Kitab Putih

Sudah menjadi kebiasaanku, awal bulan selalu aku sempatkan untuk berkunjung ke Surabaya ke tempat toko-toko buku. Menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku adalah sebuah kewajiban sebagai seorang terpelajar. Selain kitab kuning aku juga harus mengimbangi agar membaca buku kitab putih. Hampir sebulan keinginan membeli buku tertahan karena permasalahan keuangan.
Oleh : Imam Sofyan
Bulan sebelumnya aku datang di toko buku yang sama, itu pertama kalinya aku menginjakkan kaki di toko buku ini. Tumpukan buku berderet rapi. Ada banyak sekali buku yang ingin aku miliki, tapi aku pendam. Keberadaanku di toko buku membuat aku kebingungan. Buku macam apa yang hendak kubeli, semua buku yang dipajang membawa gairah tersendiri. Aku merasa ketika aku berada tepat di toko buku semua buku seakan memiliki tangan mengajak dan memanggil namaku untuk aku beli. Ketika seorang teman membawa buku, ingin sekali aku meminjam dan membacanya. Tapi aku tak puas. Karena tak bisa di corat-coret.
Saat ini dengan toko buku yang sama, kejadian bulan lalu tidak boleh terulang kembali. Aku lupa. Aku lupa bahwa uang bulananku habis untuk membeli buku. Ada kisaran sepuluh buku waktu itu yang aku pegang. Semuanya tanpa perhitunagan keuangan yang aku bawa. Aku mengingatnya saat di depan kasir. Aku kembalikan dua buku agar aku bisa kembali ke pesantren. Berkali-kali aku memiliki penyakit lupa jika berada di toko buku. Berkali-kali pula aku rela berhutang untuk biaya makan sehari-hari. Sikapku yang sering lupa saat di toko buku ini awal dari hutangku yang menumpuk.
Sering kali aku merasa terombang-ambing saat berada di tumpukan-tumpukan buku. Kadang kala aku berkhayal bisa berkunjung ke Perpustakaan Nasional Norwegia. Ya, hanya di Perpustakaan Norwegia aku bisa melepas dahagaku terhadap buku. Di sana saya bisa melihat Perpustakaan unik yang keberadaannya di gunung dan terdapat dua lubang besar Gua berlantai empat memiliki koleksi lengkap. Dus. Kecintaanku terhadap buku sering membuat bapak marah.
“Bapak bakar semua buku kalau ngga menuruti kemauan bapak.”
Bapak memang berkeinginan agar anaknya menjadi orang yang paham terhadap ilmu agama. Lebih-lebih menjadi ustaz di kampung tempat keluargaku tinggal. Saat ada tamu berkunjung ke rumah bapak dengan senang bercerita tentang anaknya yang berada di pesantren. Itu berarti keinginan bapak agar anaknya menjadi tokoh agama semakin nyata.
Sedangkan aku, sama sekali tak ada secuil pun mimpi untuk menjadi seorang tokoh agama. Mengenyam pendidikan pesantren sampai lima tahun semakin membuatku malas menjadi tokoh agama. Aku sadar bahwa semakin lama seseorang berada pada lingkungan pesantren justru semakin alim. Itu tidak berlaku bagiku.
Berat. Berat sekali tanggungannya jika harus menjadi tokoh agama. Berkali-kali bapak mengatakan agar kelak aku menjadi tokoh agama di kampung. Berkali-kali pula aku menolak. Pernah saat menjelang buka puasa antara aku dan bapak bertengkar hebat hingga membuat piring melayang ke jidat. Darah mengalir. Emak menangis kasihan dan menyuruhku keluar agar pertengkaran tidak semakin menjadi-jadi. Aku keluar rumah dalam kondisi darah mengalir.
Setelah kejadian piring melayang bapak tidak mengajak ku bicara hingga berhari-hari. Hanya emak yang masih menaruh kasihan. Saat buka dan sahur emak melarang untuk makan bersama. Emak masih trauma jika anaknya harus menjadi korban kekerasan bapak. Menjelang hari raya bapak masih juga tidak mengajakku berbicara. Melihat kerasnya bapak emak menyarankan untuk mengikuti keinginan bapak. Tapi aku menolaknya.
“Kau tak tahu bagaimana bapak bangun dini hari memikirkan anaknya yang di pondok.”
“Hampir tiap hari bapakmu tak pulang diam di parkiran.” Lanjut emak membuat aku terharu mendengarnya.
“Berhenti saja aku mondok, Mak”
Emak terkejut mendengar permintaanku. Semenjak itu emak berhenti merayuku untuk mengikuti keinginan bapak. Selanjutnya bapak yang dirayu sama emak. Bapak memang sudah tidak menuntut lagi keinginannya. Tapi gerak-gerik bapak masih berusaha agar aku menjadi tokoh agama. Hal itu dibuktikan saat pengiriman uang bulanan. Bapak masih menyisakan uangnya untuk membeli kitab kuning agar aku mempelajarinya. Aku pelajari kitab-kitab yang diberikan bapak. Pernah pula saat hendak salat subuh bapak menawarkan aku untuk menjadi imam.
“Wong sudah imam malah di suruh jadi imam,” ujar saya sekenanya. Emak yang masih merasa ngantuk tertawa mendengar jawabanku.
Mendengar jawabanku, kadang kala bapak menyesal memberi nama Imam kepada anak satu-satunya. Keinginan bapak berhenti sepenuhnya saat paman dari pihak ibu meninggal dunia. Saat tahlil akan dimulai ustaz Ali yang biasa memimpin tahlil berhalangan hadir. Kontan saja jamaah kelabakan. Bapak yang waktu itu terlihat kebingungan mencari pemimpin tahlil membuatku nggak tega. Mau tidak mau aku harus yang memimpin tahlil.
Sehabis itu bapak memberikan kebebasan keinginan anak lelakinya. Aku senang bukan main melihat bapak bersikap demikian. Setidak-tidaknya bapak tahu bahwa agama hanya untuk kebaikan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain.
Bapak benar-benar berubah. Itu ditunjukan dengan kiriman uang bulanan saya di pesantren naik. Naiknya kiriman uang bulanan ini yang saya sisihkan untuk membeli buku. Tiap bulan harus ada buku baru yang harus aku beli. Dan buku menjadi awal aku merasakan arti cinta. Cinta terhadap buku bukan pada wanita apa lagi mantan, ogah.
*****
“Ada buku Soe Hok Gie, Bu?”
“Yang mana, Mas? Lentera Merah, Catatan Seorang Demonstran, Zaman Peralihan atau Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan?” jawabnya dengan cepat. Saya terkejut mendengar ibu penjual buku ini. Jarang aku melihat pedagang buku yang hafal nama penulis dan judul bukunya. Berbeda saat saya mencari buku di toko-toko besar. Biasanya pelayan akan menyuruh saya untuk melihat di komputer yang sudah disediakan. Namun ibu ini berbeda.
“Coba lihat semua, Bu.”
Ibu tadi mengeluarkan tiga buku kecuali zaman peralihan.
“Berapa, Bu?”
“75.000, Mas.”
“Saya ambil semua kalau ada yang judul Zaman Peralihan, Bu.”
“Tunggu mas ya.”
Perempuan paruh baya itu mencari buku di pedagang buku lainnya.
“Ini, Mas,” ucapnya sambil menyerahkan buku Zaman Peralihan.
Aku menyerahkan dua lembaran uang 50 ribuan sembari mengucapkan terima kasih. Buku-buku yang aku beli ini kualitas buku KW. Cukup untuk kantong mahasiswa plus santri sepertiku yang mengandalkan uang dari orang tua tiap bulannya. Selain kertasnya buram buku-buku berkualitas KW berbeda dari bau buku baru. Sering aku membeli buku baru, baunya sampai ke ubun-ubun. Buku KW cenderung tawar.
Buku KW sering kali menjadi pandangan miring buat penerbit buku. Itu aku akui. Tapi diakui atau tidak, sebagian orang berpandangan buku-buku berkualitas selain laris di pasaran dan terdapat tulisan best seller di cover depan buku juga yang sering dibajak alias difoto kopi. Kekurangannya hanya sekali buka buku kualitas KW ini cepat sekali lepas dari halamannya.
“Tapi tak kenapa lah, intinya saya membaca buku.” Ucapku dalam hati.
Saya kembali ke pesantren dengan membawa keceriaan yang tak terhingga. Apa lagi kalau bukan buku-buku yang baru saya beli di Pasar Ilmu. Tempat pedagang buku-buku bajakan. Aku mengetahui Pasar Ilmu dari seorang teman yang sering juga membeli buku di Pasar Ilmu. Meskipun buku yang dijual bajakan setidaknya membuat dahagaku terhadap buku sedikit terkurangi.
Di dalam bus tak henti-hentinya saya mengelus-ngelus layaknya mengelus seekor kucing, membolak-balikkan buku. Kadang pula aku tersenyum sendiri melihat buku-buku yang aku beli. Sesekali saya teliti gambar Soe Hok Gie aktivis yang mati muda tersebut. Buku-buku Soe Hok Gie sering dijadikan rujukan bagi mahasiswa baru seperti saya.
Gedebukk.
Bukuku terjatuh saat penagih karcis membangunkanku.
“Turun mana, Mas?”
“Situbondo, Pak.”
“36.000,Mas”
Aku menyerahkan uang sesuai. Dan aku tertidur kelelahan.
____
Penulis adalah pegiat Literasi di Gerakan Situbondo Membaca)

Kitab Putih Kitab Putih Reviewed by Redaksi on November 05, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar