Cerpen: Ular-Ular yang Bersarang dalam Kepala



Bertahun-tahun sebelum pada akhirnya Mas Ario mengajakku berkunjung ke kebun binatang yang terletak di pinggiran kota tempat kami tinggal, aku sudah punya rasa takut tersendiri dengan ular. Di kepalaku, hewan melata itu tak hanya membuatku bergidik lantaran ngeri, tapi juga jijik setengah mati. Rasa takut ini bermula ketika aku masih menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, mungkin sekitar dua belas atau tiga belas tahun yang lalu. Sekolahku yang di dusun memang masih dikelilingi banyak pohon yang teduh dan juga pohon buah. Suatu ketika, teman-temanku melempari buah jambu air yang sudah ranum pada saat jam istirahat. Aku tentu saja turut serta. Aku tak pandai melempar. Tugasku hanyalah memunguti buah-buah yang sudah jatuh.

Entah bagaimana ceritanya,  ketika aku sedang memungut buah jambu yang berserakan, tiba-tiba seekor ular berwarna hijau daun jatuh persis di depanku. Ular itu lincah sekali. Dengan gerakan yang tidak pernah aku perhitungkan sebelumnya, ular keparat itu merayap ke tanganku lalu menuju pundak dan nyaris menyentuh leherku andai saja aku telat menghalaunya dengan kibasan tanganku. Aku berlari sembari berteriak memanggil-manggil ibuku. Teman-temanku justru malah tertawa terbahak-bahak. Aku benci betul dengan mereka.
“Tak usah takut, Murti. Itu hanya ular daun. Tidak berbisa.”
Laksono berusaha menangkap ular yang merayap di tanah dan dia berhasil. Ditunjukkannya ular itu kepadaku yang semakin meraung-raung tanpa aku sadari. Jangan takut katanya? Peduli apa? Ular adalah ular, berbisa atau tidak, dan sejak kejadian itu aku semakin takut dan jijik dengan semua jenis ular yang ada di muka bumi ini.
Lantas ketika Mas Ario, suamiku, mengajakku bertamasya ke kebun binatang, aku mengiyakan saja ajakannya tanpa pernah berpikir panjang bahwa ular juga salah satu jenis binatang yang sangat populer di kebun binatang mana pun di dunia ini. Aku benar-benar lupa akan hal ini. Sungguh.
“Kelak, jika kita sudah punya anak, kau dan anak kita akan aku ajak berkunjung ke tempat seperti ini sesering mungkin,” ujar Mas Ario usai membayar harga tiket masuk ke kebun binatang. Aku tersenyum saja. Ada benarnya juga. Jalan-jalan seperti ini akan semakin menyenangkan jika kami sudah punya anak kelak. Sudah tiga tahun lebih aku menikah dengan Mas Ario namun belum juga ada tanda-tanda aku akan hamil. Sedih juga kalau ingat akan hal ini.
Mas Ario menggandeng tanganku. Satu per satu kandang hewan kami lewati. Rupa-rupa hewan kami jumpai. Ada kandang burung kasuari yang besar. Ada kandang monyet ekor panjang. Ada juga bekantan yang terlihat selalu mengantuk dan sepertinya sudah tua. Agak jauh di depan, kulihat tiga ekor unta sedang mengunyah sesuatu. Lucu sekali. Lalu ada kura-kura yang punggungnya besar dan penuh lumut. Dan...
Demi Tuhan!
Jantungku rasanya hampir saja lepas saat tak sengaja tatapan mataku tertancap ke salah satu kandang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Seekor ular sawah besar sedang menggeliat dari tidurnya. Warna belang-belangnya nyaris membuatku muntah. Aku tak sengaja memekik sedikit agak kencang yang dengan segera jadi tontonan pengunjung kebun binatang lainnya. Aku tak peduli. Aku minta pulang ke Mas Ario dengan alasan yang sebenarnya; aku takut ular!
Mas Ario menuruti permintaanku. Kami pulang dan sepanjang perjalanan menuju rumah tak sekalipun Mas Ario mengajak bercakap-cakap. Aku sangat berterima kasih atas pengertiannya itu.
“Kamu bisa berlatih menghilangkan phobiamu dengan melihat-lihat fotonya dulu, Murti. Pelan-pelan. Lambat laun aku yakin kamu tidak akan takut lagi dengan ular. Percayalah,” kata Mas Ario beberapa hari setelah kunjungan kami ke kebun binatang itu.
Aku hanya diam. Aku masih takut. Ketika pikiranku sedang jernih, aku mulai merasakan kebenaran ucapan Mas Ario itu. Aku tak bisa begini terus. Aku harus mengobati ketakutanku terhadap ular. Mas Ario senang berjalan-jalan ke kebun binatang. Jika aku terus-menerus takut dengan ular, aku tak akan bisa menemani suamiku berkunjung ke kebun binatang lagi.
***
Sebulan setelah kunjungan kami ke kebun binatang tempo hari, aku memberanikan diri berkunjung sendiri ke kebun binatang itu. Tujuanku cuma satu; ingin langsung ke kandang ular! Aku ingin terbebas dari rasa takut terhadap ular. Itu saja.
Belum sampai aku ke kandang ular, jantungku rasanya hampir saja lepas saat tak sengaja tatapan mataku tertancap ke salah satu kandang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Kandang kelinci. Tidak... tidak... aku tidak takut sama sekali dengan kelinci. Aku takut apa yang jadi dugaanku ini benar. Di depan kandang kelinci, Mas Ario berdiri dengan Marina, perempuan yang kapan hari itu dia kenalkan sebagai rekan kerjanya di kantor. Aduh... detak jantungku tak beraturan lagi rasanya. Sekuat hati kuayunkan langkah mendekati mereka berdua. Benar. Itu Mas Ario dan Marina. Keparat!
Mereka tertawa sesekali. Sempat kudengar percakapan mereka yang luar biasa romantis tentang masa depan dan anak-anak yang lucu seperti kelinci putih yang berkejaran di dalam kandang. Jijik sekali aku mendengarnya.
Rasanya aku ingin melabrak Mas Ario saat ini juga. Dia mau mengelak apalagi? Tapi sial, air mataku keburu tumpah. Kuputuskan untuk diam-diam meninggalkan dua manusia laknat itu dengan hati yang berdarah-darah.
Berminggu-minggu setelahnya, aku seperti dihantui oleh ular-ular yang bisa berubah wujud. Aku takut sekali. Pernah suatu malam aku hendak ke dapur untuk minum, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu yang besar dan belang jatuh begitu saja dari plafon dan menimbulkan suara debum yang mengejutkan. Seekor ular sanca menggeliat di depanku dan tidak bisa tidak, aku memekik sekuat tenaga. Aku hendak berbalik namun langkahku tertahan oleh seekor kobra hitam yang sudah berdiri tegak di belakangku. Aku terduduk dan menangis. Ular kobra hitam dan ular sanca yang besar di belakangku kian mendekat dan kulihat keduanya menjulur-julurkan lidah. Aku menutup muka dengan kedua telapak tangan. Aku menjerit sekencang-kencangnya saat salah satu dari ular itu sudah sampai di pundakku, entah ular yang mana.
“Murti, hei... Murti...”
Kualihkan telapak tangan dari mukaku. Mas Ario berjongkok. Tangan kanannya masih menempel di pundakku. Ular sanca yang besar dan ular kobra yang hitam itu sudah tidak ada. Plafon dapur juga baik-baik saja.
“Kamu ini kenapa?”
Kuceritakan dengan sejujurnya perkara aku ingin mengambil segelas minum dan juga soal ular-ular yang menghantuiku itu. Mas Ario memintaku untuk segera kembali ke kamar. Aku mengiyakan dan kukatakan aku akan segera kembali ke kamar usai minum.
Di dalam kamar, kulihat Mas Ario sudah kembali terlelap. Pulas sekali tidurnya. Seolah barusan tak terjadi apa-apa. Aku sendiri masih tidak bisa memejamkan mata. Ular-ular terkutuk itu masih saja menerorku.
Kulirik jam di dinding kamar. Hampir jam dua dinihari. Aku ingin tidur nyenyak seperti Mas Ario. Tapi rasanya sulit sekali. Kurebahkan badan. Aku tidur menghadap ke meja kecil. Mas Ario ada di belakangku. Aku sudah akan terpejam ketika ponsel Mas Ario berkedip. Kuraih benda mungil yang bergetar lembut itu.
Mar memanggil...
Kantukku seketika lenyap. Amarahku berkobar. Perempuan macam apa yang menelpon suami orang pukul dua dinihari? Sungguh, darahku benar-benar mendidih. Ponsel di dalam genggaman tanganku terasa panas. Benda sialan itu masih berkedip-kedip.
Kutoleh Mas Ario yang mendengkur halus. Hendak kubangunkan dengan cara menendang kepalanya. Biar dia tahu rasa! Namun... ponsel di tanganku rasanya seperti menggeliat dan jadi licin dan berlendir. Secepat kilat tatapan mataku pindah ke ponsel keparat itu dan yang aku dapati adalah... seekor ular yang aku tak tahu namanya tengah menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Lidah ular yang berwarna kuning dan hitam itu terjulur-julur. Matanya menyala dan sungguh mengerikan. Ular itu memundurkan kepalanya dan bersiap hendak menyerangku. Aku memekik dan segera membanting ular bedebah itu ke lantai. Ular itu terjatuh dan dengan gerakan yang gesit, ular itu sudah kembali menegakkan tubuhnya. Kepalanya kini sejajar dengan mukaku. Lidahnya masih menjulur-julur dan bahkan kali ini disertai dengan desis yang membuat jantungku lemah seketika. Aku benar-benar takut. Aku ingin berteriak tapi rasanya suaraku tak bisa lagi keluar. Ular sialan itu memundurkan kepalanya lagi dan kali ini aku tidak punya kekuatan apa-apa. Aku mencoba memekik. Biarlah pekikku tak ada suara. Setidaknya aku sudah mencoba. Dan ketika aku berhasil berteriak sekencang-kencang yang aku bisa, kepala ular itu sudah mendarat persis ke pipiku.
PLAK!
Aku dipatuk oleh ular biadab itu. Rasanya sakit betul.
“Mengapa ponselku kamu banting, Murti? Kamu sudah gila rupanya! Mengapa? Ada apa? Ular-ular itu lagi? Ah!!”
Aku sesenggukan. Ular berwarna belang-belang kuning dan hitam itu sudah menghilang sedemikian cepatnya. Tak ada lagi jejaknya di lantai. Dan... oh... ponsel Mas Ario hancur berantakan di bekas ular itu berdiri. Aku menunjuk-nunjuk ke lantai. Mas Ario malah semakin memarahiku. Dalam isak tangisku, aku seperti mendengar suamiku menyebut-nyebut kata-kata phobia, berobat, psikiater, sakit jiwa, dan entah apa lagi. Kudengar Mas Ario mendengus dan kembali ke tempat tidur.
Aku merebahkan tubuh seperti tadi, membelakangi Mas Ario. Isak tangisku belum selesai. Beberapa saat kemudian, kudengar dengkur Mas Ario. Agak keras dari yang tadi. Mungkin kali ini Mas Ario tidur dengan membawa kemarahannya kepadaku terkait ponselnya yang berantakan itu. Ah... itu bukan salahku, kan? Aku tidak membanting ponselnya. Aku membanting ular yang hendak mematukku. Aku hanya membela diri. Apa aku salah?
Aku ingin tidur. Aku sangat ingin tidur. Kelopak mataku sudah akan terkatup ketika tiba-tiba di jendela berkelebat sesosok makhluk yang menakutkan. Seekor ular yang besar tapi kepalanya manusia. Siluman. Itu pasti siluman. Aku terduduk seketika. Napasku sudah tidak teratur lagi. kutunggu makhluk durjana itu muncul sekali lagi. Dan... benar saja. Dia memang datang lagi. Ular itu menegakkan tubuhnya persis di sudut kamar, di antara keremangan yang sempurna. Aku memicingkan mata. Lampu kamar tak berhasil membuat makhluk itu terlihat sepenuhnya.
“Kau tak bisa punya anak dan sekarang kau sudah jadi perempuan gila. Apa yang bisa diharapkan dari perempuan sepertimu, Murti?”
Selesai berkata seperti itu, kulihat ular berkepala manusia itu bergerak maju mendekat. Biar saja. Aku sudah tidak takut lagi. Aku sudah tidak takut dengan ular. Biar saja!
Ular berkepala manusia itu terkekeh. Semakin dekat, semakin terlihat wujud aslinya. Memang menyeramkan. Dan...
“Marina? Kau Marina? Bajingan!” Kuraih lampu duduk di atas meja dan kulemparkan ke arah ular jadi-jadian itu. Sialan betul. Dia mengelak dan ketika lampu duduk yang aku lemparkan membentur dinding kamar, dalam gelap kurasakan ular jadi-jadian itu menerkamku sembari tertawa terbahak-bahak. Aku meronta-ronta. Aku tak bisa melihat apa-apa.
“Benar-benar sakit jiwa kamu, Murti!”
Itu... itu suara Mas Ario. Aku merasa tubuhku diseret oleh Mas Ario. Aku dibawa keluar kamar. Entah dengan apa, kedua tanganku diikat ke belakang. Mulutku juga disumpal dengan kain. Aku tak bisa bergerak lagi. Aku tak bisa teriak lagi.
“Besok pagi kamu aku bawa ke rumah sakit jiwa. Sekarang tidurlah kamu di sini!”
Aih... tega betul suamiku berkata seperti itu kepadaku. Aku menangis. Pedih sekali rasanya. Aku baik-baik saja namun dituduh gila oleh suamiku sendiri. Seandainya... seandainya...
Oh, tubuhku letih sekali. Kusandarkan tubuhku di kaki sofa. Sebelum aku benar-benar terlelap, aku ingat ucapan Marina yang mewujud ular jadi-jadian tadi, “Kau tak bisa punya anak dan sekarang kau sudah jadi perempuan gila. Apa yang bisa diharapkan dari perempuan sepertimu, Murti?”
Aku terlelap dengan Marina yang berkali-kali menyambangiku di dalam mimpi. Ular keparat itu memang benar-benar harus mati! (*)
Mempawah, Agustus 2019
Kakanda Redi, lahir di Jembrana, Bali, 13 Maret 1985. Menulis cerita pendek dan sajak. Tulisan-tulisannya ditayangkan di beberapa surat kabar dan majalah seperti Harian Suara Pemred Kalbar, Pontianak Post, Harian Equator, Tabloid Nova, Radar Banyuwangi, dll. Menghadiri Temu Penyair Asia Tenggara di Kota Padang Panjang pada bulan Mei 2018. Dalam waktu dekat akan merilis buku kumpulan cerpen tunggalnya yang kedelapan. Saat ini berdomisili di Mempawah, Kalimantan Barat.
Cerpen: Ular-Ular yang Bersarang dalam Kepala Cerpen: Ular-Ular yang Bersarang dalam Kepala Reviewed by takanta on Maret 01, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar