Damar Aksara; Puing-Puing Asmara


Hari itu dua tahun yang lalu. Keluarga keduaku. Rumah ketigaku. Saudara-saudara terbaikku. Kampung Langai, Rumah Baca Damar Aksara beserta isi dan kenangannya.
Aku benar-benar merindukannya. Dapur favorit untukku memasak. Dapur sederhana beralaskan tanah. Di sebelahnya adalah sebuah gudang. Sebenarnya ia masih satu ruangan. Hanya di sisi lain dari barangan dapur itu adalah perkakas yang sudah tidak terpakai. Banyak sekali benda yang tersimpan rapi di sana. Entah itu sebuah figura bekas, atau beberapa atribut sisa-sisa decoration. Di gudang itu pula Ardy menyimpan hewan ternaknya. Entah itu seekor ular, sugar glader, atau beberapa ekor tokek. Dan satu di antara mereka tidak ada yang aku suka. Di atasnya tergantung beberapa helai baju yang sengaja dibiarkan entah sampai berapa lama.
Di samping dapur itu ada sebuah kamar mandi. Sebuah kamar mandi kecil namun sangat layak. Karena kami sangat menjaga kebersihannya. Kadang mas Ubur menyimpan seikat bayam, atau sawi, atau bahkan kangkung di sebuah vas berisi air di sana. Saat pertama kali di rumah ini, aku pikir mas Ubur benar-benar membiarkan sayur itu beranak-pinak. Sebuah pemikiran yang sangat konyol.
Di kamar mandi itu juga terkadang ada satu bak berisikan rendaman cucian milik mas Ali. Dia adalah satu-satunya penghuni yang sangat menjaga kebersihan rumah yang mereka huni bertiga. Tentu rendaman cucian itu tidak pernah sampai bertahan berhari-hari.
Jika kita masuk lagi ke ruang tengah, atau rumah inti. Tidak begitu besar. Tapi dalam satu ruang itu mampu untuk menampung dua puluh orang. Tentu saja jika itu tidak ada beberapa alat musik di sana. Berseberangan dari ruang inti ada dua buah kamar. Satu kamar telah dijadikan studio musik. Di mana alat-alat musik seperangkat drummer dan sebagainya adalah crassindo milik mas Bayu.
Sebuah kamar lagi lengkap dengan kasur lipat. Dan siapa saja boleh tidur di sana. Jangan lupakan sleeping bag milik mas Ubur. Mas Ubur selalu tidur dengan menggunakan sleeping bag. Mungkin selain praktis, sleeping bag boleh dirasa nyaman olehnya. Kamar yang satu ini sangat istimewa dengan pemadangan terus ke jalan. Yang menampakkan sebuah bukit favorit yang tumbuh satu pohon di kejauhan. Di sana tersimpan sebuah piano klasik milik mas Jaya. Sebuah almari rendah berisikan baju-baju milik mas Ali. Sebuah komputer yang selalu digunakan mas Ubur untuk bekerja. Dan sekotak perangkat suling milik mas Ali. Ada juga sebuah sapek yang Mas Ali buat sendiri bersama ayahnya.
Aku jadi ingat di suatu siang. Hari itu aku sengaja bolos sekolah. Selain sudah tidak aktif pelajaran, aku merasa kurang ‘sehat’. hanya aku yang mengerti apa sehat yang aku maksud, karena aku benar-benar jenuh. Dan kebetulan sekali mas Vian sedang ingin keluar untuk membayar tagihan air. Jadi setelah sebentar kami makan di warung mie ayam yang enak itu, kami terus saja menuju rumah baca. Kami biasa berkumpul di rumah baca itu. Tidak selalu berkumpul untuk membahas hal yang penting. Tapi terkadang, bahkan sering, kami berkumpul untuk menghabiskan senja. Mas Ali dan Mbak Fila sudah lebih dulu di sana ketika kami baru sampai. Kemudian mas Antar juga datang untuk sama-sama meramaikan. Dengan logat jawanya yang begitu kental, Mas Antar bagaikan hidangan penutup. Tanpanya, pasti ada yang kurang. Candanya yang renyah, dan aku meprediatkan ia sebagai pem-bully yang cerdik.
Saat itu kami berada di kamar yang aku ceritakan. Mas Antar mulai memainkan piano klasik dengan tuns random sekaligus bergabung dengan suaraku yang sama sekali tidak senada membuat kami sama-sama tertawa.
Aku sengaja mengambil gambar kami diam-diam. Dan aku juga mengambil gambar Mas Ali dan Mbak Fila. Mereka sedang berpose seolah-olah sedang memadukan musik yang mereka mainkan. Mas Ali dengan pose seriusnya seolah memainkan piano klasik. Juga Mbak Fila dengan pose memainkan sebuah biola. Ah… mereka berdua, tidak lagi akan melangsungkan pernikahan. Semoga mereka selalu berbahagia.
Aku pikir aku belum selesai dengan ruangan inti. Di sana tertata sebuah lemari berisikan banyak sekali jenis-jenis buku koleksi mas Lutfi. Oh ya, mas Lutfi adalah pemilik Rumah Baca Damar Aksara ini. Tapi semasa mas Lutfi melajang, ia menyelesaikan S2-nya di Yogyakarta. Dan ia sangat berharap bahwa rumah baca yag ia dirikan akan sangat bermanfaat nantinya.
Kebetulan aku sudah membaca beberapa koleksinya. Tentu saja. Terutama karya mas Putut EA, dan sebuah sonata, aku lupa karya siapa.
Dan di ruang itu juga komunitas kami, KPMS (Komunitas Penulis Muda Situbondo) berkumpul. Saling bertukar pendapat, dan menghasilkan sebuah karya bersama. Dalam komunitas kami mas Imron sangat membantu. Aku iri padanya, karena ia masih konsisten sampai sekarang di dunia literasi.
Di ruang itu juga menjadi sebuah saksi terciptanya sebuah hubungan percintaan antara mas Adit dan Mbak Aurora. Agak pelik memang. Pasalnya di suatu malam yang secara tiba-tiba terjadi pemadaman listrik. Akhirnya kami berlima; aku, mbak Rora, Mas adit, Mas Ali, dan Ardy hanya diterangi oleh sebuah lilin. Pada malam itu, Mas Adit dan Mbak Rora belum cukup mengenal. Yang artinya malam itu adalah awal perkenalan mereka berdua. Mungkin sebuah lagu yang mereka berdua nyanyikan dan sebuah kentut bau milik mas Adit di malam itu, cukup membuat mbak Rora jatuh hati pada seorang Adit. Yah… mereka berdua semoga selalu berbahagia. Oh ya, jangan lupakan Ardy yang pada saat itu sedang menaruh hati pada mbak Rora. Hehe… tapi Ardy saat ini sudah berbahagia dengan mbak Anggi. Dan hubungan mereka berlanjut sampai saat ini.
Mumpung masih membahas percintaan, ada juga mas Ubur dan Mbak Maharani yang demen berantem dan baikan dalam waktu singkat. Tapi mas Ubur pernah bilang padaku, bahwa mereka juga akan menikah. Dan saat ini keduanya sama-sama berusaha untuk itu. Semoga dilancarkan keduanya. Dan Mas Lutfi? Tentu saja dia sudah menikah, dan bahkan sekarang ia sudah menjadi seorang ayah. Dan dengan itu, Rumah Baca kembali ditempati Mas Lutfi dengan sekeluarga barunya.
Bagaimana denganku? Tentu saja aku juga mempunyai kisah percintaan di sana.
Bersambung...
Damar Aksara; Puing-Puing Asmara Damar Aksara; Puing-Puing Asmara Reviewed by Redaksi on Juli 23, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar