Arebba: Mendoakan Para Leluhur

Ahmad Zaidi

Oleh : Permata Kamila*
Di suatu sore dengan cuaca yang sedikit mendung. Saya, bapak dan emak tengah menikmati ubi rebus di teras rumah. Seorang tetangga datang menghampiri kami.
"Cong, apa pisangmu gak mau dijual?" Kata tetangga kami, sembari menunjuk pisang yang masih bergantung di pohonnya dan menawar pisang itu dengan harga tinggi. Tapi bapak saya menolak untuk menjualnya. Dengan alasan masih terlalu muda.
Saya gak peduli dengan alasan bapak mengapa menolak menjualnya, meskipun dengan harga lumayan tinggi. Emak juga tak mengompori untuk menjualnya. Tak seperti biasanya yang tak tahan mendengar nominal uang.
Seminggu kemudian, orang yang sama dengan tujuan yang sama pula datang kembali. Lagi-lagi menawar pisang di depan rumah dengan harga yang lebih tinggi. Saya pikir bapak akan merelakan pisangnya itu. Ternyata jawaban bapak seminggu lalu tak berubah. Tetap menolak menjualnya.
Penasaran datang tanpa diundang. Baru kali ini saya begitu ingin tahu alasan bapak tidak menjualnya.
"Pak, pisangnya kok gak dijual aja?"
Saya kira pisang itu akan dibuat kue untuk acara pertunangan saya bulan depan. Ternyata bapak mempunyai alasan sendiri mengapa beliau mempertahankan pisangnya itu. Yang tak lain dan tak bukan adalah untuk arebbâ.
Setiap orang mempunyai hari istimewanya sendiri. Ataupun itu juga berarti istimewa bagi orang lain. Seperti halnya hari raya idul Adha ataupun idul Fitri, menjadi salah satu hari istimewa bagi umat muslim seluruh dunia. Terlebih lagi di daerah kami, Kabupaten Situbondo.
Arebbâ adalah tradisi yang sudah ada sejak dulu dan masih bertahan di daerah kami. Kata emak saya, arebbâ adalah tradisi yang mencerminkan nilai-nilai shodaqah. Orang di daerah kami percaya bahwa pahala shodaqah yang didapat dari arebbâ akan dihadiahkan untuk para leluhur yang sudah meninggal. Mereka juga percaya bahwa, para leluhur yang sudah meninggal tengah menanti anak keturunannya untuk mengirim doa salah satunya melalui arebbâ.
Rasa penasaran tentang tradisi ini belum selesai. Saya melanjutkan pertanyaan tentang tradisi arebbâ pada bapak. Tiba-tiba emak datang dengan membawa toples berisi jâmudin atau jagung goreng.
"Dalam arebbâ, kenapa ada pembacaan yasin dan rasol?"
Menurut saya shodaqah ya tinggal memberi sesuatu kepada orang lain dengan ikhlas. Niatnya memang sama, yaitu ber-shodaqah. Mengapa harus ada pembacaan yasin dan rasol? Sebentar, pasti pada penasaran kan rasol itu apa. Rasol adalah nampan yang berisi sepiring nasi berbentuk kerucut yang ditaruh telur rebus di dalamnya, kemudian ada lauk pauk, kue, minuman dan juga buah pisang. Nah ini dia alasan mengapa bapak tak mau menjual pisangnya. Semua isi nampan itu adalah sebaik-baik hidangan yang kita punya.
Pembacaan yasin dilakukan jika semua isi nampan sudah lengkap. Yasin biasanya dibacakan oleh seorang  kyai atau ustaz. Seseorang yang dianggap alim dan cukup berilmu di bidang agama.  Setelah pembacaan yasin selesai, rasol akan diberikan atau disedekahkan kepada tetangga atau saudara terdekat.
Jauh sebelum Islam datang ke Indonesia agama Hindu dan Budha telah mendominasi kepercayaan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali masyarakat Situbondo. Tradisi arebbâ masih lekat dengan tradisi pemberian sesajen untuk berhala atau patung di masa Hindu dan Budha. Seiring masuknya Islam ke Indonesia dan para wali Allah, pemberian sesajen ini berangsur mengalami perubahan dari segi niat dan tata caranya.
Belum lengkap rasanya jika unek-unek dalam hati ini gak saya keluarkan. Kemudian saya bertanya pada ibu.
"Apa arebbâ hanya dilakukan di hari raya saja?"
“Tidak, arebbâ bisa dilakukan kapan saja. Misal hari istimewa kita, hari kelahiran, malam Jumat dan hari-hari besar. Asal semua terpenuhi dan yang terpenting adalah hati ikhlas. Dan gak ada niat lainnya, apalagi agar dipuji orang.
“Jika gak mampu arebbâ tidak usah memaksakan diri. Tidak baik sampai berhutang pada tetangga.” Kata Nenek menambahi penjelasan ibu. Diam-diam nenek mendengarkan percakapan kita.
***
Adakah kaum milenial sekarang yang masih belajar atau melaksakan tradisi ini?

Biodata Penulis
*)Permata Kamila, seorang perempuan yang lahir di Situbondo pada tanggal 13 Januari 2001. Suka menggambar. Dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Jember.


Arebba: Mendoakan Para Leluhur Arebba: Mendoakan Para Leluhur Reviewed by Redaksi on Agustus 04, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar