Nasi Karak, Takar dan Gesseng

Ikan Takar

Pagi itu selepas subuh, saya bangun dari tidur yang tak nyenyak. Saya duduk sebentar, rebahan lagi mengambil posisi paling nyaman dan kemudian bersiap melanjutkan tidur. Tidur yang benar-benar tidur. Saya berniat tak akan bangun-bangun lagi sampai sore. Tidur sampai puas.
Tetapi, saya baru sadar bahwa pada malam hari sebelumnya saya kebagian tugas membeli ikan ke pasar. Tugas yang sebenarnya agak berat, bagi saya.
Oleh : Ahmad Zaidi
Semua berawal ketika saya menemani Mas Puthut yang kepingin mancing. Saya ditanya apa saja kuliner di Situbondo, saya menjawab tidak tahu. Ditanya nama-nama ikan dalam bahasa lokal, jawaban saya masih sama: tidak tahu. Ditanya ini itu, jawaban saya selalu tidak tahu.
"Lho, memangnya selama ini kamu ngapain aja di Situbondo, Ngaji, ya?"
"Begitulah, Mas."
"Kamu pinter ngaji berarti?"
"Nggak."
Namun niat mancing itu gagal karena punggung Mas Puthut agak sakit. Jadilah, saya mengajaknya bertemu  dengan Mbah Kut, seorang budayawan, seniman dan seorang Mbah bagi teman-teman di Rumah Baca Damar Aksara. Dari Mbah Kut ini, kemudian Mas Puthut terlibat dalam percakapan yang alot. Dan rasa penasarannya yang tidak bisa saya jawab, terjawab dengan tuntas dan puas. Gimana tidak puas, sudah diberi penjelasan tentang banyak hal di Situbondo, dibikinkan tiga jenis masakan yang mantebnya minta ampun pula. Nasi karak, ikan takar dan ikan gesseng.
Itulah mengapa pagi itu saya membatalkan niat untuk tidur. Tugas saya adalah mencari ikan salem yang masih segar, di pasar. Ada dua jenis ikan yang saya buru: kaben untuk dimasak gesseng dan rencek untuk dimasak takar. Saya membeli ikan-ikan itu di Pasar Tradisional Beringin. Pagi benar, saya datang ke sana. Sebab, pasar itu sudah buka dari jam tiga dini hari. Di atas jam tujuh pagi, semua pedagang di sana menutup kios maupun lapak mereka. Baru buka lagi menjelang Asar.
Tidak dapat saya bayangkan sebelumnya, seperti apa rasanya pergi ke pasar pagi-pagi sekali, menenteng tas kresek, berjibaku dengan ibu-ibu dan menawar harga. Saya sedikit malas sebenarnya, namun hal demikian tetap saya lakukan, sebab saya beruntung sekali Situbondo didatangi Mas Puthut. Eaaaa.
Selesai belanja, saya langsung bergegas menelepon Mbah Kut. Misi saya selesai. Tugas telah saya laksanakan. Dan ternyata...masih ada banyak hal yang perlu saya lakukan: menemani Mbah Kut masak dan memperhatikan dengan cermat dari awal hingga akhir kemudian mendokumentasikannya dalam tulisan. Itu tugas yang mudah, tetapi untuk seseorang yang baru saja diporak-porandakan perasaannya macam saya, nanti dulu. Saya harus punya strategi jitu, untuk menghadapi saat-saat yang konon tragis ini.
Singkat cerita, Mbah Kut dan saya bertemu di dapur.  Saya datang membeli ikan sementara Mbah mendapat bagian bumbu dan keperluan lainnya, Mbah ditemani oleh Mas Saleh. Jadi pagi itu kami bertiga saja di dapur.
Mula-mula. Mbah Kut merendam ikan-ikan ke dalam cuka. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan bau amis. Bila tidak ada cuka, tenang saja. Hal ini juga bisa dilakukan dengan perasan jeruk nipis. Atau parfum, barangkali. Hehe
Selama menunggu rendaman cuka selesai, saya pikir, akan ada adegan Mbah Kut meracik bermacam jenis bumbu, mengulek laiknya koki kawakan. Ternyata bumbu-bumbu tersebut telah dihaluskan, dan berada dalam bungkusan plastik.
"Sebelum berangkat ke sini, saya sempatkan meracik bumbu tersebut di rumah." Ujar Mbah Kut, di sela kesibukannya memotong daun pisang menjadi dua bentuk. Ada yang bulat dan kotak, seukuran piring. Waa ini. Saya menduga ada bahan rahasia yang sengaja ia sembunyikan dari saya. Namun dugaan saya meleset. Mbah Kut memaparkan bahan-bahan tersebut, seperti bawang merah-putih, tomat, cabe, kunir, garam, asam, sedikit gula dan entah bahan apa lagi. Catatan-catatan saya lenyap.
Selanjutnya, tangan-tangan terampil Mbah Kut maupun Mas Saleh tampak cekatan mengambil bahan-bahan. Mulai dari mengangkat rendaman ikan, membersihkannya, dan ketika semua ikan selesai dicuci, wajan berukuran medium diletakkan di atas api. Tak lama kemudian, daun pisang direntangkan sebagai alas.
"Pertama-tama, kita masak takar." Mbah tersenyum ke arah saya.
Daun pisang itu untuk menambahkan aroma tertentu dan mengundang selera makan. Setelah tampilan daun agak layu, Mbah menambahkan minyak berikut bumbu yang telah disiapkan. Sesekali Mbah mengaduknya hingga tercium aroma yang membikin saya menelan ludah. Dengan gerakan halus, Mas Saleh membantu Mbah menceburkan ikan rencek ke atas wajan. Api dibesarkan, untuk mempercepat mengurangi kadar air. Sampai kira-kira lima belas menit, api dikecilkan. Mbah menambahkan garam, gula dan sedikit asam lalu penutup wajan ditangkupkan. Api dimatikan. Wajan dipindahkan dan diganti dengan wajan lain.
Seolah tanpa jeda, Mbah menyiapkan menu berikutnya. Bumbu yang digunakan masih sama dengan menu sebelumnya. Hanya saja, cara masaknya beda lagi. Bedanya, gesseng ini berkuah dan tidak menggunakan daun pisang. Setelah minyak dalam wajan mulai panas, ditandai dengan munculnya asap tipis, Mbah menuangkan bumbu dan mengaduknya perlahan. Seperti sebelumnya, ditunggu hingga mengeluarkan aroma yang menggelitik selera, lalu ikan kaben dimasukkan. Tak lupa, air ditambahkan. Penutup wajan dipasang. sekitar tiga puluh menit di atas nyala api sedang, menu kedua selesai.
Tersisa menu ketiga: nasi karak. Beras yang ditanak dan matang ditiriskan ke atas nampan. Lalu ditaburi dengan garam secukupnya. Ditaburi lagi dengan parutan kelapa sambil diaduk hingga tercampur hingga merata.
Nah, ketiga menu tadi telah tuntas dan berhasil mengundang rasa lapar yang saya tahan sejak awal.
Sebagai pelengkap. Mbah Kut tak lupa untuk langsung menggoreng terasi yang dikeluarkan dari bungkus plastik, selama kurang dari satu menit. Disusul dengan cabe. Disusul lagi dengan rante. Ketiganya dikumpulkan dalam cobek, lalu diulek hingga menjadi sambal. Terakhir, mbah menggoreng terong sebagai menu tambahan mewakili jenis sayuran lainnya.
Lengkap sudah, semua menu siap dihidangkan. Saya melihat sebentar ke arah Mas Puthut dan juga teman-teman yang sedari tadi menunggu. Semua tampak lapar. Mbah dengan telaten menghias tampilan masakannya. Cantik sekali.
Satu per satu masakan tadi dihidangkan oleh Mas Saleh. Mas Nody, Mas Kikik, Mas Puthut, Sopyan dan Hari menampakkan wajah tak sabar ingin menikmati lezatnya masakan Mbah Kut. Tak ingin membuang waktu, saya bergabung dengan mereka. Dan sewaktu hendak mengambil piring, ada momen bahagia di mana tangan saya dengan cepat memencet bidikan kamera ke arah Mas Puthut.
Ceklek. Maknyuus.
Nasi Karak, Takar dan Gesseng Nasi Karak, Takar dan Gesseng Reviewed by Redaksi on September 23, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar