Lelaki yang Datang Bersama Hujan

Oleh : Ahmad Zaidi
Ia biasa datang saat hari telah padam. Dengan langkah kecil, perlahan-lahan ia menyisir rinai hujan. Di tangannya yang dingin, ia genggam sekuntum bunga mawar. Semula aku menduga suara napasnya yang berat adalah embus angin yang memainkan dedaunan. Dari dalam remang, tatapannya yang berkilatan cahaya begitu tajam menusuk. Setelah dekat, aku bisa merasakan degup jantungnya seperti denyut mendung, bergemuruh. Dan samar-samar, sebuah bayangan akan membentuk tubuhnya di depan pintu.
Ia bisa datang kapan saja. Menetap lama, memberiku sebotol malam yang masih hangat seolah baru saja ia jerang. Ia bisa datang semaunya saja. Seperti musim yang tak diundang, lalu pergi sesuka hati. Tetapi aku tidak pernah peduli, sebab pertemuan dengannya adalah sekumpulan titik perpisahan. Jadi aku telah bersiap jauh-jauh hari.
"Kenapa kamu selalu datang bersama hujan?"
"Bukankah kamu menyukai hujan."
"Memang. Tapi aku tidak suka melihatmu kedinginan."
Aku tidak suka ketika ia kedinginan, menggigil sepanjang malam dengan gemeletuk yang keluar dari dalam mulutnya. Ia akan begitu kaku, membuat segala tentangnya terasa samar untuk bisa kusentuh. Namun sekali lagi aku tidak pernah peduli. Sebab ia sudah lenyap sebelum pagi menyalakan kenyataan yang memusingkan kepala. Padahal aku ingin sekali mengajaknya sarapan. Mendengar denting suara sendok dan piring saling beradu, melihatnya mendesis kepedasan sambil sesekali aku bantu mengusap keringat di wajahnya. Terkadang kenyataan lebih pedas dari sambal apapun.
"Aku harus pergi." Lamat-lamat suaranya masih kudengar, juga sisa hangat yang menempel di keningku. Aku hanya bisa mengusap bekas bibirnya yang menyelipkan rasa aneh, berharap nanti malam ia akan datang lagi. Tetapi terkadang, harapan tinggallah harapan.
Ada banyak cara bagaimana ia datang. Di satu waktu ia menyelinap seperti dingin. Tahu-tahu sudah duduk menonton televisi. Dia akan tersenyum melihatku terkejut, lalu memberitahu di meja makan telah tersedia makanan. Aku akan makan, nyaris tanpa percakapan. Di waktu lain, ia datang dengan menggedor pintu, menuju ranjang, tertidur pulas di sana. Jika sudah begitu aku akan menyelimuti tubuhnya dari dingin, memandangi wajahnya yang lelah. Semalaman.
Aku suka sekali memperhatikan wajahnya yang lelah. Hidungnya tidak begitu mancung, sedang saja. Bulu matanya lentik, tidak seperti lelaki kebanyakan. Ada garis-garis halus di keningnya yang datar, pertanda kalau ia sering memikirkan hal-hal yang berat. Setahuku, ada banyak masalah di hidupnya. Tapi tak sekali pun ia pernah menceritakannya padaku. Ia selalu bilang, bahwa hanya aku yang bisa membuatnya lupa dengan beban yang menghantui hidupnya, barang sejenak. Masalah bukanlah sesuatu yang patut dibahas, selama kami bersama. Setidaknya ia bahagia. Aku bahagia. Kebahagiaan yang teramat sederhana, tanpa harus memerlukan perumpamaan yang muluk-muluk.
Ia berbeda dengan semua lelaki yang pernah singgah di hidupku. Sama sekali berbeda. Bila semua lelaki datang karena beberapa alasan, maka ia tidak memiliki alasan apapun. Awalnya ia datang, duduk sendirian di pojok kedai. Saat kutawari pesan apa, ia bilang hanya butuh teman ngobrol. Aku meninggalkannya sebentar, membuatkannya dua gelas kopi. Satu untukku, satu lagi untuknya.
“Sekarang, bicaralah sesukamu.” Aku duduk persis di hadapannya. Kukira ia akan tergoda dengan wajah yang kupasang di bawah temaram lampu. Biasanya lelaki lain akan gelagapan berbicara langsung di hadapanku dengan situasi begini, mereka akan seperti babi-babi kecil yang hanya bisa menguik-nguik menunggu susuan dari induknya.
“Sebenarnya aku lupa apa yang sebenarnya ingin kubicarakan. Aneh. Padahal baru saja aku mengingatnya dengan utuh. Ah, sudahlah. Bagaimana kalau kamu saja yang bercerita untukku?” Aku terkejut dengan cara bicaranya yang tenang. Aku terjebak. Sialan, rutukku.
“Aku tidak pandai bercerita. Lagi pula tidak ada yang bisa kuceritakan padamu.”
“Kalau begitu, kamu temani aku saja. Bagaimana?” Masih dengan sikap tenang yang nyaris sempurna, lagi-lagi ia menjebakku.
“Bagaimana dengan para pelanggan yang lain. Bukankah mereka juga perlu aku layani?”
“Bukankah mereka pelanggan setia tempat ini? Kurasa, tanpa dilayani olehmu pun mereka akan tetap sering kemari. Berbeda denganku. Kau mau kehilangan satu pelangganmu ini?”
Kemudian ia selalu datang lebih sering dari semua pengunjung kedai tempatku bekerja. Kalau tak punya uang, ia akan duduk di pojokan dekat jendela memandangiku bekerja hingga sepi merayapi gelap dengan sempurna. Hal itu hanya terjadi ketika hujan turun. Ketika langit sedang cerah, ia tidak akan datang. Di kota ini, hujan selalu turun setidaknya sekali dalam seminggu.
Ia lelaki hujan yang tak mengenal rasa takut pada dingin. Ia tidak pernah berjanji akan datang. Tidak pula pamit untuk pergi. Segala tentangnya adalah samar. Aku tidak tahu namanya. Tidak tahu di mana ia tinggal. Aku ingin bertanya tentang banyak hal perihal kehidupannya. Tapi setelah melihat tatapannya yang kelabu dan keruh, aku urungkan niatku. Aku tahu, ada sesuatu yang berongga di dalam dadanya dan ia bersusah payah menambal ruang kosong tersebut. Seperti sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Sesuatu yang ingin ia pendam dalam-dalam.
Selanjutnya adalah kumpulan kemungkinan-kemungkinan. Ia masih saja tak tertebak. Semacam gerak tak teratur. Tanpa pola. Tak terdefinisikan. Bahkan jauh hari setelah kami memutuskan tinggal bersama.
“Mengapa tidak kamu katakan saja siapa namamu?” Suatu hari aku memberanikan bertanya padanya.
“Apakah itu penting?”
“Tentu saja.”
“Begini. Setelah kamu tahu namaku, mungkin aku tidak bisa tinggal bersamamu lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Karena memang begitu aturan mainnya.”
“Tapi kita tidak sedang main-main bukan?”
Ia hanya mengangkat bahu dengan wajah lelah. Sebenarnya apa yang ia lakukan sewaktu tidak bersamaku? Apa jangan-jangan ia telah beristri, punya anak dan lelah dengan segala tetek-bengek urusan rumah tangga? Namun kenapa ia memilih saat hujan untuk mendatangiku. Kenapa tidak sewaktu senja, seperti yang disebut dalam kebanyakan cerita pendek. Sebentar, bukankah hujan sama klisenya dengan senja.
Lelaki itu tertidur dalam damai. Pulas memeluk mimpi. Di luar mendung bergumpal-gumpal kemudian menjatuhkan beban yang dipikulnya. Adakah yang lebih tabah dari gemawan itu, ia membawa sesuatu yang hanya untuk ditumpahkan. Sesuatu yang ia tahu akan menjadi kesia-siaan belaka. Ah, mendung itu berhasil menyelinap. Merobohkan kekuatanku. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengerang sekeras-kerasnya.
Lamat-lamat dari dalam kamar aku bisa mendengar deras hujan mengguyur atap lalu mengucur deras menyentuh tanah. Dari jendela aku menyaksikan kilatan cahaya berkedip menghambur masuk dalam gelap. Segalanya mulai mengabur. Segalanya mulai basah.
Hujan berangsur reda menjelang pagi. Waktu yang tepat baginya untuk segera pergi.[]
____
Sumber gambar : http://desktopwallpapers.co
Lelaki yang Datang Bersama Hujan Lelaki yang Datang Bersama Hujan Reviewed by Takanta ID on Agustus 04, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar