Panas Dingin Hubungan Indonesia-Malaysia dari Politik, Budaya Hingga Olahraga

Oleh : Randy Hendrawanto
Malaysia adalah negara tetangga Indonesia, dipisahkan oleh lautan dan daratan, negara tetangga kita tersebut membentang di Semenanjung Malaya dan di utara Pulau Kalimantan. Malaka, Serawak dan Sabah adalah wilayah bekas jajahan Inggris yang akhirnya bersatu dibawah Negara Federasi Malaysia saat itu.
Awal ketegangan disaat Kerajaan Inggris yang ingin memberikan kemerdekaan kepada wilayah koloninya di Semenanjung Malaya dan ada upaya agar Serawak dan Sabah juga turut bergabung. Yogyakarta, 23 september 1963 puncak terperciknya kemarahan rakyat, saat sang singa podium Soekarno melalui pidatonya yang menggelegar membuat puluhan ribu rakyat yang hadir histeris saat mendengar agitasi “GANYANG MALAYSIA”. Pemimpin besar revolusi Indonesia itu menilai ini hanyalah akal-akalan Inggris yang ingin menancapkan neokolonialisme di Asia Tenggara dan berpotensi membahayakan posisi Indonesia yang baru saja membebaskan diri dari penjajahan selama tiga ratus tahun lebih. Soekarno menolak atas pendirian negara Malaysia ini karena jajak pendapat yang dilakukan PBB sudah berbau kecurangan yang akhirnya memaksa Serawak, Sabah dan Brunei bergabung dalam federasi Malaysia. Indonesia melalui Presiden pun sampai menyurati Presiden Amerika Serikat saat itu Jhon F Kennedy agar dapat menjadi penengah atas konfrontasi Indonesia dan Malaysia ini. Gelombang protes, ketegangan yang memuncak dan aksi menolak dari Indonesia atas pendirian federasi Malaysia, dipertajam dengan pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan Malaysia pada 17 september 1963 dan dibalas dengan hal yang sama oleh pemerintah Indonesia pada 23 september 1963, bahkan dalam pidatonya Soekarno menegaskan ingin menghancurkan negara federasi Malaysia. Dan ungkapan Soekarno tersebut tidak sekedar gertak sambal, tetapi sampai mengerahkan pasukan dengan nama operasi Dwikora.
Hubungan kedua negara ini tidak selalu panas, adakalanya dingin khususnya saat rezim orde baru Soeharto berkuasa. Pada 28 mei 1966 digagas sebuah konferensi di Bangkok, kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan. Bahkan Perdana Menteri Malaysia saat itu menyanjung Soeharto karena berhasil mendamaikan kedua negara. Dimulai dari mesranya kedua negara tersebut, gelombang TKI pun berduyun-duyun ke Malaysia, konon yang ilegal saja mencapai 1 juta lebih dan juga dilakukan pertukaran pelajar dari kedua negara. Bahkan dalam medio tahun 2010 ada sekitar 5.000 turis asing Malaysia yang datang ke Indonesia dan 10.000 turis Indonesia ke Malaysia.
Pasang-surut, panas-dingin dan ketegangan juga mulai berlanjut pasca runtuhnya orde baru, yakni sengketa pulau sipadan dan ligitan. Pada tahun 1998 sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional/IJC (International Court of Justice) dan pada tahun 2002 hasil keputusannya keluar dan Indonesia harus legowo dengan lepasnya sipadan dan ligitan dari pangkuan ibu pertiwi. Berlanjut kembali soal sengketa wilayah, kali ini blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di selat makasar yang bernama perairan Ambalat. Wilayah perairan ini bukan sekedar bentangan laut, dan ternyata menyimpan kekayaan sumber daya alam, dengan menyimpan cadangan minyak 764 juta barel dan 1,4 triliun kaki kubik gas. Jadi wajar berkali-kali kapal perang dan pesawat tempur Malaysia wira-wiri disekitar blok laut tersebut. Tentu saja Indonesia tidak tinggal diam karena perairan ambalat dari sejarahnya merupakan bagian wilayah Kesultanan Bulungan Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia dan berdasarkan hukum laut PBB yang telah diratifikasi Republik Indonesia pada Undang-undang tahun 1984, Ambalat diakui dunia sebagai wilayah Indonesia. Namun Indonesia tidak boleh lengah seperti  sipadan dan ligitan, tak boleh sejengkal-pun wilayah kita dilanggar yang tentunya sangat mengancam kedaulatan kita. Protes harus dilayangkan jika pelanggaran kedaulatan terjadi dan Pemerintah juga harus benar-benar menjaga wilayah Indonesia, dengan mengarahkan pasukan patroli perbatasan baik darat maupun laut.
Tidak hanya ribut-ribut soal politik internasional dan tapal batas, saling klaim produk kebudayaan pun terjadi. Kita harus bangga memiliki kekayaan kebudayaan, namun jangan hanya tinggal rasa bangga, pelestariannya perlu diperhatikan secara berkelanjutan agar tidak diklaim orang dan sirna ditelan zaman. Malaysia saat ini sedang gencar-gencarnya mendorong sektor pariwisata mereka, dengan slogan “Malaysia Truly Asia” juga tak luput merembet pada klaim lagu “Rasa Sayange”. Lagu asal Maluku ini dijadikan bahan kampanye pariwisata mereka. Dan parahnya menteri pariwisata Malaysia menganggap itu hal biasa saat ada kemiripan karena serumpun. Entah tanpa rasa malu atau memang miskin kebudayaan hal semacam ini menjadi hal yang lumrah. Tidak hanya lagu, tari Pendet, angklung, batik juga tak luput dari klaim. Untung saja semua berakhir dari pengakuan UNESCO bahwa deretan produk-produk kebudayaan tersebut adalah warisan budaya Indonesia.
Entah kenapa perseteruan di atas juga mampu menjadi bumbu-bumbu yang merembet ke dunia olahraga, bagaimana tidak saat perseteruan antara Lee Cong Wei dan Taufik Hidayat yang sangat menegangkan dan sarat emosi bercampur harga diri bagi pecinta bulu tangkis. Dalam sepak bola pun demikian, sampai ada ungkapan bahwa, tak masalah kalah dari Thailand, Vietnam dll, asal jangan kalah dari Malaysia. Seolah emosi menjadi mendidih dan harga diri terkoyak saat timnas sepak bola Indonesia takluk ditangan kesebelasan negeri Jiran tersebut. Puncaknya saat Malaysia menjadi tuan rumah perhelatan olahraga Akbar se-Asia Tenggara (Sea Games 2017), entah disengaja atau tidak dalam buku panduan Sea Games bendera kebanggaan Indonesia dicetak terbalik. Ini sangat melukai rakyat Indonesia, meskipun menteri olahraga mereka telah meminta maaf secara resmi. Entah mengapa Malaysia ini pandai sekali menyulut emosi rakyat Indonesia.
Tentunya Indonesia dan Malaysia yang serumpun, tidak separah perseteruan saudara antara Korsel dan Korut yang dipisahkan secara ideologi. Namun baik Indonesia maupun Malaysia seharusnya dapat bijak dalam menjaga hubungan sebagai negara yang bertetangga. Jangan lagi ada olok-olok “Indon,” jangan lagi ada pelesetan “Malingisia”, dll. Mari jalin hubungan dan kerjasama yang produktif ke depan sebagai negara yang serumpun dan sama-sama mayoritas berpenduduk muslim, seharusnya kedekatan tersebut bisa menjadi tali pengikat keharmonisan antar kedua negara.

Panas Dingin Hubungan Indonesia-Malaysia dari Politik, Budaya Hingga Olahraga Panas Dingin Hubungan Indonesia-Malaysia dari Politik, Budaya Hingga Olahraga Reviewed by Redaksi on Agustus 29, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar