Cerpen: Matinya Penyair Bukad



Saranku, cerita ini tidak boleh dibaca oleh orang-orang yang bercita-cita atau paling tidak berkeinginan menjadi penyair. Sebab itu berbahaya, bisa-bisa ia mengurungkan hasrat untuk menjadi penyair. Mula-mula orang yang berkeinginan menjadi penyair akan melakukan apa saja, mengorbankan semua cara. Aku takut kalau cerita ini dibaca oleh orang yang punya keinginan sama sepertiku dulu, menjadi penyair, takut kalau cerita ini membuat mentalnya ciut. Aku takut berdosameski tidak pernah tahu seperti apa bentuk dosakalau menghalangi orang untuk menggapai cita-cita. Maka kusarankan lagi, cerita ini tidak boleh dibaca orang yang hasartnya untuk menjadi penyair tinggi. Tidak boleh.

Awalnya aku juga termasuk orang yang punya keinginan besar menjadi penyair. Dalam pikiranku, betapa keren menjadi orang yang setiap hari berpuisi atau paling tidak bercakap-cakap dengan sedikit lebih puitis. Aku mulai bosan dengan cara bertutur yang biasa-biasa saja, bertutur yang tidak mengenal perumapamaan, bertutur dengan sangat transparan, bertutur dengan bahasa yang menyakitkan tanpa sedikit pun majas atau sindiran. Aku berpikir bahwa penyair kaya dengan itu semua, ia mampu mengungkapkan tanpa harus benar-benar kelihatan bentuknya. Dari itu pula aku mulai ingin menjadi penyair.

Langkah kedua, aku mulai mencari-cari di internet cara jitu menjadi penyair. Atau cara cepat menulis puisi bagus. Atau cara....

***

Siapa yang tidak kenal penyair Bukad, kurasa seluruh kota ini mengenalnya. Ia sudah keliling kota di Indonesia hanya untuk membacakan puisi-puisinya. Kalau pun orang tidak mengenalnya, barangkali ia memang kurang mendengar berita-berita terhangat. Bukad terkenal lantaran puisi-puisinya yang selalu menentang kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan rakyat. Tak ayal jika ia begitu dibenci orang-orang atas, meski disanjung oleh rakyat. Bukad sudah seperti pahlawan kesiangan yang bersuara mewakili seluruh suara rakyat yang bungkam.

Kita beruntung punya orang seperti Bukad, kata seorang bapak yang sudah uban pada suatu percakapan di sebuah angkringan.

Betul, mungkin dia sudah mewakili kita untuk bersuara.” Bapak yang lebih muda membenarkan.

Makanya dia sudah banyak berkeliling kota di Indonesia hanya untuk membacakan puisinya,” sambung bapak yang satunya sambil memasukkan gorengan ke mulutnya.

Bukad, begitu jeleknya nama itu. Namun ia juga tidak pernah punya hasrat  untuk mengubah namanya, entah karena sudah kadung terkenal atau alasan lainnya. Padahal begitu banyak penyair kenamaan yang tidak menggunakan nama aslinya. Sebut saja Pablo Neruda, yang memilih nama samaran untuk puisi-puisinya. Tapu itu tidak berlaku bagi Bukad, ia tetap menggunakan namanya yang jelek dan kadang-kadang membuatku tertawa.

“Bukad terlalu jelek untuk kamu yang populer ini,” sentilku sewaktu-waktu.

“Biarlah, orang tidak akan melihat namaku, mereka cenderung melihat prestasiku.”

“Tapi bagi orang yang tidak mengenalmu, nama itu hanya sebagai lelucon saja.”

“Lagi pula nama itu pemberian seorang ibu.”

Begitulah Bukad, ia lebih logis menjawab pertanya-pertanyaanku. Aku yakin ia memang banyak membaca buku, tidak seperti yang sering malas-malasan. Aku dengannya sudah berteman dari sekolah dasar. Ia memang punya bakat terpendem, kata seorang guru Bahasa Indonesia. Terbukti saat kita kemudian sama-sama kuliah, ia menjadi mahasiswa yang setiap hari minggu karyanya terpajang di halaman koran nasional.

Sejak semester awal, ia sudah puluhan kali mengirimkan puisinya. Meski tidak semuanya dimuat, ada satu-dua yang ditolak. Setiap kali ditolak, ia tidak akan pulang ke rumah kontrakan kami. Ia memilih berdiam di perpustakaan kampus untuk melahap buku-buku terjemahan. Sepertinya, sudah puluhan buku yang bisa ia baca selama sebulan. Sekali lagi, Bukad memang pembaca yang ulung, seperti petarung yang tanggung di medan pertempuran.

Aku tahu betul bagaimana cara ia pertama kali menulis puisi. Itu lahir setelah ia kasmaran pada teman sewaktu SMP, Maryamah. Perempuan tinggi dengan kulit putih dan gigi gingsul, kelihatan jelas ketika ia senyum. Bukad benar-benar jatuh hati pada Maryamah, namun ia juga tidak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Akhirnya ia memilih menulis puisi (awalnya asal-asalan) sebagai tempat mencurhakan hatinya. Hanya Bukad, aku, dan buku yang tahu terhadap isi perasaan yang menggebu itu. Sampai kuliah pun, Bukad tidak pernah mengungkapkan langsung pada Maryamah. Sementara Maryamah harus menikah dengan pria lain. Itulah yang membuat Bukad seperti jatuh dan tertimpa tangga pula. Seharian Bukad menangis di rumah kontrakan kami. Sebagai teman aku berusaha menengakannya.

Sudahlah, jodoh di tangan Tuhan, Kad.”

“Tapi perasaan harus tetap dipertahankan.”

“Maryamah sudah bahagia dan dia tidak pernah tahu perasaanmu.”

“Benar kata Sengat Ibrahim, menjadi penyair adalah petaka setiap saat kerjanya meminum derita.” Bukad mulai mengutip puisi dari penulis yang barangkali sudah dibacanya itu. Aku hanya plonga-plongo sambil garuk kepala.

Dari kejadian itu Bukad semakin semangat menulis puisi untuk kemudian dikirim ke koran. Ia seperti kerasukan dalam menulis puisi-puisinya. Kadang di hari minggu, karyanya dimuat di lima media lokal dan nasional dengan puisi yang berbeda-beda. Itu sungguh menguntungkan bagiku, honor dari koran itulah yang selalu dibuat untuk mentraktir makananku di setiap warung angkringan. Tapi waktu itu Bukad tidak terkenal, sama sekali tidak terkenal.

Tapi kemudian namanya langsung mencuat setalah dengan lantang ia membacakan naskah puisinya di depan gedung DPR. Bukad sudah tidak seperti orang kerasukan lagi, ia sudah menjadi gila. Ia hanya pulang ke kontrakan kami seminggu sekali, waktu-waktunya benar dihabiskan untuk keliling kota Indonesia untuk memenuhi undangan. Tidak banyak memang uang yang didapatkan, tetapi cukup untuk makan di warung angkringan dan mentraktirku.

Bukad lulus lebih awal daripada aku, meski kami sekalas. Lebih tepatnya ia meluluskan diri. Ia sudah menganggap bahwa kuliah tidak penting.

“Kamu ini bagiamana sih, Kad?” tanyaku suatu waktu.

“Sudahlah, kuliah benar tidak penting.”

“Matamu.”

“Sudah terlalu banyak sarjana di negeri kita, negeri kita hanya butuh orang yang tidak diam ketika melihat ketidakadilan.”

***

Namun semua itu berubah drastis ketika Bukad harus beristri. Ia dan istrinya yang hanya hidup di rumah yang sederhana pemberian dari mertuanya, harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan yang bertambah drastis. Bukad sudah tidak lagi berpuisi di depan kantor dewan, atau diundang ke seluruh kota di negeri ini, namanya juga tenggelam di setiap hari minggu. Sudah terlalu lama aku menunggu kemunculan namanya setiap hari minggu, tapi tak kunjung muncul juga. Malah banyak penulis-penulis baru dan namanya asing yang barangkali sekali-duakali dimuat dan sudah merasa seperti penyair. Padahal jika Bukad muncul, aku yakin nama-nama mereka yang akan tenggelam.

“Aku sudah tidak menulis lagi, Mad.” Begitulah curhat Bukad kepadaku saat kami bertemu di pasar. Dia mengantar istrinya, sementara aku ikut ibu.

“Lah kok bisa?”

“Sudah tidak punya waktu, seluruh waktuku dihabiskan untuk bekerja yang hasilnya lebih banyak dari sekadar dimuat koran tiap minggu.”

“Tapi kan menulis sebagai sampingan.”

“Istriku akan marah-marah jika aku lama berada di depan laptop.”

Percakapan kami terhenti, ibuku sudah muncul dari belakang dan mengajak pulang. Aku pamit untuk pulang duluan, kulihat wajah Bukad yang muram.

Seminggu kemudian aku berkunjung ke rumah Bukad tanpa memberitahunya lebih dulu. Setengah terkejut, istrinya justru menangis histeris sambil  memperilihatkan laptop Bukad yang sudah penuh dengan darah. Kami masuk ke kamar Bukad, mataku justru tertuju pada pergelangan Bukad yang tergores pisau dapur. Pisau dapur itu tergolek lemas di lantai, kematian memang sering merenggut orang-orang potensial di masa depan. Kubaca tulisan di layar laptop itu:

Saranku, cerita ini tidak boleh dibaca oleh orang-orang yang bercita-cita atau paling tidak berkeinginan menjadi penyair. Sebab itu berbahaya, bisa-bisa ia mengurungkan hasrat untuk menjadi penyair. Mula-mula orang yang berkeinginan menjadi penyair akan melakukan apa saja, mengorbankan semua cara. Aku takut kalau cerita ini dibaca oleh orang yang punya keinginan sama sepertiku dulu, menjadi penyair, takut kalau cerita ini membuat mentalnya ciut. Aku takut berdosameski tidak pernah tahu seperti apa bentuk dosakalau menghalangi orang untuk menggapai cita-cita. Maka kusarankan lagi, cerita ini tidak boleh dibaca orang yang hasartnya untuk menjadi penyair tinggi. Tidak boleh.

Awalnya aku juga termasuk orang yang punya keinginan besar menjadi penyair. Di pikiranku, betapa keren menjadi orang yang setiap hari berpuisi atau paling tidak bercakap-cakap dengan sedikit lebih puitis. Aku mulai bosan dengan cara bertutur yang biasa-biasa saja, bertutur yang tidak mengenal perumapamaan, bertutur dengan sangat transparan, bertutur dengan bahasa yang menyakitkan tanpa sedikit pun majas atau sindiran. Aku berpikir bahwa penyair kaya dengan itu semua, ia mampu mengungkapkan tanpa harus benar-benar kelihatan bentuknya. Dari itu pula aku mulai ingin menjadi penyair.

Langkah kedua, aku mulai mencari-cari di internet cara jitu menjadi penyair. Atau cara cepat menulis puisi bagus. Atau cara....

Beruntung aku tidak pernah ingin jadi penyair, gumamku.

Sementra tangis istri Bukad seperti menembus langit ketujuh. (*)

Jogja, 2020

Moh. Rofqil Bazikh, lahir dan besar di pulau Giliyang Madura dan sekarang merantau di Banguntapan, Bantul, Jogjakarta. Sehari-hari waktunya sering dihabiskan meng(k)aji dan ngopi. Proses kreatifnya dimulai sejak di tanah rantau Gapura Timur, Gapura, Sumenep. Selain menulis puisi, cerpen, essai, yang sudah tersebar di beragam media massa juga aktif menulis status di media sosial. Bisa dihubungi lewat IG: @rofqiel atau Twitter: @rofqilbazikh.

 

Cerpen: Matinya Penyair Bukad Cerpen: Matinya Penyair Bukad Reviewed by takanta on September 06, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar