Cerpen: Pohon Jeruk Bali Simbah
Oleh:
Salwa Ratri Wahyuni
Kukatakan bahwasanya jiwaku telah tewas sebagian, sebab turut terkubur pada hari pemakaman Simbah. Maka jangan pernah tanya perkara sakit hati, sebab sakit hati selamanya ada. Yang kutahu aku hanya lupa dan pura-pura melanjutkan hidup. Begitu saja seterusnya.
Hari
itu, minggu ke kesekian aku membusuk di kamar. Berita-berita soal pagar laut
berterbangan dari beranda dunia maya. Dan sebab aku sudah terlalu bosan
membacanya, aku melewatinya saja. Kemudian, notifikasi itu muncul begitu saja. Dari
orang rumah.
"Radiah,
kapan kau pulang?"
Demikian
pesan itu masuk, pesan yang berjarak tiga ratus kilometer lebih. Teknologi
telah memangkas waktu tempuh merpati atau barangkali tukang pos menjadi
seperkian detik saja. Aku cukup melihat sekilas, dan mengerti bahwa orang
kampung sedang punya uang lebih. Oleh sebabnya, benda pipih mereka dapat
berfungsi, mengirim pesan, menelpon, dan sebagainya.
Belum
lagi aku membalas chat pertama. Balon chat kedua tiba-tiba sudah masuk.
"Besok,
hari peringatan empat tahun Simbah. Kau tak punya waktu untuk pulang?"
Aku
mengeluh tertahan. Bagaimana aku bisa melupakannya? Aku selalu ingat hari itu.
Dan masalah waktu, aku selalu punya, hanya saja langit tidak memihakku untuk
memegang uang. Aku miskin, bokek, bangsat, dan apapun istilahnya untuk
menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan kefakiran.
Tapi
malam itu kuputuskan juga untuk pulang. Berbekal uang pinjaman dari salah satu
kenalan, segeralah aku menumpang di bus paling murah. Lampunya remang, panas
dan berbau apak. Aku harus bertahan pada kesengsaraan ini setidaknya dua belas
jam. Tidak ada yang kubawa selain tubuhku sendiri dan beberapa lembar pakaian.
Dua
belas jam berlalu membosankan. Begitu matahari terbit dari ufuk timur.
Kegelapan di kiri kanan jalan itu telah berubah menjadi hamparan perkebunan
kelapa sawit yang tiada habisnya. Demi apapun mataku sakit lama-lama
melihatnya.
Bus
itu akhirnya berhenti di terminal. Dari sana aku naik ojek, tapi tak langsung
turun di rumahku. Melainkan lebih dulu turun di rumah Simbah. Sesungguhnya
rumahku hanya berjarak 200 meter dari rumah Simbah. Nanti-nanti aku bisa jalan
kaki, jika mau pulang ke rumah. Sekarang aku ingin berada di sini lebih dulu.
Rumah
Simbah tak berubah banyak. Gentengnya masih yang dulu, sebagian bergeser, dan
temboknya tetap hijau kusam. Aku tak langsung masuk. Langkahku malah berbelok
ke arah pohon jeruk bali yang berdiri tegak di halaman depan.
Aku
berdiri di sana, memandangi pohon itu. Daun-daunnya masih rimbun, meski
beberapa mulai menguning. Ada beberapa buah bergelayut di dahannya, sebagian
sudah matang, sebagian masih hijau. Aku mengulurkan tangan, menyentuh batangnya
yang kasar. Rasanya seperti menyentuh sesuatu yang hidup, bernapas, dan penuh
perjalanan.
Angin
berembus pelan. Di bawah pohon itu, aku mengingat Simbah.
"Radiah?"
Aku
menoleh. Tapi sekeliling halaman rumah sepi. Tidak ada siapa pun di sana. Aku kembali
menatap pohon jeruk bali di depanku. Daun-daunnya bergemerisik pelan.
"Simbah?"
Tak
ada jawaban. Hanya desiran angin yang melewati dahan-dahan, perlahan berembus,
seakan membelai pipiku.
Aku
memutuskan meninggalkan halaman. Melangkah menuju teras rumah dan duduk di
bale-bale, pandanganku masih tak lepas dari pohon jeruk bali.
Barangkali
efek terjaga semalaman di bus bau apek itu. Kini mataku perlahan terasa berat.
Kantuk mulai menyerang, sisa kelelahan dari perjalanan panjang yang belum
sempat terbayar. Pandanganku mulai kabur, tanpa sadar akhirnya aku jatuh
terlelap.
Entah
berapa menit berlalu sebelum aku terbangun dengan napas sedikit tersengal.
Sinar matahari masih sama, angin masih berembus pelan di halaman. Mengusap wajah, aku segera bangkit masuk ke dalam rumah Simbah.
Ponselku
tergeletak di atas bale-bale, mati total. Aku melongok ke dinding, mencari jam
dinding tua milik Simbah. Jarumnya diam.
Aku
mengernyit, mendekat untuk memastikan. Mungkinkah rusak? Mataku tertuju pada
angka di dalam lingkaran jam itu. 11.47.
Aku
menelan ludah. Itu waktu ketika Simbah mengembuskan napas terakhirnya, empat
tahun yang lalu.
*****
Hari
itu, 13 Juni 2013
Tak
ada seorang pun yang mengingat hari ulang tahunnya. Orang tuanya? Sibuk bekerja
seperti biasa. Teman-temannya barangkali tidak ada yang tahu. Ia sudah
terbiasa, toh ulang tahun hanya tanggal yang berlalu begitu saja, tidak ada
yang perlu dirayakan. Lagi pula untuk apa merayakan hari berkurangnya usia?
Tapi
yang terjadi hari itu justru kebalikannya. Waktu itu Radiah masih duduk di
kursinya, kebagian tempat duduk di tengah. Ia sendirian, melamun. Tiba-tiba
tanpa disangka-sangka seseorang berdiri di ambang pintu kelas. Seseorang yang
amat ia kenal. Radiah memastikan berkali-kali supaya matanya tak salah lihat.
Seorang tua dengan kain jarik melilit, pakaian lusuh yang itu-itu saja.
Kepalanya yang telah beruban ditutup topi rajut, ciput khas nenek-nenek warna
hitam.
“Simbah?”
Radiah kaget melihat sosok tua itu berdiri di depan pintu kelas.
Mata
sayu Simbah mengedarkan pandangan ke seisi kelas. Segera ia senyum lebar saat
mendapati Radiah duduk menatapnya dengan wajah kebingungan.
Radiah
terdiam, pikirannya berkelebat dengan berbagai pertanyaan. Namun, matanya
segera tertuju pada sesuatu di tangan Simbah. Sebuah nampan kecil beralaskan
daun pisang, di atasnya tertata kue apem berbentuk bundar, disusun sedemikian
rupa menyerupai kue ulang tahun.
Teman-teman
Radiah mulai melirik, penasaran. Bu guru rupanya sejak tadi berada di belakang
Simbah. Membawa kresek besar yang berisi sejumlah nasi kuning. Dibungkus dengan
daun pisang ala kadarnya.
Simbah
melangkah perlahan, mendekati Radiah. Dengan suara tuanya yang khas, bergetar
ia berkata, “Cah ayu, wis gedhe.”
Bu
guru tersenyum dan menepuk pelan bahu Simbah sebelum menghadap ke kelas. Dengan
suara hangat, ia berkata, "Anak-anak, hari ini Radiah berulang tahun.
Simbahnya datang jauh-jauh ke sini untuk merayakannya bersama kita dan ingin
berbagi sesuatu dengan kalian."
Bu
guru kembali tersenyum dan berkata, "Sebelum kita makan bersama, mari kita
doakan Radiah agar selalu sehat, bahagia, dan sukses di masa depan."
Anak-anak
mengangguk serempak. Suasana kelas mendadak hening saat mereka menundukkan
kepala. Doa sederhana dipanjatkan, dipimpin oleh bu guru, sementara Radiah
hanya bisa menatap ke bawah, ia tidak tahu harus berkata apa.
Begitu
doa selesai, teman-temannya serentak berkata, "Selamat panjang umur, Radiah!"
Beberapa
anak menepuk bahunya, yang lain tersenyum lebar. Radiah merasa pipinya memanas.
Ia tidak menyangka akan mendapatkan perhatian sebesar ini.
Simbah,
dengan hati-hati, mulai membagi apem yang telah ia bawa. Dengan pisau kecil
yang ia keluarkan dari lipatan jariknya, ia memotong satu per satu apem itu
menjadi bagian lebih kecil, lalu menyodorkannya ke anak-anak di kelas.
Sementara
itu, bu guru juga mulai membagikan nasi kuning yang ia bawa. Anak-anak menerima
dengan antusias, mencium aroma harum dari bungkus daun pisang tersebut. Isinya
nasi kuning dengan telur rebus, suwiran ayam goreng, dan irisan mentimun.
Sederhana, namun anak-anak itu berbinar-binar ketika menerimanya.
"Suwon,
Simbah!" ujar salah satu teman Radiah.
Simbah
terkekeh kecil. "Mangan sing wareg, yo."
Radiah
mengambil satu potong apem dan menggigitnya pelan. Rasa manisnya meresap di
lidah. Radiah kembali menatap apem-apem itu. Bentuknya sederhana, ada sedikit
gula merah meleleh di bagian tengahnya. Tidak ada lilin, tidak ada pita, tapi
di matanya, apem ini adalah kue ulang tahun paling sempurna di dunia. Usianya
delapan tahun saat itu, tapi ia bersumpah itu akan menjadi ulang tahunnya yang
paling berharga.
*****
Dulu,
saat SMP, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Simbah. Entah karena
aku lebih betah di sana atau karena aku
memang lebih suka berada di dekat Simbah. Bagiku rumah Simbah selalu terasa
lebih lapang, selalu terasa nyaman untuk kembali.
Tapi
ada satu hal yang selalu membuatku kesal.
"Kono,
Ndiah, tuku kecap nang warung," kata Simbah, menyodorkan beberapa lembar
uang seribuan yang sudah lecek.
Aku
mendengus, malas. Baru saja duduk, baru saja berniat membaca buku cerita yang
kutemukan di lemari kayu Simbah, tiba-tiba saja aku harus berangkat lagi.
"Baru
tadi aku beli garam, Mbah," protesku.
Begitulah
simbah. Simbah selalu punya cara untuk membuatku tetap sibuk. Setiap hari, ada
saja alasan beliau menyuruhku ke warung.
"Ndiah,
tuku gula abang neng warung Mbok Darmi."
"Ndiah,
tambahi teh celup sekotak, aku lali tuku."
"Ndiah,
kayune kurang, beli dua batang di Pak Man."
Tapi
menariknya, setiap kali aku pulang membawa barang yang diminta, beliau selalu
menyodorkan uang kembalian dan berkata, "Iki, buat jajan." Mungkin
itu adalah caranya memberikan sesuatu kepadaku, tapi tidak secara cuma-cuma.
Simbah ingin cucunya tidak pemalas.
Kadang
kala aku juga berpikir, Simbah sengaja menyuruhku pergi, bukan karena butuh
gula atau teh, tapi karena ingin aku keluar rumah, melihat sekitar, dan belajar
berinteraksi dengan orang lain. Simbah selalu bilang, jangan hanya diam di
rumah.
Dan
benar saja, tiap kali aku keluar, aku jadi tahu banyak hal. Tahu kalau anak
pertama Mbok Darmi punya kekuatan melihat hantu, tahu kalau minggu depan Pak
Man akan melangsungkan pernikahan anaknya, tahu kabar-kabar di kampung, dari
yang remeh temeh sampai yang paling hit.
Aku
tidak pernah benar-benar sadar waktu itu. Tapi ternyata, lambat laun aku tahu
Simbah sedang mengajariku cara melihat dunia dengan cara yang paling sederhana.
Kemudian
aku ingat saat-saat itu, aku sudah memasuki kelas XI, masa-masa SMA. Aku masih
ingat dengan jelas, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Hari itu, siang
menjelang kumandang zuhur. Simbah di rawat di rumah sakit, dan aku menemaninya
seperti biasa.
Sebelumnya,
beliau sudah sibuk membersihkan diri. Minta diambilkan air hangat, menyikat
gigi lebih lama dari biasanya, bahkan sempat meminta disisirkan rambutnya yang
mulai menipis.
"Ndiah,
apa perlu Mbah di make-up in, biar ayu shitik."
Aku
tertawa, mengira ini hanya bagian dari candaannya sebagaimana kebiasaanya.
Simbah memang suka melawak, dimana saja.
Tapi
aku salah.
Beberapa
menit sebelum azan zuhur berkumandang, tanpa peringatan, Simbah ambruk begitu
saja. Semula ia duduk di tempat tidurnya dengan damai, tiba-tiba tubuhnya
terkulai, keningnya menubruk siderail kasur.
Aku
melonjak dari kursi, panik melihat tubuhnya yang lunglai. Tanganku
mengguncang-guncang lengannya, tapi tak ada respons. Jantungku berpacu, aku
berlari sekencang mungkin keluar dari kamar, menyusuri lorong rumah sakit.
Sambil terengah-engah, berlari berteriak memanggil-manggil dokter.
"Dokter!
Dokter!" Aku menjerit di lorong memanggil siapa saja yang dapat dimintai
tolong.
Akhirnya
tiba di salah satu ruangan dengan pintu terbuka. Orang-orang di sana menatapku,
lalu tanpa bertanya lagi, dokter itu langsung berbalik dan ikut berlari bersamaku.
Begitu
kami tiba di kamar, tubuh Simbah masih terkulai di tempat tidur. Seorang
perawat buru-buru memeriksa nadinya.
"Persiapkan
defibrillator!" perintah dokter dengan cepat.
Tanganku
mencengkeram ujung meja di sudut ruangan, tubuhku lemas, tapi aku tak bisa
berpaling. Aku melihat bagaimana perawat menyerahkan alat kejut jantung itu ke
tangan dokter, lalu dokter membuka baju rumah sakit Simbah, menempelkan dua
pelat logam itu ke dadanya.
"Satu...
dua... tiga!"
Aliran
listrik menyengat tubuh Simbah. Tubuhnya sedikit terangkat, lalu jatuh kembali
ke kasur. Dokter melihat layar monitor jantung. Garisnya masih lurus.
Sekali
lagi, alat itu diletakkan di dada Simbah.
"Satu...
dua... tiga!"
Tubuh
Simbah kembali tersentak. Aku berharap ia terbangun, mengeluh tentang sakitnya,
meminta dipijat punggungnya seperti biasanya. Tapi tidak ada. Tidak pernah ada.
Setelah
beberapa kali percobaan dokter menggeleng pelan. Monitor masih menunjukkan
garis lurus. Tak ada detak, tak ada tanda kehidupan.
Perlahan,
dokter menatapku. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.
Hari
itu, Jum'at 29 Januari, Simbah kehilangan sakitnya, sedang aku
kehilangan Simbah.
*****
"Lha,
kok kamu di sini?"
Lamunanku
buyar ketika seseorang tiba-tiba muncul di halaman rumah Simbah. Langkahnya cepat,
lalu berhenti begitu saja saat melihatku.
Ibuk
berdiri di sana, menatapku dengan mata sedikit membesar. Jelas ia terkejut,
karena aku pulang tak bilang-bilang. Ibuk menatapku dengan sorot penuh tanya. "Kapan pulang?
Kok nggak kasih kabar?"
Aku
menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke bale-bale. "Baru aja kok,
Buk."
Ibuk
menggeleng pelan, lalu tertawa kecil. "Anak ini, ya. Diam-diam aja,
tahu-tahu sudah di rumah Simbah."
"Mumpung
masih di sini, sekalian bantu Ibuk panen jeruk, yuk," ajaknya menunjuk
jeruk-jeruk sebesar kepala orang dewasa di dekatnya.
Aku
melirik pohon jeruk bali di halaman. Buahnya bergelantungan, sebagian sudah
menguning sempurna. Dulu, setiap musim panen, Simbah selalu menyuruhku memetik
jeruk itu. Sekarang, Ibuk yang menggantikannya.
"Kenapa
nggak Ibuk aja? Atau nyuruh Bapak?" tanyaku, malas-malasan.
Ibuk
mendengus. "Ya kalau nunggu Bapak, tahun depan baru dipetik. Udah sini,
gerak!"
Aku
hanya bisa nyengir, lalu bangkit dari bale-bale. Kakiku melangkah pelan menuju
pohon, sementara tanganku meraba-raba batangnya yang kasar. Aku mendongak,
mencari buah yang bisa dijangkau.
Tanganku
terangkat, menyentuh satu jeruk yang tergantung rendah. Saat jemariku
menyentuhnya angin bertiup sedikit lebih kencang, menggoyangkan ranting-rantingnya.
Rasanya aneh—dulu aku sering melakukan ini bersama Simbah. Sekarang, hanya ada
aku dan Ibuk.
Dengan
sedikit tenaga, aku memutar buah itu, hingga akhirnya lepas dari tangkainya.
Ibuk tersenyum, mengambil jeruk dariku dan memasukkannya ke dalam sangkek
anyam.
Saat
azan zuhur berkumandang, pekerjaanku dan Ibuk telah selesai. Matahari terik telah
tinggi. Kami bergegas pulang ke rumah. Aku melangkah di belakang Ibuk, membawa
sangkek anyam yang penuh dengan buah jeruk bali.
Saat
perlahan meninggalkan pohon jeruk bali itu lagi-lagi telingaku menangkap suara.
"Ndiah..."
Aku
terhenti sejenak. Suara itu berdesir pelan. Aku menoleh, ingin memastikan. Tapi
pohon itu hanya diam, dedaunannya yang rimbun bergerak tertiup angin. Tak ada
yang berbeda, tapi seolah ada yang menggelitik dan menyeruak dalam dadaku.
"Peluk
semua sakit hatimu, Cah Ayu. Berdamailah ..."
Dedaunan
di pohon jeruk bali itu bergoyang-goyang mengikuti irama angin. Aku menurunkan
sangkek anyam yang penuh jeruk bali ke tanah, dan kini berdiri terpaku,
memandang pohon itu dengan tatapan kosong. Ibuk sudah beberapa langkah di
depanku. Telingaku masih berdenging. Suara itu jelas menggetarkan hatiku.
"Simbah,
aku pulang hari ini. Tolong, buatkan aku apem lagi," bisikku pelan, kali
ini dengan mata basah, tatapanku kosong ke arah pohon jeruk bali itu.
—Selesai
Tentang Penulis
Salwa Ratri Wahyuni, lahir di musim panas Juni 2005,
menyukai jeruk dan memiliki kucing bernama Ameng. Penulis dapat disapa melalui
akun instagram @waa.tashi

Tidak ada komentar