Cerpen : Perselisihan untuk Sang Tuan Karya Lia Fega

Oleh: Lia Fega
Semakin siang panas matahari membakar, semakin berkobar pula semangat Marwan untuk segera menyelesaikan pekerjaannya di sawah. Tentu saja agar lebih cepat selesai dan ia punya waktu untuk pulang mandi, sebelum kemudian ikut berkumpul di Kedai Kopi Kang Bahri. Ia tak ingin ketinggalan satupun bahasan terbaru setiap harinya. Tidak boleh.
Namun, ia tak beruntung hari ini. Sang istri meminta diantar untuk mengambil uang di ATM yang memang cukup jauh dari rumah saat ia baru saja pulang. Persediaan beras sudah habis, katanya. Dan uang yang ada di dompet tak cukup untuk membeli persediaan setengah kwintal beras itu. Harganya naik. Belum lagi kebutuhan yang lain. Mau tak mau, Marwan harus mengantar istrinya dulu.

"Apa kubilang? Rezim ini memang menyebalkan! BBM naik terus!" ucap Hardi berapi-api begitu Marwan baru saja sampai di Kedai Kopi setelah dengan agak terburu-buru mengantar sang istri.
"Yang naik itu kan yang nonsubsidi. Toh kita biasa pakai yang bersubsidi. Santai saja." Darwin menyangkal setelah menyeruput sedikit kopi hitamnya yang masih mengepulkan asap.
"Harga bahan pokok terkena imbasnya. Apa-apa jadi ikut mahal," sahut Ranto yang langsung diangguki Hardi dengan semangat. Lelaki itu menjangkau korek di tengah meja untuk menyalakan rokoknya sebelum kemudian melanjutkan, "Istriku jadi minta tambahan uang belanja terus. Bersih dompetku."
"Istriku bilang harga beras yang biasa kami beli juga naik." Marwan ikut bersuara setelah sejak tadi diam menahan sisa-sisa rasa kesal karena keterlambatannya tiba di Kedai Kopi Kang Bahri yang selalu ramai ini sejak beberapa hari. Biasanya sore karena lelaki-lelaki yang berkumpul itu sibuk bekerja masing-masing dari pagi sebelum kemudian melepas penat dengan berkumpul dan mengobrolkan berita-berita televisi yang sedang didominasi politik di Kedai ini.
"Apa kubilang," ucap Hardi pasti.
"Ah, perasaan kalian saja. Bisa saja harga-harga bahan pokok itu naik kebetulan bersamaan dengan naiknya harga BBM." Darwin kembali bicara. Di antara mereka berempat, hanya Kang Bahri, pemilik Kedai yang ikut duduk bersama, satu-satunya yang diam dan tak melontarkan argumen apapun sejak tadi. Baginya, diam dan menyimak saja cukup. Itu sudah menarik.
"Apanya kau ini? Ngawur saja. Tentu saja itu sudah atas campur tangan Bapak Presiden!" kata Hardi cepat.
"Seperti serba tahu saja kau." Darwin menyahut tak kalah cepat. Ia masih dengan santai mengisap dan mengepulkan asap rokoknya, berbeda dengan Hardi yang mulai terlihat terganggu.
"Tentu saja aku tahu! Aku tak pernah melewatkan berita-berita terbaru setiap pagi di TV. Tentu aku tahu apa saja kelakuan Presiden kita itu. Benar-benar tak patut! Sebal aku. Aku memang sudah tidak pilih dia waktu Pemilu dulu. Ternyata begini kan?"
"Media kok ya dipercaya. Kau tidak akan tahu apa yang sebenarnya ada di balik berita-berita itu. Media susah dipercaya. Jangan lupakan juga provokasi di mana-mana. Atau mungkin kau saja yang tidak bisa mencerna berita dengan baik. Sudah bebal otakmu oleh kebencian," ketus Darwin.
Ketiga orang lain tak lagi bicara dan menyangkal dua orang itu, walau ada sedikit tanya, tidak biasanya Darwin terus mendebat seperti ini. Lelaki itu biasanya hanya menengahi jika ada sedikit perang argumen antar yang lain.
"Jangan sembarangan kau! Manusia-manusia pro Pemerintah sepertimu ini memang biasanya suka sok tahu dan buta dengan keadaan!"
"Lihat saja dirimu sendiri. Kubu oposisi sepertimu ini yang bisanya hanya menjatuhkan dan melihat sesuatu untuk disalahkan!"
"Kau mau Negara kita hancur perlahan gara-gara dipimpin dia terus? Masih mau memilihnya untuk dua periode?" Hardi sudah berdiri dari duduknya. Matanya melotot marah.
"Itu rahasia. Terserah aku mau pilih siapa," sahut Darwin cepat, membuat Hardi kian meradang.
"Halah. Dari ucapanmu sejak tadi juga sudah kelihatan pilihanmu siapa."
"Dari tarik uratmu sejak tadi juga sudah kelihatan kau akan pilih siapa," jawab Darwin tak mau kalah.
"Memangnya kenapa? Terserah aku kan?"
"Memang terserah. Itu urusanmu. Aku hanya mencoba meluruskan. Rasanya kau kebanyakan salah cerna berita. Banyak berita-berita palsu dan dibuat-buat akhir-akhir ini yang bertujuan provokasi dan menyebar kebencian."
"Asal tuduh saja bisamu! Memangnya aku bodoh? Kau saja yang dungu!"

"Dungu teriak dungu?" ujar Darwin.
"Kau yang dungu! Buktinya istrimu bisa menipumu dengan mudah. Hah! Bisa-bisanya tak sadar kalau istrinya selingkuh."
"Kau!" Darwin berdiri dari duduknya. Ketenangannya lenyap sudah kala mantan istrinya dibawa-bawa. Ia hampir saja melayangkan kepalan tangannya pada Hardi kalau saja Marwan dan Kang Bahri tidak segera berdiri dan menghalangi.
"Sudah, Di. Sudah." Ranto berusaha menenangkan Hardi yang terus menatap Darwin menantang dengan bahu naik turun. Seakan berkata, "Mau apa kau? Maju saja! Aku tak takut!"
"Kau--"
"Sudah, Di. Ayo pulang saja!" Ranto segera menarik Hardi pergi dari sana, walau lelaki keras kepala itu sempat memberontak untuk terus mengikuti egonya.
*     *     *
Marwan pulang jauh lebih awal dari sawah hari ini. Memang tak ada apapun yang perlu dikerjakan di sawah miliknya. Ia hanya datang untuk melihat-lihat dan mengecek perkembangan tanaman-tanaman jagungnya.
Kedai Kopi Kang Bahri kembali jadi pilihannya bersantai siang ini. Ya, masih terlalu siang. Mungkin ia akan sendirian di Kedai nanti atau bisa ditemani Kang Bahri. Yang lain tentu belum berkumpul jam segini. Walau sebenarnya, Marwan sendiri tak yakin mereka akan berkumpul kembali setelah apa yang terjadi kemarin. Perdebatan kemarin benar-benar panas, jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Biasanya hanya sedikit tinggi lalu setelah itu rendah kembali. Yang kemarin sudah terlampau tinggi.
"Siang, Wan? Tidak ke sawah?" tanya Kang Bahri sambil menghampiri Marwan bersama dua cangkir kopi. Satu untuk pesanan Marwan dan satu untuk dirinya sendiri.
"Ke sawah sebentar saja. Hanya lihat-lihat. Mungkin besok mulai panen," sahut Marwan sambil menerima kopinya.
Kang Bahri ikut duduk. Mumpung tak ada pembeli, ia bisa menemani Marwan di sini. "Wah, jagung ya? Kemarin aku lewat, besar-besar itu buahnya."
Marwan tertawa. "Tidak sebesar cangkir kopimu," sahutnya, membuat Kang Bahri ikut tertawa. Namun, tawa lelaki itu tiba-tiba hilang.
"Kenapa, Kang?" tanya Marwan.
"Menyesal sekali aku dengan pertikaian Hardi dan Darwin kemarin itu. Kenapa kau malah diam saja, Wan? Aku tahu kau bisa saja mematahkan argumen tak berujung mereka berdua."
"Terlalu menarik untuk dihentikan, Kang."
"Hush! Orang tengkar bukan hiburan," tegur Kang Bahri, membuat Marwan tertawa pelan.
"Aku suka buru-buru pulang dari sawah hanya untuk menyaksikan itu secara langsung, Kang. Hardi cepat emosi. Suka aku," kata Marwan di sela-sela tawanya. Ia melanjutkan, "Yang benar saja mereka, membela mati-matian orang yang bahkan tidak peduli itu."
"Di hari-hari sebelumnya, biasanya kau yang ramai bicara. Tapi obrolanmu jelas, tak hanya saling menyalahkan seperti Hardi dan Darwin kemarin."
Marwan hendak menimpali ucapan Kang Bahri saat ponsel di sakunya tiba-tiba berbunyi. Istrinya menelpon. Ada tamu, begitu katanya.
Dengan sangat menyesal karena harus menghentikan obrolan dan kopinya yang masih tinggal setengah, Marwan berbalik pulang. Ia sudah akan masuk ke pekarangan rumahnya ketika suara ribut tiba-tiba terdengar dari arah barat, arah rumah Hardi. Segera ia berlari mendekat.
"Sial!" Marwan menerobos beberapa orang yang berkumpul di depan rumah temannya itu. Hardi dan Darwin adu jotos! Istri Hardi yang berusaha menghalangi malah terdorong dan Ranto yang berusaha melerai juga tak menghasilkan apapun. Hardi dan Darwin seakan saling mengait satu sama lain untuk saling melukai.
"Hentikan, Bodoh!" gertak Marwan sambil berusaha memisahkan kedua kawannya, tetapi percuma. Mereka berdua terlalu kuat didorong emosi. "Kalian gila! Hentikan!"
Marwan sudah mengangkat tangan untuk menampar keduanya keras-keras agar segera berhenti saat Darwin tiba-tiba menekuk lutut dan menonjokkannya pada perut Hardi, membuat lelaki itu kaget dan terpental jatuh ke belakang. Kesadarannya hampir hilang.
"Gila, Win! Hentikan!" Marwan meremas dan mengguncangkan bahu Darwin yang masih terlihat tak puas dengan emosinya.
"Dia--"
"Kau sudah tua! Jangan merunyamkan perkara! Pulang sana!" bentak Marwan sambil mendorong Darwin keluar dari halaman rumah Hardi. "Bawa dia pulang, To!"
Ranto mengangguk cepat dan segera menarik Darwin pergi, sedangkan Marwan dibantu beberapa warga yang hanya menonton tadi, membawa Hardi masuk ke dalam rumah untuk kemudian dibaringkan di ranjang kamarnya.
Semua orang sudah pulang, tinggal Marwan di sana. Ia duduk menunggui Hardi yang terpejam menahan perih, sedangkan sang istri sedang memasak air panas untuk mengompres.
Istri lelaki itu sudah cerita, Darwin tiba-tiba datang ke rumahnya dan berbicara dengan Hardi. Awalnya mereka bicara seperti biasa, setidaknya itu yang ditangkap oleh istri Hardi, hingga entah bagaimana kemudian tiba-tiba saling teriak dan adu otot seperti tadi. Marwan tahu, itu masih masalah kemarin.
Ah, keduanya ini memang bodoh. Mengendalikan emosi pun tak becus.
Tak lama, Hardi membuka matanya perlahan. Ringisan tercipta jelas di wajah lebamnya.
"Sakit?" tanya Marwan.
Tak ada jawaban.
"Apa Tuanmu datang membantumu, Di?"
"Tuan siapa?" Hardi akhirnya menjawab, walau sedikit susah sebab bibirnya sangat perih tiap kali dibuka, apalagi bicara. Sepertinya robek sedikit.
"Tuan yang kau bela mati-matian. Yang kau debatkan kemarin dan membuatmu berkelahi dengan temanmu sendiri hari ini."
*

Biodata Penulis
Lia Fega. Lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 14 Desember 1999. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Hobi menulis sejak duduk di Sekolah Dasar. E-mail ; liafega99@gmail.com No. Telepon : 085231003927

Cerpen : Perselisihan untuk Sang Tuan Karya Lia Fega Cerpen : Perselisihan untuk Sang Tuan Karya Lia Fega Reviewed by Redaksi on Februari 03, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar