mengagumkan!
Sungguh. Saya sangat
penasaran dengan alur berpikir penulis sebelum membuat tulisan tersebut. Saya akan
mencoba menjabarkan beberapa skenario yang bisa saya pikirkan tentang apa yang
terjadi di kepala dan hati penulis.
Skenario 1: Di suatu
sore yang teduh, penulis menemukan video Giring bernyanyi bersama Bung Karna
tanpa menggunakan masker di Pendopo. Setelah melihat video itu, penulis menyimpulkan
di pikirannya, “Astaghfirullah, sekarang acara rutin sholawatan di
Pendopo diubah jadi nyanyi-nyanyi”. Lalu dia menulis artikel tersebut
sebagai bentuk nahi mungkar-nya.
Skenario 2: Di suatu
sore yang teduh, penulis menemukan video Giring bernyanyi bersama Bung Karna
tanpa masker. Penulis tahu dia harus mencari informasi lebih dalam sebelum
menulis. Dia mengetahui ada kemungkinan melanggar protokol kesehatan. Tapi
topik protokol kesehatan tidak akan menggigit untuk masyarakat Situbondo
dan tak akan cukup keras memukul Bung Karna. Lalu di pikirannya yang
baik berkata, “Aku akan membentuk opini bahwa acara rutin sholawatan di
Pendopo diubah jadi nyanyi-nyanyi”. Lantas dia
menulis artikel tersebut sebagai bentuk perjuanganya melampiaskan sakit hati
karena kalah pilkada. Skenario murahan oleh cara berpikir murahan.
Skenario 3: Adalah skenario
lain yang kita tidak pernah tahu sebab pada hakikatnya tidak ada yang mengetahui
isi hati dan pikiran seseorang selain orang itu sendiri dan Allah SWT.
Apapun
skenario yang sebenarnya terjadi di kepala penulis, sangatlah penting untuk
menilai dan menyampaikan kritik tehadap seseorang secara adil sesuai
kesalahannya. Dalam hal ini, jika Bung Karna diduga melanggar protokol
kesehatan, sampaikanlah kritik tentang protokol kesehatan.
Sangatlah
dimengerti tidak mudah menerima kenyataan bahwa rezim di Situbondo telah
berganti. Habis–habisan menggunakan selawat yang agung sebagai jargon politik
pada pilbub lalu namun tetap saja kalah. Setelah amat yakin merasa diri
kelompok yang paling religius, paling didukung kiai, paling bersholawat, namun kenyataan Allah
menakdirkan kalah.
Bisa
dibayangkan goncangan yang dialami sehingga orang–orang patah hati ini bisa
jadi mengalami kekacauan berpikir.
Kritikmu,
kritikku, dan kritik kita semua selalu dibutuhkan untuk kemajuan Situbondo ke
depan. Hanya saja, mengkiritik Bung Karna dengan lagi-lagi membeturkannya
dengan selawat adalah cara usang dan murahan. Topik ini basi sebab Bung Karna
telah berkali-kali menekankan bahwa tidak akan ada yang berubah dari budaya bersholawat masyarakat Situbondo.
Sudah
rahasia umum, jauh sebelum hiruk pikuk pilbub, Bung Karna telah rutin
menyelenggarakan sholawatan di
kediamananya. Hanya saja Bung Karna tidak menjualnya untuk mendapatkan simpati
dan suaramu.
Terakhir,
saya ingin mengutip kalimat Bung Karna yang disampaikan pada acara Isra Miraj
di Pendopo Kabupaten “Sholawat
Syabab, boleh tampil di alun–alun. Ahad Pahing, silahkan tampil di alun–alun.
Bhening pun, silahkan tampil di alun–alun. Urusan rumput rusak biarlah pemerintah
daerah yang memperbaiki.”.
Semoga
kita semua segera move on dari topik
ini dan fokus membantu Bupati dan Wakil Bupati terpilih melaksanakan tugasnya
dengan ikut mengawasi jalannya pemerintahan melalui kritik membangun dan
proporsional.
Untuk
kamu yang masih patah hati, teruslah ada dan nyaring mengkritik Bung Karna.
Fokuslah pada program kerjanya sehingga kalaupun kau ingin memukul, pukulanmu
akan tepat sasaran. Kalaupun kau ingin mempermalukan, bukan kamu yang terlihat
memalukan.
Masih
hangat berita tentang Samuel Paty, seorang guru di Perancis yang dipenggal
kepalanya akibat diduga menista simbol agama berdasarkan pengakuan seorang
siswanya. Belakangan diketahui bahwa bahwa siswa tersebut berbohong dan Samuel
Paty tak pernah melakukan apa yang dituduhkan.
Ini
adalah sedikit pelajaran bagi kita untuk amat berhati–hati dalam topik ini.
Jika kau dengan mudah menulis “Bung Karna mengganti acara sholawatan rutin di
Pendopo dengan acara nyanyi–nyanyi”,
bukan tidak mungkin seseorang yang percaya akan menceritakan ini kepada temannya
di pasar. Temannya tersebut lalu menceritakan kepada teman lainnya di sawah.
Temannya di sawah tadi akan menceritakan kepada istrinya di rumah. Begitu
seterusnya opini sesat dan fitnah itu berjalan.
Aku
harap sakit hatimu segera sembuh.
Saat
menulis ini, di hari yang sama selawat berkumandang di Pendopo Kabupaten sejak
pagi hingga malam dalam rangka memperingati Isra Miraj.
Di kejauhan yang entah, apakah hatimu masih akan berkata, “Bung Karna memilih nyanyi-nyanyi daripada selawatan?”
Kebacut!
____________

I love you, Eva
BalasHapusSudut pandang yang bagus
BalasHapusJangan2, penulis adalah penjual masker yg kecewa karena telah menawarkan dan tidak dibeli
BalasHapusSitubondo Berbahagia kak
BalasHapus