Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan

Maka akhirnya kupilih mengirimkannya lewat hujan. Sebab aku pernah mendengar perkataan orang-orang bahwa hujan dan kenangan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Tetapi, tentu saja semoga di tempatmu hujan turun sama lebatnya. Dengan begitu kenangan pun akan bertandang ke rumah ingatanmu. Kuharap kau berkenan mempersilakannya masuk dalam ruang tamu otakmu. Tetapi jika kau keberatan, setidaknya sempatkan untuk melongokkan kepala lewat jendela hatimu dan melihat kenangan itu berkata, “Hai, apa kabar?”
Oleh : Yudik Wergiyanto N.
Melalui hujanlah memang aku mengirim kenangan-kenangan tentang kita. Kupilih langkah tersebut lantaran itu satu-satunya cara terakhir yang bisa kutempuh. Pernah kukirim kenangan-kenangan kepadamu lewat pesan di BBM, Whatsapp dan Facebook. Namun, tak pernah sekalipun kau membalasanya barang sekali. Jangankan membalas, kau tengok pun tak pernah.
Lalu, perihal hujan dan kenangan, aku sendiri tak tahu mengapa orang-orang selalu mengaitkan keduanya. Barangkali saat ini banyak orang memiliki kenangan tentang hujan. Mungkin mereka mengawali hubungannya di bawah rinai hujan. Atau mungkin mereka gemar berbahagia di tengah hujan. Atau barangkali juga mereka berpisah lantaran hujan. Ah, kalau benar begitu maka mereka adalah sepasang kekasih hujan – seperti kita.
Benar. Aku menyebut kita – kau dan aku – sebagai sepasang kekasih hujan. Mungkin kau belum tahu tentang sebutan itu. Ah, tentu saja kau tak akan tahu. Sebab semenjak pertengkaran itu, kau memilih menjauh dari hidupku. Aku menyebut kita sepasang kekasih hujan lantaran kau dan aku sama-sama mencintai hujan. Kita memang mencintai segalanya tentang hujan. Kita cinta air hujan, bau tanah karena hujan, daun dan ranting yang basah terkena hujan hingga bunyi gemuruh hujan. Namun, juga karena perdebatan tidak penting tentang hujan kita pun akhirnya berpisah.
“Kenapa kita harus berteduh?” tanyamu ketika aku memilih menepikan motorku di emperan toko.
“Kau tidak lihat? Hujan sudah sangat lebat. Jarak pandang juga makin pendek. Tidak mungkin meneruskan perjalanan. Terlalu berbahaya.”
“Ah, kau ini,” jawabmu ketus. “Kau bilang kau mencintai hujan.”
“Apa karena aku mencintainya lalu aku membahayakan keselamatan kita?”
“Kau kan bisa melaju pelan-pelan.”
Aku jadi sedikit kesal dengan sikapmu itu. “Sudahlah. Kenapa harus meributkan hal seperti ini?”
Tidak ada jawaban darimu.
Selama menunggu hujan reda, kau sama sekali tak berbicara. Aku tahu bahwa kau marah. Bahkan saat perjalanan pulang pun kau tetap diam. Beberapa kali kucoba mengajakmu bicara namun kau tetap saja memilih untuk diam.
“Kau kenapa sih?” tanyaku ketika sampai di depan rumahmu. Tetapi, tetap kau tak mau menjawab. Kau hanya berlalu begitu saja meninggalkanku.
Sungguh aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapmu saat itu. Hanya karena masalah aku menghentikan motorku untuk berteduh, kau jadi marah padaku selama beberapa hari. Kau tak mau mengangkat telepon dariku dan membalas pesanku. Bagiku pertengkaran itu konyol. Konyol sekali. Apa ada pasangan di dunia ini bertengkar karena hal sepele gara-gara kekasihnya tidak melajukan terus motornya saat hujan lebat turun? Mungkin ada. Tapi tentu saja jika salah satu atau keduanya punya urusan yang mendesak sekali. Sedangkan kita tidak memiliki urusan apapun, bukan? Artinya kita tidak harus menembus hujan lebat itu dan membahayakan nyawa kita.
Tak ada pertemuan di antara kita setelah pertengkaran itu. Namun bukan berarti tak ada usaha dariku untuk menemuimu. Aku berusaha mengajakmu makan siang, kau selalu menolak dengan alasan malas keluar kantor. Aku menunggumu pulang, namun kau memilih pulang bersama temanmu mengendarai mobil. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya aku tak tahan dengan keadaan itu.
“Sampai kapan kita seperti ini?” Aku mencegatmu saat kau baru keluar dari kantormu.
“Aku tidak tahu,” katamu dengan wajah yang tidak menatap ke lawan bicaramu.
“Kurasa hal ini tidak penting. Kenapa harus kita ributkan?”
Kau berpaling arah menatapku, tajam. “Sikapmu sudah membuatku ragu dengan cintamu. Kau bilang itu tidak penting?”
“Aku cuma ingin kita tidak dalam bahaya. Itu saja.”
“Kau bohong. Kau melakukan itu karena kau tidak benar-benar mencintai hujan, kan?”
“Ayolah! Bagaimana mungkin kau menyimpulkan seperti itu,” jawabku. “Sejak awal kau tahu bahwa aku mencintai hujan, kan? Bukankah karena hal itu juga kau mau menerima cintaku?”
Saat itu aku berharap kau tidak mendadak amnesia. Aku masih ingat betul ketika pertama kali aku mengejar cintamu. Kau bilang bahwa untuk mendapatkan cintaku, aku tak perlu pandai bermain gitar atau bola, naik motor-motor keren, atau punya wajah yang tampan. Kau berkata bahwa yang penting aku bisa mencintai hujan sama seperti dirimu. Sebab katamu kau lebih suka pada lelaki yang melakolis. Dan, lelaki yang mencintai hujan adalah lelaki melankolis.
“Benarkah?” tanyaku.
Kau mengangguk pelan. “Hujan adalah cara langit menyampaikan kesedihannya pada kita,” jawabmu. “Jika seorang lelaki menyukai hujan berarti dia juga mencitai kesedihan. Lelaki yang mencintai kesedihan pasti memahami hati perempuan.”
Mungkin itu salah satu keberuntunganku. Sebab aku pun mencintai hujan. Ketika masih kanak-kanak aku gemar bermain bola di bawah hujan. Aku juga gemar bermain hujan di bawah pancuran atap rumah. Saat dewasa pun aku masih menggemari hujan. Seperti duduk di dekat jendela dan menikmati rinai hujan yang menari-nari, atau melihat panah-panah hujan menghantam jalanan.
“Aku suka hujan yang turun lebat,” katamu. “Itu menandakan langit sedang sedih-sedihnya. Menumpahkan seluruh airmatanya.”
“Tapi jika hujan turun lebat bukankah bisa menimbulkan bencana?”
“Ah, itu karena banyak manusia yang tidak bisa memahami kesedihan yang disampaikan hujan.”
“Begitu, ya,” sahutku. “Aku suka hujan yang lebat. Tetapi aku lebih suka hujan dengan gerimisnya. Bagiku itu lebih menenangkan. Tidak ada gemuruh. Seolah-olah langit menyampaikan kesedihannya dengan tenang. Tapi, tentu saja, aku tetap mencintai hujan.”
“Karena kau mencintai hujan, maka kau boleh menjadi kekasihku.”
Mendengar kau mengucapkan itu aku langsung mememeluk erat tubuhmu di bawah guyuran hujan.
Tetapi, tentu saja semua itu tak lantas aku juga harus menutup mataku. Kita boleh mencintai siapa saja, tapi pastikan mata kita tetap terbuka. Kalau ada perkataan bahwa cinta itu buta, maka hal itu tak berlaku bagiku. Bukan berarti aku mengatakan hal ini lalu cintaku bisa kau ragukan. Kita tidak bisa berjalan dengan mata yang tak terbuka, bukan?
“Sekarang terbukti bahwa kau tidak sungguh-sungguh mencintai hujan.” katamu dengan nada tinggi.
“Aku mencintai hujan sama seperti aku mencintaimu.”
“Kalau kau memang mencintai hujan, lebat ataupun tidak, itu tak akan jadi masalah.”
“Kalau kita celaka bagaimana?”
“Kalau ternyata kita tidak celaka bagaimana?”
Pertengkaran ini membuat orang di sekitar memandang aneh kita. Ah, kau membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kau sudah benar-benar konyol. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menghadapimu saat itu. Memang pernah kudengar bahwa terkadang wanita memperbesar masalah yang sebenarnya sepele. Tapi kurasa tidak seperti sikapmu itu. Itu konyol sekali. Aku sungguh tidak mengerti. Bukankah jauh lebih baik mengakhirinya saja dan menganggap seolah-olah tidak ada apa-apa?
“Tidak bisa. Ini soal masa depan kita.”
“Masa depan?” tanyaku tak percaya. “Karena hujan?”
Kekonyolan apalagi yang ingin kau tunjukkan?
“Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tak benar-benar mencintai hujan,” jawabmu dan membuatku terkejut.
“Bukankah sudah kukatakan? Aku. Mencintai. Hujan.”
“Tidak. Kau hanya mencintai hujan saat tertentu saja. Tidak selamanya. Mungkin kau hanya cinta hujan dengan gerimisnya saja. Tetapi, tidak dengan hujan yang turun dengan lebatnya. Kalau caramu mencintai hujan saja seperti itu, mungkin caramu mencintaiku juga begitu.”
Aku mendesah, menahan amarah yang sudah mendidih dalam diriku. “Sayang, bisakah lupakan semua masalah ini? Aku mencintaimu.”
“Aku tahu. Aku juga mencintaimu. Tapi cara kita saling mencintai berbeda. Cinta tak bisa dipertahankan dengan cara seperti itu. Kita harus mencintai dengan cara yang sama.”
“Apa maksdumu kita harus berpisah?”
“Kau lebih mencintai hujan saat gerimis saja. Sementara aku lebih mencintai hujan yang lebat. Kita tidak sama.”
Kau melangkah pergi meninggalkanku sendiri.
Sejak saat itu kita pun memilih berpisah dan tak pernah bertemu lagi. Bahkan hingga musim hujan datang beberapa kali, kita tidak pernah sekalipun bertemu. Tetapi, tentu saja kenangan tentangmu tetap tersimpan rapi dalam otakku. Sesekali aku memutar ulang kenangan itu ketika hujan turun di kotaku. Terkadang aku pun berpikir untuk menikmatinya berdua denganmu sembari merasakan hawa dingin yang dibawa oleh hujan. Lalu, seketika aku jadi teringat dengan ucapan orang-orang bahwa hujan dan kenangan tak bisa dipisahkan.

Maka aku pun memilih untuk mengirim kenangan-kenangan itu lewat huan. Tetapi, tentu saja semoga di tempatmu hujan turun sama lebatnya. Dengan begitu kenangan akan bertandang ke rumah ingatanmu. Kuharap kau berkenan mempersilakannya masuk dalam ruang tamu otakmu. Tetapi jika kau keberatan, setidaknya sempatkan untuk melongokkan kepala lewat jendela hatimu dan melihat kenangan itu berkata, “Hai, apa kabar?”.
i.pinimg.com

Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan Reviewed by Redaksi on September 09, 2017 Rating: 5

2 komentar