Resensi: Novel Warisan



Oleh: Syukron MS

Persoalan mengenai ketidakadilan gender nampaknya tak pernah habis diperbincangkan, digaungkan, dan didialektikakan oleh pejuang kesetaraan. Dari segi konsep maupun praktiknya, makin hari makin banyak perempuan ataupun laki-laki yang bergelut dengan paradigma feminisme. Feminisme sendiri pun semakin hari semakin melebarkan sayapnya. Gelombang demi gelombang dipulunkan oleh pergerakan mereka yang progressif. Hingga membentuk bermacam-macam aliran dan pandangan. Meskipun tujuan besarnya sama, yakni kesetaraan.

Hal itu disebabkan oleh tidak lain daripada menjamurnya kultur patriarkis yang telah lama hidup bersama dengan masyakarat. Kasus diskriminasi, eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan  seolah-olah menjadi makanan sehari-hari kaum perempuan, yang kian kemari mungkin saja mereka telah terlampau kenyang dan muak untuk memakan makanan pahit yang itu-itu saja. Mungkin juga oleh karena hal tersebut, mereka memuntahkan perasaannya, “marah”, dan bersemangat untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh mereka, sebuah kehidupan yang sehat dan seimbang, sebuah kesetaraan rasa dan kedudukan yang memungkinkan menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan demokratis.

***

Beberapa pekan lalu, saya membeli novel terjemahan terbitan jadul dari penerbit Pustaka Obor. Judulnya Warisan, terjemahan Budi Darma (1996) terhadap novel The Legacy karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri. Novel ini diberi label “sebuah novel feminis” karena menggambarkan “keburukan kebudayaan patrarkis” pada masa itu. Lantas, setelah saya membacanya, wacana didaktis mengenai feminisme ternyata bisa dituangkan melalui apa saja, termasuk karya sastra, dan kapan saja. Sehingga, saya sengaja mengendapkannya beberapa minggu, tidak me-review atau menulis apapun dari hasil pembacaan saya terhadap novel ini untuk melihat seberapa berpengaruhnya novel ini terhadap ingatan saya. Dengan alasan, biasanya semakin lama kesan pembacaan terhadap suatu wacana semakin baik pulalah mutu dari bacaan tersebut. Alhasil, saya tulis ulasan saya hari ini yang berarti bahwa novel ini saya rasa memang sangatlah baik mutunya.

Dalam novel Warisan ini, penulis menghadirkan beberapa gambaran dan gugatan terkait ketidakadilan yang diberikan terhadap tokoh utama; Moya, dan keluarganya.

1. Hak Waris

Pertama, novel ini dibuka dengan langsung menceritakan inti persoalan yang menjadi penggerak dari alur cerita. Si tokoh utama menceritakan kegamangannya tentang apakah ia harus menerima keputusan dari Hakim mengenai pembagian harta almarhum suaminya. Ia berkata; “mungkin aku harus menerima keputusan Kantor Urusan Harta mengenai pembagian harta almarhum suamiku. Jika aku menerima, maka aku tidak usah berkepanjangan menempuh rasa sakit dan ketidak-menentuan ini. Mungkin aku harus puas dengan seperempat jumlah uang pensiun suamiku, karena, [...] anak-anakku telah menerima separonya. Paling tidak di antara kami bertujuh kami menerima sepertiga, sedangkan orang tuanya Ba mpongoshiku, menerima seperempat sisanya dan kakak lelakinya, mulamuku, memperoleh rumah dan tanah sekitarnya seluas sepuluh hektare–satu-satunya tanah bagiku untuk dapat hidup.” Hlm.3.

Tetapi, si tokoh utama juga sadar bahwa dialah yang selama lima belas tahun “bekerja berat, bangun pagi, dan tidur sangat larut (untuk) […] membangun usaha yang menanjak melalui kebun sayur mayur. hlm.5. Dengan demikian, ia menggungat pada mulamunya  “yang tidak pernah mencurahkan waktu atau pun uang untuk harta(nya), yang tidak menaruh perhatian apa pun terhadap almarhum suami(nya), harta(nya), atau pun anak-anak(nya).” hlm.3. tetapi bersikukuh ingin merampasnya dari tokoh utama.

2. Hak Sekolah

Gugatan kudua adalah soal sekolah, dalam novel Warisan ini, amat terasa betapa tidak bebasnya perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri. Khususnya dalam hal pendidikan, perempuan dianggap lebih subordinat daripada laki-laki, seperti tercermin dari kutipan “Tidak!” kataku. “tidak, aku tidak mau kawin, aku ingin terus sekolah dan menjadi guru.” [….] Ayahku tertawa. Anak perempuan menjadi guru? Saudara-saudaraku laki-lakilah yang akan mengerjakan itu. karena sekarang aku sudah dewasa, aku harus kawin dan membantu saudara laki-lakiku untuk melanjutkan sekolah.” hlm. 26. Dari sini, dapat dilihat bahwa perempuan selain dihalangi kemampuannya untuk menjadi apa yang mereka mau, sekaligus juga dibebani oleh anggapan bahwa perempuan harus kawin secepatnya.

3. Stereotipe

“[….] Adalah tugas perempuan untuk tinggal di rumah dan merawat suami serta anak-anak.[….] aku harus kawin sekarang, sebelum laki-laki merasa bahwa bagi mereka pendidikanku sudah terlalu tinggi!” hlm. 27. Dari kutipan ini, dapat dilihat bahwa persoalan pendidikan juga ada relasinya dengan stereotipe terhadap perempuan. bahwa perempuan harus tinggal di rumah, merawat suami, anak-anak, tidak boleh berpartisipasi di hadapan publik, dll. Padahal, Fakih. M. (1996:07-08) pernah menyatakan bahwa “gender” berbeda dengan kata “seks”. Seks atau jenis kelamin merupakan sifat kondrati, tidak bisa berubah, sementara gender dapat dipertukarkan satu sama lain. Artinya, merawat anak, atau bahkan istri serta urusan yang ada di rumah bisa saja dilakukan oleh laki-laki.

Stereotipe semacam ini sepertinya masih terjadi di masyarakat kita sendiri. Bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi ditakuti oleh laki-laki, saya duga itu hanya karena laki-laki takut perempuan tidak dapat diatur bahkan menentang akal bulus mereka yang ingin melestarikan pendiskreditan terhadap perempuan.

4. Ketergantungan

Selain selalu menyalahkan laki-laki yang patriarkis, penulis juga mengkritik perempuan yang “bersekongkol dengan laki-laki”, menurut Budi Darma dalam pengantarnya perempuan semacam itu merupakan korban iblis, sebab laki-laki patriarkis adalah iblis.

“Aku tidak akan pernah melupakan rasa sakit yang harus aku tanggung ketika anak perempuanku itu mengatakan kepadaku bahwa ia sudah dikeluarkan dari sekolah karena hamil. hlm.61. […] namun, tampaknya Choolwe tidak susah. Sebaliknya, ia justru bahagia karena hamil. Bahkan ia bergairah karena sekarang ia bisa kawin dan punya rumah sendiri. [….] Tapi ia terkejut karena ternyata Chisanga menganjurkan ia untuk melakukan pengguguran. Lalu ia sadar bahwa Chisanga tentunya risau mengenai akibat kehamilannya itu terhadap pendidikannya.” hlm. 62. Dari sini, dapat dilihat bahwa Chisanga merupakan iblis yang memberi harapan atau tepatnya gantungan terhadap Choolwe yang menjadi korban. Bukankah aneh bila si korban tidak merasa bahwa dirinya sedang dieksploitasi tubuh dan masa depannya hanya karena ia pikir bahwa laki-laki akan memfasilitasi segala kebutuhannya. Ia pikir laki-laki dapat membahagiakannya oleh karena itu ia serahkan seluruhnya terhadap laki-laki. Maka, kesadaran akan kesetaraan gender dalam hal ini tidak cukup dilontarkan kepada laki-laki. Tetapi, perempuan juga pada dasarnya harus sadar sepenuhnya akan hal tersebut.

***

Kemudian, pertanyaannya: mungkinkah novel ini termasuk novel yang baik? Jangan-jangan itu hanya penilaian subjektif saya belaka. Namun bila mengacu pada kriteria Budi darma (2019: 45-46), novel yang baik adalah novel yang mengandung universalia di dalamnya, seperti cinta, kebahagiaan, penderitaan dan lain-lain. Novel ini pun cukup mengandung hal-hal universal tersebut.  Apalagi, novel ini diterjemahkan oleh "orang sastra" yang baik pula, yaitu, Budi Darma sendiri. Tentu, kalau dia menerjemahkan novel yang tidak baik, bukankah ia sama saja dengan mengingkari kriteria ideal yang dipaparkan sendiri? Maka satu-satunya cara untuk mamastikan apakah novel ini baik atau tidak adalah dengan membaca dan merefleksikannya. Dan bagi saya, novel ini, tetap dalam pendirian adalah novel yang baik mutunya dengan alasan seperti yang telah dipaparkan di awal.[]

 

Glosarium

Ba: kata depan untuk menunjukkan rasa hormat

Mpongoshi: ibu atau ayah mertua

Mulamu: ipar laki-laki atau perempuan

 

Daftar Rujukan

Darma, Budi. (2019). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Fakih. M. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

 

Biodata

Syukron MS lahir di Probolinggo. 
Resensi: Novel Warisan Resensi: Novel Warisan Reviewed by takanta on Mei 23, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar