Negeri Kocar-Kacir

Oleh : Imam Sofyan
Jalan yang becek akibat hujan turun deras semalam. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Manusia antusias datang tiap hari. Pemandangan satu orang membawa satu karung, adakalanya yang memakai keranjang lumrah terlihat saban pagi. Di selingi ingar bingar tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Sesekali pemandangan juru parkir memberi arahan pada seorang yang parkir sepeda motor.
“Dua ribu, Mas.”
“Naik, Pak?” Ucap pengendara sepeda motor menyodorkan uang kertas lima ribuan
“Hari Minggu biasa dua ribu, Mas” jawab Pak Didi yang sudah berpuluh tahun menjadi tukang parkir.
“Terima Kasih, Mas,” lanjut Pak Didi mengembalikan uang seribuan tiga lembar. Saat tidak ada orang yang mengambil sepeda motor Pak Didi langsung menyosor ke warung kopi di pojok pasar, hendak minum kopi yang di pesannya tadi pagi.
“Kopi saya ini, Nur?” teriak Pak Didi.
“Ya, Pak.” Sahut Imam suami Nur.
Mendengar Imam yang menjawab, kontan Pak Didi mencari kursi yang berdekatan dengan pria lulusan sarjana pendidikan tapi lebih memilih menganggur ini.
“Gimana-gimana, ada kabar apa hari ini?” Tanya Pak Didi dengan antusias. Wajahnya yang terlihat tua tak mempengaruhi semangatnya untuk mengetahui informasi seputar lokal. Informasi apapun. Yang terpenting lokal. Jika berkaitan dengan informasi nasional, biasanya Pak Didi berkelit, informasi tetangga rumah yang lapar lebih baik daripada yang jauh-jauh. Seperti kasus ibu kota yang baru-baru ini. Saat bapak-bapak di kampung Pak Didi ngobrol tentang kasus tersebut Pak Didi cenderung asyik masuk mengisap rokok tak mendengar suara apapun. Sesekali mungkin Pak Didi nyeletuk tentang tetangga yang satu RT terkena musibah atau butuh apalah, tapi biasanya saat Pak Didi nyeletuk, bapak-bapak yang sedang ngobrol diam membisu tidak melanjutkan.
“Loh, Pak Didi nggak baca koran kemarin?” Tanya Imam tak kalah antusiasnya dengan Pak Didi.
“Nggaklah, Cong. Wong kemarin tetangga rumah ada yang meninggal dunia, satu hari penuh saya bantu-bantu.”
“Tambah rusak perilaku para elit politikus daerah ini, Pak.”
“Wah, terus-terus?”
“Gedung yang terhormat jadi tempat arisan para dewan.”
“Ha? Apa-apaan ini.”
“Andai aja saya kenal para politikus itu, pasti saya tawarkan untuk ikut arisan ibu-ibu di kampung.”
“Mana dapat pahala lagi ada pengajiannya,” nyerocos Pak Didi sambik mengisap rokok klintingnya.
Kontan saja omongan Pak Didi mendapat respon tertawa orang-orang yang sedang ngopi di warung, Le’ Nur. Wa’ Sain yang sedari tadi diam dan hanya mengisap rokoknya ikut tertawa.
“Begitulah keadaan elit politik kita, Pak Didi. 30 persen kuota perempuan lebih mampu mempengaruhi lelaki di kantor dewan,” sahut Wa’ Sain di sambut tertawa.
“Nur, nggak berminat ikut arisan di kantor wakil rakyat kah?” tanya Pak Didi sambil menyeruput kopi yang tinggal separuh.  
“Buat apa ikut begituan, Pak? Wong uang yang di pakai arisan mereka hasil saya bayar pajak,” jawab Nur sekenanya. Tertawa semakin ramai di warung kopi Nur. Meskipun Nur hanya lulusan SD tapi karena pengunjung di warungnya kebanyakan dikunjungi LSM, Mahasiswa, dan organisasi sedikit banyak ada informasi yang bisa diserap. Bahkan Nur pernah didatangi intel karena warungnya dijadikan tempat diskusi mahasiswa yang hendak demo kepala dinas yang melakukan tindakan amoral: selingkuh.
“Sudah jam 11, saya mau pulang. Berapa kopinya, Cong?” Tanya Pak Didi kepada Imam.
“Lima ribu, Pak,” belum selesai Pak Didi menjawab
“Naik Hari minggu, Pak Didi.” Di sambut tertawa dengan pengunjung yang lain.

“Benar-benar nasib diam di negeri kocar-kacir ini.”
___


playbuzz.com

Negeri Kocar-Kacir Negeri Kocar-Kacir Reviewed by Redaksi on September 15, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar