Cerpen: Jurang Ara, Lahirnya Para Perantau




Oleh: Norrahman Alif

Barangkali serajut mimpi-mimpi untuk bertani lagi dengan baik dan benar di musim depan telah terhapus dari pikirannya–setiap kali meratapi derita hasil penen hanya memberi beban kesedihan atas hidup–dan bagi kaum padi yang sesering mungkin diserang hama dan penyakit mematikan bagi tumbuh-kembang padi-padi untuk berbuah meras.

Akan tetapi mereka tidak secepat itu memutuskan tali hubungan dengan lumpur sawah, sapi dan padi-padi. Sebab sejak dulu mereka selalu diingatkan oleh para petua kampung, kalau hidup dan mati orang-orang Jurang Ara bergantung pada hasil buminya yang berlimpah.

Namun entah kenapa beberapa tahun sudah kegagalan panen padi berturut-turut menyertai nasib orang-orang Jurang Ara. Apakah mereka kurang bersyukur pada Tuhan atau mungkin kurang bersedekah atas hasil buminya yang berfaedah bagi kehidupan, entahlah.

Padahal tanahnya subur dan tak pernah menolak walau ditanami segala jenis bijian-bijian apapun ketika musim hujan sedang bertandang. Tapi tak tahu mengapa sejak tahun 20an sampai ke tahun-tahun berikutnya: jagung-jagung kempes bijinya di pekaragan, benih-benih padi yang mereka tanam selalu berwarna kuning  matang sebelum tua dan kemudian dipanen. 

Fenomena tersebut bukan hanya terjadi satu kali, tapi sudah berkali-kali dalam setahun.

Dan semakin parahnya lagi, lumbung-lumbung di bawah atap dapur gedek yang terbuat dari anyaman jerami padi kering sudah kosong-melompong sejak lalu: hanya menjadi tempat tikus-tikus bersetubuh dan melahirkan berturut-turut dan bertahun-tahun. Karena mereka sudah lama tak mengisinya dengan sekarung jagung atau berkarung-karung padi yang sudah dijemur.

Sementara kebutuhan perut keluarga tiap hari wajib diisi walau dengan hasil utang sana sini kepada para tetangga, atau kepada orang-orang yang terlihat mapan secara ekonomi.

Andaikan pada waktu itu minimal ada pekerjaan sampingan selain bertani– semacam kuli bangunan, kuli angkut batu atau yang lainnya–mereka tak akan khawatir walaupun panen terus-terusan gagal, karena masih ada pekerjaan sampingan.

Lalu pada akhirnya sampailah pada keputusan yang sangat menyedihkan walau mau tidak mau wajib berpindah profesi sebagai masyarakat urban. Karena bila begini terus-terusan mereka takut akhirnya mati kelaparan, keluh salah satu warga tani di saat pada hari lebaran berbincang-bincang bersama kenalanan barunya orang Banyuwangi di rumah sepupunya tersebut.

Sebut saja ia Emmad walau nama asalinya adalah Mohammad Abdu. Namun kebiasaan lisan orang Jurang Ara memanggil nama orang selalu dipanggil dengan gampangnya.

Sesungguhnya pertemuan Emmad dengan orang Banyuwangi yang bernama Mad Saleh itu hanyalah kebetulan saja di hari lebaran. Sewaktu Emmad main ke rumah sepupunya, ternyata di sana ada tamu dari Banyuwangi. Beberapa menit saja mereka berkenalan, tampaknya sudah makin akrab bercakap-cakap di ruang tamu dalam rumah sepupunya tersebut, sambil sesekali menyeruput kopi di hari lebaran yang membahagiakan itu. Lalu di tengah percakapannya Emmad mulai menyingung-nyinggung soal pekerjaan kenalan barunya itu.

“Kamu kerja apa di Banyuwangi Mad?” tanyanya sehabis menyesap kopi yang ia tuangkan ke lepek putih bergambar bunga melati itu.

“Ah, aku cuma tukang becak Emmak.”

“Ou, eh kalau cari pekerjaan di sana ada gak ya Mad? Soalnya di sini aku sudah lama tak kerja setelah padi-padi sudah setahun ini gagal panen.”

“Ya kalau pekerjaan sih, banyak di sana, tergantung pada orangnya mau kerja apa. Memang kamu mau kerja ke Banyuwangi toh Emmad?” celetuk Mad Saleh sambil makan kue cakra: makanan ciri khas Jurang Ara itu.

“iya. Setidaknya pekerjaan yang bisa membiayai hidup istri dan anakku tiap harinya di kampung. Tapi ada gak Mad pekerjaan ringan yang banyak untungnya?” ujarnya sambil cengar-cengir agar lebih akrab kepada kawan barunya itu.

“Hehe, ada ada saja kamu. Kamu tahu, setiap pekerjaan pasti membutuhkan usaha yang besar bila ingin mendapatkan keuntungan yang besar juga. Kalau menurutku sih, pekerja tukang becak lumayan nyaman di sana,” sahutnya Mad Saleh, pasrah dalam tawa secukupnya.

“Iya sih. Tapi kalau jadi tukang becak dalam satu hari berpenghasilan berapa, Mad?” tanyanya kemudian setelah mendengar petuah Mad Saleh sambil mengangguk-nganggukkan kepala.

“Tergantung dari banyaknya penumpang sih, kalau penumpangnya banyak bisa-bisa dalam satu hari itu mendapatkan hasil lima ratus ribu atau lebih,” sahutnya Mad Saleh dengan suara datar. 

“Enak juga ya jadi tukang becak,” tukasnya kemudian sebelum percakapan mereka berakhir di rumah sepupunya tersebut. Karena hari sudah sore, sementara Emmad sendiri masih ingin berkunjung ke rumah mertuanya.

***

Seminggu kemudian setelah lebaran tinggal kenangan dalam toples-toples yang masih menyisakan aneka ragam makanan tradisional pada meja-meja setiap rumah, akhirnya dengan untung-untungan Emmad berpamitan pada istri dan mertuanya untuk merantau ke Banyuwangi hanya demi ingin mencari sesuap nasi untuk keluarganya di kampung Jurang Ara tersebut.   

Tepatnya pada hari Jumat sore Emmad dengan sebungkus keyakinannya berangkat merantau ke Banyuwangi. Ia aalah satu-satunya warga Jurang Ara yang pertama kalinya mencoba mencari sesuap rezeki ke tanah rantau yang jaraknya lumayan jauh dari tanah kelahirannya tersebut.

Singkat waktu sepuluh tahun berlalu begitu saja. Tanpa terasa tahun berganti muka. Bulan berganti warna. Begitu cepatnya. Kini pun sampai pada tahun 2016, di mana hidup sudah makin serba-serbi dalam model kemodernan.

Bahkan sebagian rumah di sepanjang kota Sumenep sudah berwarna-warni berkilauan: kalau dulunya rumahnya itu berdinding tabing: dinding yang terbuat dari anyaman bambu kering. Namun sekarang sudah tinggal cerita karena dindingnya sudah terbuat dari kramik yang berkilau. Jika dulunya warna perumahan hanyalah warna putih yang dihasilkan oleh tangan-tangan seorang pengapur kampung,  kini pun sudah warna-warni. Bahkan gentingnya pun berkilau karena dipoles dengan chat Dulux.

Akan tetapi ada yang masih tak mengikuti zaman, orang-orangnya masih berpenampilan kuno, sebagaimana di tahun 20an silam. Bahkan rumahnya pun sebagian besar masih tak berubah. Barangkali mereka lebih memilih merawat warisan nenek-moyang daripada mengikuti zaman yang hanya akan merusak tradisi dan warisan masa lalu pada akhirnya.

Lokasinya itu tepatnya berada di pedamalaman kampung Jurang Ara, sebuah kampung pedalaman yang sangat jauh dan tak tersentuh peradaban modern di kota Sumenep, tanah kelahiran Emmad yang sudah lebih sepuluh tahun tak pulang-pulang. Ia hanya kerap mengirim uang kepada istrinya sebagai kebutuhan anak dan mertuanya sehari-hari di kampungnya.

Sementara di Banyuwangi kehidupan Emmad sudah lumayan mewah. Bahkan tanpa sepengatuhuan anak dan istrinya, Emmad telah menikahi seorang gadis asli Banyuwangi beberapa tahun yang lalu. Alasan Emmad menikah lagi sangatlah sederhana, sebagaimana di saat ditanya Mad Saleh di tempat pangkalan mereka mengadu nasib sebagai tukang becak.

Emmad beralasan begini suatu ketika ditanya Mad: alasanku menikah lagi kamu tahu kenapa, Mad. Karena aku hanya ingin mengurangi pengeluaran uang simpanan. Coba kamu bayangkan semasa aku masih hidup dalam rumah kontrakan Buk Sarmi itu. Hidupku pas-passan Mad! Kan kamu tahu sendiri biaya kontrakan di sini mahal, apalagi tiap bulan aku harus ngirim uang ke kampung. Sementara penghasilan gak tentu, kadang banyak, kadang gak ada penumpang sama sekali. Kalau sekarang kan enak, rumah gak usah bayar karena sudah punya istri baru. Lumayan kaya lagi. Apalagi penghasilanku tiap hari hampir mencapai sembilan ratus ribu. Doakan saja ya Mad, semoga aku besok-besok beli mobil untuk kubawa pulang ke kampung, hehe, tuturnya seiring mereka berdua pulang sehabis menarik penumpang dari pasar Anom  ke pasar Gadung di Banyuwangi pada sore hari itu.

Tepatnya pada hari Sabtu tanggal satu adalah hari pagi di mana kebahagiaan sedang menyertai Emmad dan istri keduanya tersebut, pagi-pagi sekali Emmad dengan Lina, istri simpanannya itu berangkat ke Dealer Honda Istana Banyuwangi dengan hati gembiara karena di hari itu mereka akan memborong mobil yang Emmad cita-citakan semenjak bekerja di Banyuwangi.

Namun sebelum pulang membawa mobil baru, Lina atau Emmad mencari-cari lebih dahulu mobil yang pas dengan selera mereka berdua tersebut. Lalu dalam ruangan tempat mobil-mobil baru berjajar–tak lama kemudian Emmad tiba-tiba berjalan sendiri menuju mobil warna silver produksi Honda yang tertera di platnya bernama Jazz.

“Lina! Lina... coba ke sini. Kayaknya mobil ini cocok untuk kita, Sayang,” panggil Emmad dari balik mobil yang sudah yakin untuk dibelinya itu.

“Iya coba tanyakan dulu berapa harganya.”

Setelah proses pembayaran usai mereka lakukan, dengan uang tunai hasil Emmad bekerja bertahun-tahun lampau tersebut, Emmad dan Lina pulang dengan mengendarai mobil barunya. Lalu di tengah jalan secara tak sengaja Emmad melihat Mad Saleh sedang mangkal di tempat biasa. Namun Emmad urung menyapanya, karena istrinya tiba-tiba menyuruh menutup kaca mobilnya dengan maksud mungkin malu menyapa tukang becak.

Padahal Emmad sangat ingin sekali menyapa kawannya itu, atau juga lebih-lebih ingin memamerkan mobil barunya yang ia beli dengan menggunakan setumpuk uang hasil jerih payahnya sendiri sepuluh tahun mengayuh becak di Banyuwangi tersebut.

Dua hari berlalu begitu saja sementara hati Emmad masih dirasuki rasa kebahagiaan yang masih tak selesai-selesai. Sementara dalam pikirannya sudah banyak rencana-rencana ingin berlibur dengan mengendarai mobil bersama sang istrinya itu. Namun kemudian dalam pikirannya yang ke mana mana, ia teringat istrinya, ingat anaknya dan ingat semua hal yang berada di kampungnya yang sudah lama ia rindukan.

Tanpa ini dan itu Emmad langsung memutuskan untuk pulang kampung dengan mengendarai mobil barunya. Tapi ia hanya pulang sendiri, karena bila bersama istri keduanya, bagaimana nanti kata orang-orang juga istrinya di kampung. Pasti akan marah-marah, atau akan mengusirku secara terang-terangan, pikir Emmad pada suatu pagi di beranda rumahnya. 

Keesokan harinya Emmd benar-benar pulang ke kampungnya, setelah ia selesai berbicara pada istrinya agar tidak ikut ke tanah kelahirannya sekaligus rumah tempat ia menyimpan kenangan-kenangan kemelaratan bersama sang istri pertamanya menjalani hidup sebagai petani lalu.

Namun sekarang Emmad bukanlah Emmad yang dulu: jarang mandi, bajunya tiga hari baru diganti dan hidup yang tidak lepas dari utang dan piutang. Tapi lihatlah kini: panampilannya sangatlah mewah, layaknya seorang pejabat yang baru dilantik atau bagai seorang pengusaha besar dari Jakarta.

Dua belas jam Emmad mengendarai mobilnya sendirian. Sementara di sepanjang jalan pikiranya bercabang-cabang, entah ingin membagi-bagikan uang kepada anak-anak di kampung atau ingin memamerkan soal harga mobilnya atau soal kenyamanannya naik mobil. Dan, selebihnya adalah cerita-cerita melankolis atau cerita-cerita yang dipoles dengan rekaan-rekaan yang membuat orang-orang kampung geringgingan untuk merantau juga ke Jawa ataupun ke Jakarta.

Hari pun menjelang sore, sementara mobilnya sudah memasuki kawasan kampung Jurang Ara. Karena terlihat sudah di kaca mobilnya di kanan kiri jalan pohon-pohon kelapa berbaris gelisah tersepuh musim kemarau yang sudah lima bulanan tak pernah datang hujan.

Sementara jalan-jalannya masih penuh lubang, persis, tak pernah berubah sebagaimana dahulu Emmad rasakan waktu memiliki sepeda jengki: rodanya bergoyang-goyang ketika pedal dikayuh di atas jalan perkapungan, sementara kerikil berserakan di samping lubang-lubang menghiasi jalan pedesaan.
Tiba-tiba hati Emmad ngomel-ngomel sendirian seiring jari-jari tangannya yang kaku memutar-mutar setir mobilnya memasuki jalan pedalaman yang belum di aspal itu: entah takut kotorlah, ini itulah, banyak perhitungan dalam kepalanya. Sementara debu makin berterbangan ke mana-mana di saat mobilnya melaju menuju rumahnya.

“Alhamdulillah sudah sampai!” desahnya setelah dari jarak dekat matanya melihat istrinya sedang duduk-duduk bersama para ibu di bawah naungan pohon mangga. Sementara di kejauhan, anak-anak bau kencur yang tengah bermain kelereng itu tiba-tiba berhamburan lalu lari terbirit-birit dan berbaris di  sepajang jalan kecil ketika melihat mobil pertama kalinya masuk kampung, sambil dengan wajah ceria mereka melambaikan tangan pada Emmad yang sedang berada dalam mobilnya dengan bibir tersenyum-senyum bangga.

Pak Emmad datang! Pak Emmad datang! Sorak-sorai terbit dari mulut anak-anak itu sambil bertepuk tangan menyambut mobil yang lewat menuju rumah Lina, istrinya yang Emmad rindukan sepuluh tahun silam. Kegembiraan anak-anak tersebut tak hanya sampai di situ. Setelah mobil melintasi dirinya mereka lalu membuntuti mobil tersebut sambil meloncat-loncat kegirangan.

Padahal yang mereka sambut hanyalah seorang petani, miskin dan kolot yang keberuntungan mendapat rezeki melimpah melalui Tuhan lewat perantara temannya tersebut. Sesampainya di rumah istrinya, mobilnya berhenti di bawah pohon mangga raksasa depan rumahnya. Lalu Emmad membuka pintu mobilnya dengan mata memandang anak dan istrinya penuh kasih sayang. Tak perlu waktu lama anaknya tiba-tiba memeluk erat bapaknya penuh kasih kerinduan. Sementara Lina memandang mata suaminya itu sambil meneteskan air mata kerinduan yang sangat mendalam.

Setelah itu, semua mata tertuju kepadanya. Hanya kepadanya. (*)

Jurang Ara, 2019

*Catatan: cerpen ini terinspirasi dari cerita-cerita orang-orang tua di Jurang Ara, Sumenep Madura perihal kondisi pertanian di tahun 20an dan perihal asal-mula lahirnya para perantau.

Norrahman Alif, lahir di Jurang Ara, Sumenep Madura. Belajar menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ). Buku puisi terbarunya Mimpi-Mimpi Kita Setinggi Rumputan.
Cerpen: Jurang Ara, Lahirnya Para Perantau Cerpen: Jurang Ara, Lahirnya Para Perantau Reviewed by takanta on Maret 08, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar