Cerpen : Bicara Karya Uwan Urwan

Oleh : Uwan Urwan
Sekarang sudah pukul 11:32 pm. Tahu apa artinya ini? Tengah malam? Iya benar—hampir. Ini sudah hampir tengah malam dan aku sedang muak mendengarkan radio yang pembawa acaranya terlalu banyak bicara. Laki-laki. Dia laki-laki dan aku pernah bertemu dengan orangnya dua kali.
Aku mendengarkan siaran yang dinamakan ‘curhat galau’. Nama yang menjijikkan. Sama menjijikkan dengan setiap ucapan yang dilontarkan aneh dan terkesan tidak penting. Sayangnya selama hampir setengah jam lebih aku bertahan mendengar suaranya mati-matian denganearphone warna merah.
Laki-laki itu masih berbicara. Laki-laki itu menggebu-gebu di malam-malam buta. Laki-laki itu masih punya banyak tenaga di malam-malam seperti ini. mungkin sudah bertahun-tahun dia begini. Aku tidak tahu. Aku baru kebosanan di dalam kamar karena menunggu kantuk. Kantuk tak datang-datang juga.
Laki-laki itu masih banyak berbicara. Laki-laki itu terus berbicara dengan bahasa yang aneh, menurutku. Aku muak dengan laki-laki itu karena masih saja berbicara dan mengganggu telingaku. Dan sayangnya aku tidak memindah chanel di saluran yang lain. Aku masih bertahan dengan kemuakan suara laki-laki itu.
Aku benci karena dia masih berbicara tidak penting. Dia berbicara tentang cinta yang menurutku dia tak mengerti tentang cinta. Dia berbicara tentang perasaan yang sama sekali dia tidak merasakan. Dia berbicara tentang solusi yang sebenarnya menyalahkan solusi itu sendiri. Dia berbicara dan terus berbicara.
Aku tahu laki-laki itu. Dia munafik. Dia berbicara tentang halal dan haram. Dia berbicara tentang perkawinan. Dia berbicara tentang mantan pacar yang beristri. Dia masih saja berbicara. Aku bosan. Aku muak. Aku benci suaranya karena masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi sayangnya aku tidak memindah chanel. Aku masih bertahan dengan suaranya yang memuakkan itu.
Tidak hanya laki-laki itu yang suka berbicara. Banyak orag juga suka berbicara. Ibuku suka berbicara panjang lebar. Saudaraku juga suka berbicara panjang lebar. Tetanggaku suka berbicara tentang tetangganya. Mereka bergosip sesama ibu-ibu. Lalu menanggapi dengan panjang lebar dengan ekspresi yang dibuat-buat. Teman-temanku juga suka berbicara. Mereka suka sekali menasehatiku. Mereka juga sering menceramahiku seolah-olah aku adalah binatang bodoh yang berak sembarangan.
Banyak orang yang suka berbicara. Semua orang suka berbicara panjang lebar. Semua orang suka berbicara hal tidak penting. Semua orang suka berbicara dengan orang tidak dikenal. Semua orang ingin berbicara panjang lebar.
Kecuali aku yang tidak bisa berbicara panjang lebar. Aku tidak bisa berbicara banyak dengan orang lain. Aku tidak bisa menanggapi pembicaraan orang lain dengan baik. Aku bodoh. Aku merasa bodoh sendiri.
Aku ingin bisa berbicara seperti mereka. Seperti kebanyakan orang yang bisa meraup uang banyak karena bisa berbicara. Banyak orang yang bahagia karena mereka bisa berbicara. Mereka melakukan promosi kepada orang lain. mereka mempromosikan dirinya untuk dirinya sendiri. Aku juga ingin.
Aku muak! Aku benci! Aku hanya seonggok tahi kucing besar yang bau. Semua orang menjauh. Semua orang tidak ingin dekat-dekat. Mereka bahkan mengambil sekrup lalu disekrup setumpuk pasir dan ditindih di atas tubuhku. Hilang sudah bau yang mengganggu hidung mereka. Aku juga bukan pemandangan yang elok. Aku membuat mereka tidak nafsu makan.
Aku tidak bisu. Aku hanya tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang kupikirkan. Apa itu salah? Dan hampir semua orang yang kuajak berbicara selalu salah prasangka. Semua orang yang aku ajak bicara selalu mengartikan lain. Untuk itulah aku diam. Aku memilih untuk diam daripada membuat orang salah paham.
Aku muak karena laki-laki itu masih saja berbicara. Aku muak karena acaranya belum berakhir. Tapi sayangnya aku tidak mengganti chanel. Aku masih bertahan dengan suara laki-laki yang memuakkan itu. Lalu aku berpikir, siapakah yang munafik? Aku? Atau laki-laki yang masih saja berbicara di radio itu.
Menjijikkan! Siapa yang menjijikkan? Entah. Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menjawab apapun dan siapapun.
Aku benci dengan orang-orang yang pandai bercakap-cakap. Aku benci dengan mbak-mbak atau mas-mas MLM saat mereka mempresentasikan produk mereka kepadaku dengan panjang lebar dan membuat hatiku terketuk untuk bergabung dengan MLM yang mereka geluti.
Aku muak dengan petugas bank yang bisa menjelaskan dengan panjang lebar ketika aku menanyakan hal kecil. Aku pernah bertanya tentang bagaimana cara berinvestasi—camkan itu, aku hanya bertanya. Lalu mereka mengeluarkan selembar kertas sambil mencorat-coret dan menjelaskan dengan rinci segala hal yang diketahuinya. Belum lagi senyumya selalu menawan—perempuan. Tidak hanya mengeluarkan kertas, tapi dia juga mencatat namaku beserta nomor ponselku. Lalu mereka membuat rincian perencanaan masa depan untukku 20 tahun ke depan. Setelah beberapa minggu petugas bank itu menghubungiku lewat ponsel dan bertanya kapan aku akan mulai berinvestasi. Dan tidak hanya sekali, lebih dari dua kali. Lalu terakhir aku menjelaskan kalau aku tidak punya penghasilan untuk berinvestasi dan ternyata itulah akhir dari hubunganku dengan petugas bank itu. Dia tidak lagi ingin berhubungan denganku karena masa depan yang suram.
Aku cemburu dengan para SPG di mall-mall yang dengan manis mempromosikan produk mereka. Ada pakaian, sepatu, perabotan rumah tangga dan banyak lagi.
Aku benci. Aku tidak bisa berbicara seperti mereka. Aku benci dengan para motivator. Aku benci dengan para penyiar radio. Aku benci dengan semua orang yang senang berbicara. Ingin sekali kumasukkan tiang listrik di dalam mulut mereka ketika berbicara.
Aku satu-satunya orang yang kesulitan berbicara. Aku bodoh. Dan orang yang tidak bisa berbicara tidak akan pernah bisa sukses. Tidak bisa meraup kekayaan. Tidak bisa mendapatkan wanita jelek apalagi yang cantik. Tidak bisa mendapatkan kenyamanan hidup.
Dan aku salah seorang yang tidak bisa berbicara.
Kantukku belum juga datang. Tapi aku sudah kepalang muak. Aku gatal-gatal karena acara radio itu masih berlangsung dan suara laki-laki itu meracuni sarafku. Tapi aku akan berusaha tidur karena dengan tidur aku tidak akan bicara. Aku juga tidak akan berpikir. Aku akan berhenti merasa muak. Sekaligus aku juga akan berhenti menyalahkan diriku.
Tapi aku tidak bisa tidur. Aku cacat. []
Situbondo, 21012013—00:07
___

Cerpen : Bicara Karya Uwan Urwan Cerpen : Bicara Karya Uwan Urwan Reviewed by Takanta ID on Juli 02, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar