Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah




Gadis itu seperti kunang-kunang. Ia menyukai lampu dan muncul setiap temaram, di tempat yang dialiri air. Kali ini ia singgah diperahuku, sebuah bidak terbuat  dari kayu mahoni yang kulabuhkan di tepi telaga yang penuh dengan manusia rimba. Lalu ia perlahan datang ditemani sepekat rembang yang kantuk dikakinya. Aku akan tenggelam malam ini di lautan cahaya dan pudar sampai fajar tiba, katanya. Maka aku membiarkan ia hinggap diperahu mahoni itu, memperhatikannya menikmati lampu-lampu.
***
Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengembara, mengikuti naluri untuk pergi ketempat yang tak pernah kusinggahi sebelumnya, darinya aku dapatkan banyak hal, asmara, kawan, kenangan, dan tak pernah luput juga kudapatkan luka. Pagi ini aku lanjutkan kembaraku, dari balkon sebuah rumah singgah aku mengamati sebuah kota yang terlelap, mentari masih lingsir dibawah selimutnya, ayam-ayam belum bangun dari kantuknya. Pagi yang amat sepi, aku mengepak barang-barangku kedalam ransel, mengecup seorang gadis yang masih tertidur di bawah selimut, memberinya sebuah surat dan lenggang menembus kabut pagi. Aku pergi ke utara, dengan menumpang sebuah truk kadang juga kendaraan petani, namun lebih sering berjalan kaki. Semalam aku melihat gugusan bintang tujuh yang bersinar amat terang, sedang sinarnya membuat mendung terlihat kehijauan, sangat jarang aku dapat melihat bintang dikawasan perkotaan. Aku percaya alam selalu menunjukkan tanda-tanda yang harus kita tangkap maksudnya, maka pergilah aku ke utara, mengikuti jalan raya, melewati jalan setapak, tak jarang memutari jalan yang sama untuk beberapa kali, kadang melewati hutan, kadangkala juga terjebak hujan.
Perjalanan dua hari ini mengantarkan aku pada sebuah ngarai yang lerengnya kehijauan, di bawahnya mengalir sungai, airnya kebiruan, memantulkan langit yang seolah kakak kembarnya. Aku duduk di pinggiran sungai, ngarai itu selaksa dua tembok yang memagari segala yang hidup di bawahnya dari dunia luar. Berjalan kaki membuat peluh telah membasahi dahi, punggung, dan goresan cadas memberi bekas cakaran di tumit sampai ke betis, setelah menghabiskan perbekalan rebah juga aku dalam persinggahanku yang lain.
Entah sudah berapa tempat yang kusinggahi dalam kembaraku, bukankah terlalu sia-sia untuk menetap terlalu lama di suatu tempat di bumi luas ini, maka entah sampai kapan aku memutuskan untuk berlabuh dalam pengembaraan ini. Aku raba ransel biruku, disana tergantung cendera mata dari tempat-tempat yang pernah aku singgahi sebelumnya. Ada sebuah bola mata yang tergantung di salah satu resletingnya, benda pertama yang kudapatkan ketika pertama kali memulai pengembaraan ini. Kebiasaan ini bermula ketika aku sudah muak dengan kertas-kertas tugas dan segala caci maki guru yang jengkel sebab aku tak pernah mengerjakan PR, suatu kali ia memukulku dengan keras tepat di wajah dan mengatakan bahwa kebodohanku tak ketulungan, ia melakukannya di hadapan semua anak di kelas, dihadapan seorang gadis yang diam-diam aku sering menyelipkan surat tanpa nama di laci mejannya. Setelah kejadian itu kuputuskan untuk tak pernah datang ke tempat terkutuk itu, dimana segala yang tertulis di papan tulis itu benar dan segala omongan orang yang menulis dipapan tulis itu yang harus dituruti. Sebagai seorang yang tak ber-ibu dan ber-ayah aku pergi dari tempat itu tanpa sebuah larangan.
Pengembaraanku yang pertama adalah sebuah arak-arakan manusia yang kuikuti karena penasaran, mereka membawa berbagai macam bendera dan pengeras suara, orang-orang mulai meneriakkan nama-nama benda yang aku tak paham artinya kala itu. Arak-arakan itu kemudian menjelma lautan manusia yang pikuk, aku tenggelam, larut, dan akhirnya terpelanting kesebuah pesisir yang dipadati oleh pemukiman kumuh, disana aku bertemu dengan sipemilik bola mata. Kala itu ia mengenakan gaun abu-abu, mengulurkan tangannya kepadaku, ia adalah orang yang ramah ketika tersenyum kedua alis tebalnya tertaut, ia menyebut dirinya Hampa, sebuah nama yang berkebalikan dengan dunia yang ia tinggali, ditempat itu bahkan malam-pun sinar matahari kalah teriknya jika dibandingkan dengan lampu-lampu kotanya, dan jalanan terlalu penuh untuk bisa dilewati para pejalan kaki. Ketika aku hendak pergi dari tempat sesak itu,ia menitipkan sesuatu padakau, “Bawalah mataku ini jika kau tak bisa mengajakku untuk ikut bersamamu, dan aku bisa melihat tempat-tempat yang kau kunjungi”. Aku bawa bola mata itu, sebuah cendera mata pertama. Pupil itu selalu membesar setiap kali datang ke tempat baru, pupil dari seorang gadis bernama Hampa yang memakai rok abu-abu dan alis tebal yang saling tertaut ketika ia tersenyum.
Selain bola mata, ada pula sebuah anak panah sepanjang telapak tangan, aku lupa kapan aku mendapatkannya, benda itu kuperoleh dari sebuah perjalananku yang lain, dimana panah itu pernah menancap di dadaku, butuh waktu lama untuk mencabutnya, samar-samar ingatan mulai membentuk wajah siempunya anak panah, seorang dengan lesung dikedua pipinya. Selama berhari-hari aku berjalan dengan jantung yang terpasak, panah telah mengingatkan bahwa seorang wanita tak kan pernah rela ditinggalkan begitu saja. Setelah bola mata dan anak panah, masih ada benda-benda lainnya, sebuah surat,dan sehelai rambutyang tertinggal di kemejaku, dari seorang gadis yang kucium keningnya dua hari lalu.
Aliran sungai membuyarkan lamunan, sungai itu tak biru lagi, airnya berubah jingga seolah memantulkan langit yang seolah kakan kembarnya. Mega kian menyala, penghuni hutan bermunculan, lampu-lampu mulai dinyalakan oleh tupai-tupai disetiap pohon yang mereka tinggali, sekejap hutan semarak dengan lindap cahaya jingga kekuningan. Katak, kijang, belalang, jangkrik, kelelawar, dan lagi-lagi seorang gadis mulai menampakkan dirinya dari balik semak dan perdu, untuk minum ataupun saling bercengkrama dalam cahaya yang di bawa di hutan. Ia berjalan dengan riang dipinggir kali dan seolah tak mempedulikan diriku yang rebah tak jauh darinya. Ia melangkah seperti menari menjijit di atas rerumputan hijau dan pakis pakis yang mulai menua lalu berdiam memandangi lampu lapu yang dinyalakan oleh tupai tupai dengan kepala menengadah. Semua orang atau hanya aku yang berpikir bahwa semua gadis selalu tampak rupawan tatkala sedang melamun. Maka aku mengalihkan seluruh indraku dari suara jangkrik dan tarian setiap kelelawar dan berganti memandangnya dari seberang sungai yang kini jingga bukan sebab langit namun karena semarak lampu-lampu. Lalu aku melabuhkan sebuah perahu yang tertambat disebuah dermaga bambu yang tak jauh dari tempatku merebah. Sudah malam, maka seudah saatnya untukku pulang bukan sebuah tempat yang kau sebut rumah tapi pulang kedalam sebuah perjalanan lain. Maka dengan perahu mahoni itu aku mulai berlayar menyusuri sebuah sungai yang berarus tenang dan entah membawa untuk menepi kemana. Perjalanan terlalu sulit untuk dilewatkan memang bagai perahu yang tak pernah berlabuh maka aku bawa perahu mahoni ini untuk mengembara lagi, ranselku sudah penuh oleh kacang kacangan dan beberapa botol air. Dingin telah dikerahkan kabut gunung lembah telah lenyap menuju sungai yang lebih luas salaksa danau dengan air yang tenang itu. Tanpa terpejam aku menyambut pagi dengan terus saja melaksanakan kegiatanku yakni menghitung perjalanan.
Perahu itu membawaku ke sebuah kota yang berdiri diatas perahu-perahu dayung dan dihuni oleh macam-macam mahkluk, disini aku tak bisa membedakan mana lelaki dan mana perempuan mereka tampak serupa, semua orang bekerja sama mereka membangun kapal menebang pohon menanamnya lagi dan yang paling mereka sukai adalah berenang. Maka setiap petang setiap pesta selalu di gelar, didalamnya orang-orang saling tertawa dan membicarakan bermacam-macam hal, dan tak satupun dari mereka terusik dengan kehadiranku. Aku menyewa sebuah kabin, pada petang hari aku menikmati pula pesta mereka, di pertengahan acara mereka beramai-ramai meneriakkan sebuah jargon dan lantas menjeburkan diri kedalam danau. Aku kembali melihatnya, sigadis kunag-kunang, Ia menyukai lampu dan muncul saat temaram. Kali ini ia singgah diperahuku, sebuah bidak yang terbuat  dari kayu mahoni yang kulabuhkan ditepi sebuah telaga yang penuh dengan manusia rimba. Lalu ia perlahan datang ditemani sepekat rembang yang kantuk dikakinya. Aku akan tenggelam malam ini di lautan cahaya dan pudar sampai fajar tiba, katanya. Aku membiarkan ia hinggap diperahu mahoni itu dan memperhatikan menikmati lampu-lampu.
Aku ikut pulang, katamu.
“Bukankah sepi saat kau selalu melakukan perjalanan seorang diri, dihutanku kau tak membawa satupun cenderamata, maka bawalah aku,untuk mengenang tempat yang pernah kau datangi“
Aku bungkam.
“Aku tidak mau kehilangan satu bola mata, atau sehelai rambut, sebagai gantinya kau bisa membawaku kemanapun, selama ada lampu, ia menunjuk dadaku.
Maka aku membawanya dalam setiap kembaraku, menjadi sebuah suatu kepulangan yang indah, kepulangan yang bukan tentang tempat semata.

Banang Merah, jember 2018
Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah Reviewed by takanta on November 11, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar