Cerpen: Pengilon Kembar



Oleh: Dody Widianto

Seusai ia melekatkan kedua telapak tangannya di dada, dalam dengung suara yang hanya bisa didengar desau angin, bibirnya pelan merapal mantra, “Gusti Sang Langgeng Mulyo, kawulo mung sadermo mobah-mosik kersaning hyang sukmo. Ngeluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa bandha, sekti tanpa aji-aji. Suro dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.”

Dari kedua bahunya, dua benda aneh kemudian menyembul bersama. Mirip biji-bijian yang hendak mengeluarkan tunas, sesuatu mencuat dari sana. Memanjang, melengkung, menjuntai ke tanah. Bulu-bulu halus cokelat terang dengan cepat merambat dari ujung dada hingga atas kepala. Bibirnya memanjang. Sebuah moncong lancip kekuningan baru saja tumbuh. Tubuhnya perlahan menyusut. Lebih kecil dari kepalan tangan. Ia merapatkan kakinya, mengentakkan kaki, mengepakkan sayap, meninggalkan pijakan batu di bawah pohon kepuh tua.

Dari atas, lewat embus angin yang membelai dada dan kepalanya, ia bisa melihat dari atas, betapa rakyat yang sangat dikasihi sedang melakukan berbagai aktivitas. Ada yang sedang menanam padi, ada yang memanen jagung dan ubi, lalu dari jarak empat petak sawah menjauhi dua petani yang sedang menggarap lahan, di kebun yang diapit dua pohon trembesi, seorang anak muda sedang angon puluhan kambing. Ia tersenyum. Berita tentang kerajaannya yang gemah ripah loh jinawi telah didengar raja-raja kerajaan sebelah. Kerajaanya tetap damai dan aman sentosa hingga sekarang. Walau dalam hatinya, suatu saat, rasa iri bisa saja menenggelamkan kerajaannya dalam bencana.

Hingga di batas ketinggian ketika angin bertiup makin kencang, ia memelankan kepakan sayapnya. Perlahan turun di antara rimbuh daun-daun. Dua kakinya berpijak pada ranting kecil pohon berduri. Sorot matanya mendadak curiga. Dari tatap kejauhan, di bawah pohon trembesi tua, dua orang sedang menyisik kayu. Menghaluskannya. Salah satu dari mereka kemudian merekatkan dua cermin ke dalam bingkai kayu itu. Tepi kayu itu dipahatnya sedikit demi sedikit hingga membentuk pola ukiran batik. Ia masih terus mengamati dari pucuk pohon randu alas yang mulai berbunga. Memandangnya tak percaya. Dua cermin mereka sama persis dengan kepunyaannya di pendopo rahasia kerajaan. Dua cermin serupa yang ia namakan Pengilon Kembar.

***

Bongoh melihat sebuah tulisan pengumuman yang dipajang di dinding gubuk sawah dengan rasa penasaran. Ia melihat lagi tulisan yang tertera di kain hitam dengan tulisan tinta emas. Raja Dewandaru yang agung sedang mencari prajurit pilihan. Hatinya bergumam. Ia menyamakan dengan pengumuman yang ia temukan di pinggir jalan yang tertempel di gudang lumbung padi. Sama persis. Jika benar ini sebuah lowongan, ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Akan sangat mulia jika suatu hari ia bisa menjadi prajurit kerajaan. Teman masa kecilnya, Kiwung, sebelum dipercaya sebagai dewan penasihat raja, ia dulunya juga bekas panglima perang. Satu kasta paling tinggi dalam barisan prajurit di kerajaan Pringgowijayan Hadiningrat. Seolah ingin mencontoh kesuksesan teman masa kecilnya, diam-diam ia akan ikut seleksi prajurit itu. Kiwung pernah bilang jika tes seleksi itu sangat ketat. Dari tes kekuatan fisik dan mental, tes kepribadian, dan paling terakhir yang Kiwung bilang paling berat, yaitu tes kejujuran.

Bongoh berlari pulang. Dalam napas ngos-ngosan dan seolah tak hirau dengan kambing yang ditinggal, ia utarakan maksud dan keinginannya ikut pemilihan prajurit kerajaan. Di dapur, ibunya yang sedang mengayak biji beras di tampah agar terpisah dari menir, kaget mendengar teriakan Bongoh yang tiba-tiba dari arah ruang tamu.

“Buk, aku melu iki yo?”

Alis ibunya mengerut. Ibunya buta huruf. Ia tak paham tulisan Jawa kuno. Bongoh menjelaskan ada seleksi pemilihan prajurit kerajaan. Sudah lama lowongan ini tidak pernah dibuka. Bongoh bercerita, jika nanti dirinya terpilih jadi bagian prajurit kerajaan, ia akan membawa ibunya yang renta ikut serta tinggal di rumah yang telah disediakan kerajaan. Sudah digaji setiap bulan, dapat rumah pula. Hal itu yang membuat Bongoh bersemangat.

“Berati berita itu benar adanya. Si Tejo anaknya Katmini juga mau ikut Le. Ibu sering lihat ia berenang di kali sebelah sawahmu. Kadang lari-lari sepanjang jalan dari rumahnya menuju pasar Harjo Binangun. Kukira dia sedang latihan. Selama itu baik untuk masa depanmu, ibu akan terus mendukung.”

“Lah, cungkring itu ikut juga?”

“Kamu selalu menilai orang dari luarnya Le.”

Bongoh terdiam. Dibanding dia, Tejo memang kurus kering. Lain dengan Bongoh yang gempal. Ia lebih cocok ikut casting iklan susu sehat daripada ikut seleksi prajurit kerajaan. Hobinya makan dan rebahan sambil menunggu kambing-kambingnya kenyang merumput di pinggiran ladang. Namun, satu hal yang ibunya tak pernah tahu, Kiwung, yang masuk dalam jajaran dewan penasihat raja, adalah karib dekat Bongoh dari kecil. Sebuah kedekatan yang akan ia manfaatkan demi mengalahkan ratusan peserta lainnya. Diam-diam Bongoh menyusun sebuah rencana. Penjaga pintu aula kerajaan sudah paham siapa Bongoh. Ia sering bertemu Kiwung jika senggang tiba. Tak ada kecurigaan apa pun karena memang mereka berdua karib dekat. Dan demi memuluskan tes itu, mudah saja ia bertanya pada Kiwung apa saja tes yang harus dilaluinya. Termasuk tes yang paling susah, tes kujujuran.

“Raja Dewandaru punya dua cermin kembar yang bisa membaca isi hati, melihat kejujuran dan kebohongan orang yang berdiri di antara keduanya. Tak ada dusta yang bisa ditutupi dari Pengilon Kembar.”

Ketika hari pengujian itu datang, benarlah perkiraan Bongoh. Ada ratusan orang yang mendaftar. Para peserta begitu tertib mengikuti semua rangkaian tes dari awal hingga akhir oleh tim penguji. Mulai dari tes berenang, tes fisik dan mental dengan berlari mengitari aula kerajaan ratusan kali, tes kepribadian dan tata krama lewat berbagai pertanyaan di ruangan khusus, semuanya telah dilewati bersama tanpa kericuhan.

Bongoh mendadak kaget. Seolah tak percaya. Di akhir tes, ketika satu per satu banyak peserta lain tumbang karena kelelahan, satu orang yang selalu ia sepelekan telah berdiri di sebelahnya. Di tengah-tengah aula dengan terik menyengat, di antara bulir-bulir keringat yang menuruni lembah dada, ia melihat Tejo di sampingnya. Bongoh yang gempal dan bertelanjang dada memasang raut sinis. Ia begitu kontras dengan tubuh Tejo yang kurus kering. Peserta lain yang kelelahan akhirnya banyak yang mengundurkan diri. Hanya tersisa dua orang untuk melanjutkan di tes terakhir. Tes kejujuran lewat Pengilon Kembar. Namun, hati Bongoh terus saja tersenyum. Ia merasa jemawa karena kedekatannya dengan Kiwung. Ia akan dengan mudah mengalahkan rivalnya itu.

Keduanya lalu digiring memasuki pendopo rahasia kerajaan. Hanya orang-orang terpilih yang bisa memasukinya. Bongoh dipanggil untuk yang pertama. Ia dipersilakan tim penguji untuk berdiri di antara dua cermin kembar. Raja Dewandaru yang agung menyaksikan langsung jalannya tes terakhir pemilihan prajurit. Termasuk penasihat pribadinya, Kiwung. Ia terus berdiri berdampingan di sebelahnya. Melihat karib dekatnya tepat berada di depannya.

Bongoh lalu melangkah pelan menuju dua cermin serupa yang telah dipersiapkan tim penguji. Baru sedetik Bongoh berdiri di antara dua cermin itu, salah satu cermin yang berada tepat di depannya perlahan retak. Mulanya kecil, melebar, makin lebar, membentuk akar pohon yang besar. Serpihan kaca itu akhirnya berjatuhan ke lantai. Menyisakan bunyi mirip ratusan kerikil yang dijatuhkan dari atas. Napas Bongoh yang tetiba memburu berusaha ia tahan. Jantung Bongoh berdegup lebih kencang dibanding saat ia melewati tes lari mengitari aula kerajaan. Jemarinya yang bergetar sedikit ia sembunyikan. Di sisi lain, kepalan tangan raja Dewandaru yang agung tak pernah ada yang tahu. Seolah memendam kegeraman.

“Pengawal, ambilkan Pengilon Kembar yang asli di kamar.”

Semua yang ada di situ sontak kaget. Bagaimana mungkin cermin itu bisa dipalsukan. Padahal tes uji kejujuran ini selalu bersifat rahasia dan hanya keluarga raja dan lingkup tim penguji yang tahu. Darah Kiwung berdesir. Ludahnya seakan sulit ia telan. Ada degup tak berirama dalam dada yang sengaja ia tahan. Pengawal akhirnya membawa dua cermin yang serupa itu ke hadapan raja. Empat cermin yang sama telah berdiri di antara para saksi tim penguji. Satu di antaranya telah pecah. Mata mereka nyalang. Ada yang berani membuat duplikat benda pusaka yang sangat ditakuti.

“Pengawal, hancurkan keempat cermin ini dengan pedang kalian.”

Tak butuh waktu lama sampai keempat cermin itu hancur berkeping-keping termasuk kayu berukir batik yang membingkainya. Dada Kiwung makin panas. Napas Bongoh yang memburu berusaha ia pelankan. Entah kenapa pikirannya terus saja tertuju pada ibunya yang renta di rumah.

“Belum jadi prajurit saja sudah curang. Bagaimana nanti setelahnya? Tidak semuanya bisa kau akali, termasuk kedekatanmu dengan Kiwung dan dengan cermin ini anak muda. Tanpa cermin ini pun, aku tahu mana yang berniat mengabdi pada kerajaan atau hanya berkeinginan menjadi keluarga kerajaan demi menikmati segala kemewahan di dalamnya.  Tak perlu bertanya aku tahu dari mana. Pemimpin yang baik adalah yang tahu keadaan rakyatnya. Ia bisa melebur bersama mereka. Andai kalian tahu, beban berat selalu ditimpa ke pundakku. Bukankah aku pernah berkata padamu Kiwung, kejujuran akan selalu menemukan jalannya sendiri meski dalam sunyi. Betapapun kau menutupinya, ia selalu menemukan caranya sendiri demi mengungkap kebenaran. Kiwung, berapa keping emas yang kauterima dari Bongoh agar ia lolos dari tes sebelumnya?”

Kiwung langsung menunduk. Gegas meluruhkan kedua lututnya tepat di hadapan raja. Sudut matanya tetiba mengalirkan bulir kesedihannya. Namun, ia tak berucap apa-apa. Buru-buru ia merebahkan tubuhnya, bersujud di kaki raja Dewandaru yang agung.

“Bangkitlah Kiwung. Dusta tak akan hilang dengan kata maaf. Pengawal, bawa Kiwung dan sahabatnya ke hutan pengasingan beserta keluarganya. Didik dan gembleng mereka agar bisa menghormati arti kejujuran dan buah dari kerja keras. Aku ingin setelah ini, tim penguji yang menerima bagian keping emas dari Kiwung agar diperlakukan sama dengannya. Mengerti?”

Raja Dewandaru lalu mengacungkan tangan. Memberi kode agar beling dan kayu yang berserakan segera dibersihkan. Di hadapan raja, tersisa satu orang yang sedari tadi menatap kebingungan. Tejo masih tak paham dengan apa yang baru saja ia saksikan. Di depan pintu keluar, saat pengawal menggiringnya, Kiwung melihat wajah raja Dewandaru yang agung dengan raut nanar, penuh penyesalan. Kepercayaan yang raja Dewandaru berikan untuknya lenyap seketika ketika persekongkolannya dengan Bongoh terendus.

Bahu Tejo tiba-tiba ditepuk. Raja Dewandaru memijat lembut pundaknya. Tatap empat pasang mata yang teduh seolah mengisyaratkan jika Tejo diterima jadi prajurit kerajaan. Dan benar saja, ketika gulungan kain hitam itu ia berikan ke tangan Tejo, dengan hati yang bergetar, ia menerimanya dengan sukacita. Baju surjan dan blangkon yang sedari tadi dibawa pengawal di samping raja, oleh raja Dewandaru, pakaian khas kerajaan di atas nampan itu ia pakaikan ke tubuh Tejo yang masih saja berkeringat. Dalam tubuh yang kurus, ia terlihat berwibawa ketika pakaian itu telah dikenakannya.

“Mohon maaf Paduka Raja, bukankah saya belum melewati tes yang terakhir?”

“Ketika seseorang telah menemukan celah kelemahan dari Pengilon Kembar, aku merasa harus mengganti alat penguji kejujuran itu. Nanti akan aku musyawarahkan dengan dewan penasihat. Pulanglah. Bawa orangtua dan saudaramu ke sini dan tinggalah di istana. Kamu akan dilatih memakai pedang dan tombak selama enam bulan karantina. Semoga baktimu bermanfaat bagi rakyat dan seluruh wilayah kerajaan.”

“Mohon maaf Paduka Raja. Saya tidak punya saudara dan orangtua. Di rumah hanya ada kakek yang merawatku sejak kecil. Bolehkah aku membawa beliau ke sini?”

Raja Dewandaru mengangguk. Matanya memerah. Tersimpan rasa terenyuh. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Dan ketika Tejo berpamit pulang, raja Dewandaru menyuruh para penasihat dan tim penguji untuk segera meninggalkannya sendiri. Seperti yang sudah-sudah, dalam dengung suara yang hanya didengar desau angin, ia kembali melekatkan kedua tangannya di dada, merapal mantra. Perlahan, dari kepalanya muncul dua antena yang melengkung. Kedua punggungnya mencuatkan dua sayap warna biru tua dengan totol-totol kuning berjajar di tepinya. Tubuhnya lagi-lagi menyusut. Ia terbang melewati celah jendela pendopo rahasia. Perlahan hinggap di antara bunga-bunga kenikir di taman depan istana. Ia masih setia mengawasi Tejo yang berpamitan pada dua penjaga di depan gerbang istana. Lalu gegas mengepakkan lagi sayapnya yang cantik.

Di bawah langit kebiruan dengan gumpalan putih yang berundak-undak, ia terus saja mengikuti langkah kaki Tejo yang sedikit tergesa menuju arah pulang. Dan di bawah langit yang seolah sedang dipahat, dalam rasa cemas penuh harap, ia sempat bergumam perlahan dalam raut kesedihan, “Duh Gusti Pangeran, aku tak tahu sepeninggalku nanti apakah masih tersisa orang jujur di kerajaanku?”

 

Biodata Penulis:

Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.

 

Ilustrator

Wildan Ridho Sajali. Lahir pada tanggal 29 Agustus 1990. Tinggal Sidomulyo RT 2 RW10 Sumberwaru Banyuputih. Kreator @sibaball.

Cerpen: Pengilon Kembar Cerpen: Pengilon Kembar Reviewed by takanta on Juli 16, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar