Resensi: Dari Patah Hati Hingga Tragikomedi


 

Identitas Buku

Judul buku  : Menghitung Percakapan

Penulis : Alifa Faradis, dkk.

Penerbit : Bashish Publishing, Situbondo

Cetakan : Pertama, Agustus 2020

Tebal : xvi + 228 halaman

ISBN : 978-623-93939-3-9

Peresensi : M. FirdausRahmatullah

 

Bukankah kita sering mendengar tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan? Cinta sepihak lantaran sang kekasih sudah berpunya atau hanya imaji sang pencinta supaya dapat memiliki dan dimiliki pujaan hati. Lalu, sudah barang tentu hubungan itu, berbuah patah hati dan kecewa tiada terperi.

Cerita-cerita dalam Menghitung Percakapan yang ditulis oleh Alifa Faradis, Wilda Zakiyah, Ulfa Maulana, Novi Dina, Mariaa, kapten_ran, dan Gaharu adalah cerita-cerita demikian—meski tidak semuanya demikian. Kita (seperti) dihadapkan pada adegan keseharian—yang kita dengar, baca, tonton, atau kita alami sendiri—dalam satu babak, ringkas, seolah setarikan napas. Simak cerita Percakapan di Bawah Hujan (hal. 3) ketika si gadis harus merelakan perasaannya kepada lelaki yang dicintainya sebab keduanya adalah saudara tiri. Atau Pertemuan Rahasia (hal. 31), Kita Hanya Teman (hal. 114), Ketika Salah Menjadi Canda (hal. 130), dan sebagainya. 

Seratus tujuh cerita dalam buku ini berbentuk cerita mini (cermin), fiksi mini atau flashfiction, cerita kilat, atau cerpen singkat. Rata-rata ditulis 1-5 halaman. Kebanyakan tertumpu pada akhir cerita demi menghasilkan efek kejutan (surprise)—meski terkesan dipaksakan. Sekalipun begitu, terdapat pesan atau amanat dalam beberapa cerita yang ingin disampaikan penulis—tersirat maupun tersurat—meski dengan ruang terbatas. Di Indonesia, kita mengenal Agus Noor yang menulis dengan bentuk seperti itu. Bukunya—sekadar contoh, Cerita Buat Para Kekasih (2014) dan Kisah-kisah Kecil & Ganjil (2020), sebagian besar berbentuk demikian.

Sepanjang buku, kita akan menjumpai cerita-cerita yang santai, lucu, hubungan yang rumit, tegang, tragis, hingga gelap. Kita juga tak akan kesulitan memahaminya sebab disajikan dengan bahasa yang lugas tanpa permainan bahasa atau majas yang bermacam-macam. Simak cerita Usaha (hal. 98), yaitu perpaduan antara gemas dan klise, saat si aku berbincang dengan calon mertuanya. Kita akan mudah tergelak, seumpama hiburan yang diberikan pelawak-pelawak di televisi. Namun di sisi lain kita menemukan pesan bahwa sebuah usaha tak hanya dapat dilihat secara fisik.

Kendati semua penulisnya perempuan, tak berarti tak ada tema thriller dalam buku kumpulan cerita mini ini. Anggrek Bulan (hal. 68) salah satu contohnya. Kita tak akan menyangka bahwa bunga anggrek bulan yang merupakan simbol keindahan dan kecantikan, ternyata perwujudan perempuan (?) yang dibunuh oleh seorang lelaki berwajah sedih—pun secara batin.

Akan tetapi, kewajaran menggunakan bahasa sebagai medium cerita (dan sastra pada umumnya) tidak sepenuhnya diterapkan oleh para penulis perempuan-muda ini, sehingga seringkali tergelincir pada kemolekan berbahasa. Penggunaan kata dan kalimat yang bertele-tele, bahkan tak memiliki hubungan langsung dengan cerita, mengganggu jalannya cerita. Padahal—seperti subjudulnya—cerita-cerita dalam buku ini telah “memilih” bentuk cerita mini sebagai wujudnya, sehingga mau tak mau harus mendayagunakan segenap unsur pembangun cerita secara padat, to the point, dan tidak hanya merupakan penggalan cerita semata.

Arkian, seorang tukang cerita, tak hanya orang yang pandai bercerita—atau menyampaikan sebuah cerita. Ia juga dituntut menguasai bahasa sebagai alat penyampai kisahnya—dalam hal ini cerita berbahasa Indonesia—agar terasa luwes, tanpa tidak dibuat-buat. Ia harus peduli ejaan, mana istilah asing atau serapan, mana “di” yang awalan dan mana “di” yang preposisi, atau kata ganti, nama orang, binatang, hingga Tuhan; sehingga pembaca terang-benderang, tak terganggu dengan perkara remeh-temeh demikian.

Akhirulkalam. Buku ini memang patut diapresiasi walaupun ditulis keroyokan. Ia  antologi bersama penulis perempuan-muda (asal) Situbondo. Artinya, beragam tema disajikan, sehingga kita bisa mengawali membaca buku ini dari mana saja, meskipun lompatan demikian membuat kita akan terasa aneh menentukan benang merah cerita-cerita dalam buku ini. (*)

 

Tentang penulis:

M Firdaus Rahmatullah, penulis lahir dan menempuh pendidikan di Jombang, Jawa Timur. Menggemari sastra dan kopi. Buku tunggalnya Cerita-Cerita yang Patut Kau Percaya (2019). Kini, mengabdi di SMAN 1 Panarukan.

Twitter: @mufirra_

 

 

Resensi: Dari Patah Hati Hingga Tragikomedi Resensi: Dari Patah Hati Hingga Tragikomedi Reviewed by Redaksi on September 09, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar