Sepotong Surat Suara untuk Mantanku

 


Oleh Ahmad Maghroby R 

Sayang, kukirimkan surat suara ini padamu dengan harapan ia masuk ke dalam hatimu, seperti surat suara di TPS yang masuk ke dalam kotak alumunium itu, plung. Kutuliskan surat suara ini dengan jarum yang memperlebar sebuah lubang yang menghitam ini. Kutuliskan ia dengan prinsip LUBERJUPIL (luntur, berat, julit dan pilu) agar ia sah dan resmi. Kutuliskan surat ini di tengah musim pilihan. Dan kau tahu, barang siapa melawan musim akan sakit, setidaknya dianggap sakit. Maka kuputuskan untuk kutuliskan surat suara ini, agar aku tak sakit. Tak lupa, tadi setelah rampung kutulis, ada warna ungu, sebagai tanda memar dan babak belur jariku yang bersikeras tak mau melepaskan lingkaran laknat ini. 


Sayang, di bilik itu tak ada tukang becak yang kemarin sore mengembalikan dua ribu rupiah yang lebih untuk Pasar Senggol ke depan Polres. Kamu juga tak akan melihat ibu pedagang nasi pecel di sekolahmu dulu, yang memberikan sepiring pecel lengkap dengan telur dan kerupuk dengan harga lima ribu. Di sana, tak ada tetanggamu yang tempo hari menembel jalan desamu yang lama tak diperbaiki dengan jerami, bata, tanah atau apapun yang ada. Kamu juga tak akan menemukan Pak Tilam yang masih saja menjual sosis 2000 dapat tiga. Atau Sedot, kernet kol itu, yang biasa memberimu diskon untuk Terminal ke rumahmu. Atau satpam sekolahku dulu yang biasa kong-kalikong denganku saat meloncat pagar sekolah, asal ada memori plus isinya yang itu....


Ya, barangkali bilik itu hanya menyoal hal-hal kecil atau hobi saja, sayang. Seperti halnya aku yang tak pernah mengerti mengapa kau suka K-Pop dan aku suka Danny Caknan. Atau kau yang tak suka sarapan pagi dan aku yang harus ngopi. Dan kau tahu, sayangku, kita masih berciuman malam itu, bukan? Barangkali juga, bilik itu seperti kita dulu saat turun tanah: disajikan buku, pensil, uang, dan lain-lain yang jadi harapan orang tua. Tak peduli, sekarang aku jadi pengangguran.


Tapi kau dan aku tahu kemudian, bukanlah persoalan bilik itu kalau aku yang tak kuliah tak cocok denganmu yang sarjana. Itu persoalan usahaku dan nasib. Kau juga sepakat bukan, sama seperti orang-orang, bahwa kegilaanku pada arak tak ada hubungannya dengan sulitnya mencari kerja, karena hanya orang kaya yang bisa boleh foya-foya. Kau juga kemudian tahu, kalaupun kita jadi menikah, dan anak kita lahir hari ini, aku tetap tak bisa membiayai persalinan anak kita.


Jadi, tanggal 9 datanglah ke TPS. Pilih seseorang, siapapun itu. Tak usah bertanya mengapa hanya itu pilihannya, karena ini bukan tentang memilih pacar dengan banyak pilihan seperti biasa kau lakukan. Tusuklah, sayangku, tusuk surat suara itu untuk nasib. Nasib seseorang, seseorang lain yang entah.

_________________

*) Redaktur takanta ID, biasa tidur dari pagi ke sore. Semoga, besok bisa bangun dan pergi ke TPS.

Sepotong Surat Suara untuk Mantanku Sepotong Surat Suara untuk Mantanku Reviewed by takanta on Desember 09, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar