Situbondo Dik, Patennang!



Tak jelas kapan mulanya saya mendengar dan mengucapkan kata itu. Kalau tidak salah sejak saya masih kecil. Kesan awalnya biasa saja. Sampai baru-baru ini, saya mulai merasa ada sesuatu yang berarti pada kata itu.
Patennang, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira artinya tenanglah. Suatu kata yang diucapkan seseorang dengan maksud untuk memberi dukungan pada orang lain.
Tujuannya kira-kira untuk membangkitkan keberanian dan semangat. Mengusir kegusaran dan ketakutan. Sekaligus mengajak pada suatu kondisi kepasrahan. Terutama di kala menghadapi hal-hal di luar kepastian.
Akhir-akhir ini, saya mulai menyadari bahwa kata patennang terasa begitu magis, laiknya doa, mantra, atau azimat. Yang apabila mendengarnya, saya merasa ada suasana berbeda dari sebelumnya.
Dengan berbekal kata itu, segala aral merintang akan sanggup dihadapi. Dan memang begitulah kenyataannya, tak peduli benar atau salah suatu tindakan, yang penting tenang. Karena ada suatu kepercayaan kalau kita tidak tenang/risau, maka masalah yang dihadapi akan semakin runyam. Sebagaimana ungkapan mon mang-mang dântè', patennang ghâllu (tunggu kalau masih merasa ragu, tenangkanlah dulu).
***
Beberapa hari lalu, saya mencuri dengar seorang teman yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Topik perbincangannya seputar percandaan. Tak sengaja saya mendengar teman saya itu mengatakan, patennang bâdâ Allah (tenanglah, kan ada Tuhan).
Sontak saya pun tersenyum dan menegaskan kembali, patennang bâdâ Allah, tanda bahwa saya berusaha mendapat penjelasan dari maksud yang disampaikan teman saya itu.
Ia menjawabnya, “kan iya, tidak akan terjadi sesuatu di luar sepengetahuanNya.”
Adanya kejadian tersebut kemudian membuat saya berpikir, lebih tepatnya membandingkan dalam konteks perbincangan yang lain. Sebagaimana saat saya berdiskusi bersama teman-teman lain sebelum-sebelumnya.
Apabila dalam suatu perbincangan, ada seorang teman yang pendapatnya selalu menghubung-hubungkan secara langsung dengan Sang Maha Besar, tanpa dibarengi dengan penjelasan lanjutan. Maka bisa dipastikan ia akan dicap tokang mamatta (suka mementahkan suatu pembicaraan), karena tidak bisa berpendapat secara logis.
Kemudian, akan muncul anggapan bahwa ia selalu buru ka paddhu (lari ke pojokan), maksudnya tidak bisa berpikir panjang atau hanya hendak mengakhiri suatu topik perbincangan. Sehingga kesannya ia seperti tidak sungguh-sungguh atau hanya sekadar bercanda. Dan tentu saja, perbincangan akan menjadi tidak asik lagi.
***
Begitulah kira-kira konteks penggunaan kata patennang. Di satu sisi, kata itu bisa menjelma sebagai suatu gemuruh kekuatan batin. Di sisi lain, kata itu menjadi sesuatu yang remeh temeh, tidak memiliki makna apa-apa.
Kalau disederhanakan kata patennang berada di antara sesuatu yang berarti sekaligus tidak berarti apa-apa. Membingungkan, bukan!
Namun, di balik itu semua, dari kata patennang, saya melihat itulah sosok pemikiran orang Situbondo. Karena sependek amatan saya ini, kata patennang kerap diucapkan oleh orang-orang di sini. Semacam tradisi tutur yang diperkenalkan secara turun-temurun kemudian melekat menjadi suatu identitas.
Saya merasa seperti itu, entah bagi kamu dik, apakah memiliki perasaan yang sama seperti saya? []
___

-  Judul tulisan ini diinspirasi dari dua tulisan orang Situbondo sebelumnya. Sujiwo Tejo yang menulis: Situbondo, Dik, Kota Santri. Selanjutnya tulisan Rusdi Mathari: Situbondo dik, bukan Jalan Situbondo.

Situbondo Dik, Patennang! Situbondo Dik, Patennang! Reviewed by Takanta ID on Juli 07, 2017 Rating: 5

4 komentar