Surat tentang Salju Abadi



Hari ini tertanggal 9 Juni 2050, sinar matahari telah menyelinap masuk melalui jendela kamar hingga menyentuh wajah. Suara alarm tak henti-hentinya berdering menunjukkan pukul 9 pagi. Laki-laki itu terbangun dari tidur dan mimpi yang telah dilewatinya sepanjang malam. 


Drenggg... dreengg... drengggg....

Dengan setengah sadar ia menggosok-gosok mata lalu mematikan suara alarm di sampingnya. Laki-laki itu mencoba bangun dengan badan yang masih terasa kesemutan pada bagian-bagian tertentu karena pekerjaan tambahan sebagai karyawan kantor dan tentunya sangat menjengkelkan.
Ia melihat pada meja kecil di samping tempat tidur yang di atasnya tergeletak beberapa suvenir lampu tidur dan tentunya jam berbentuk minion yang mengeluarkan suara sehingga membuatnya terbangun. Sesuatu yang aneh juga tergeletak bersama suvenir dan jam minion, sebuah surat yang masih tertutup rapat dengan amplop berwarna putih kekuningan seperti kertas tua dalam buku klasik.
Siapa yang mengirim dan menaruh surat itu di sana?” pikirnya.
Diambilnya surat tersebut. Ia bolak-balik serta memperhatikan sisi-sisinya. Terlihat sebuah tulisan bersambung pada permukaan surat yang tertulis:
Untuk siapa pun yang menemukannya, 09 Juni 1999, puncak Cartenz.
Yang tadinya ia masih terlihat mengantuk, tiba-tiba bola matanya seakan ingin meloncat keluar dari tempatnya, kaget bukan kepalang, laki-laki itu melihat tulisan yang tertulis dengan rapi di bagian sampul surat. Dengan jari tangan gemetar ia membuka surat itu perlahan-lahan karena takut merusak isi di dalam surat tersebut, terlihat sebuah secarik kertas berwarna sama seperti sampulnya dan kemudian ditariknya keluar dengan sangat hati-hati. Ia membuka secarik kertas yang masih dalam kondisi terlipat dan dilihatnya tulisan yang menempel pada secarik kertas itu dengan warna hitam lusuh. Lantas ia mulai membacanya:
“Namaku Salvador Dali. Surat ini kutulis di salah satu atap dunia tepatnya di salah satu puncak pegunungan Jayawijaya di Papua. Orang memanggilnya Puncak Cartenz atau menurut bahasa orang Indonesia Puncak Piramid. Seperti yang sudah kutuliskan di sampul surat, aku menulis surat ini pada hari Rabu, tanggal 9 Juni 1999 di Puncak Cartenz. Aku tujukan surat ini pada siapa pun yang menemukannya. Tak banyak yang ingin aku bicarakan dalam surat ini, aku hanya ingin menyampaikan  betapa indahnya Puncak Cartenz dengan lapisan gletser yang menyelimuti sebagian puncaknya sehingga membuat udara terasa sangat dingin dan membuat gigi terkatup-katup dengan sendirinya. Juga tebing-tebing yang berdiri tegak bersama kabut yang berarak menambah keindahan Puncak Cartenz. Aku berharap siapa saja yang membaca surat ini juga merasakan keindahan yang telah aku rasakan.”
Setelah membaca surat itu, ia merasa heran dan kembali bertanya kepada dirinya sendiri, Dari mana datangnya surat ini? Siapakah kiranya yang menempatnya di atas meja?”
Dalam rumah kecil itu, tak ada ada orang lain selain hanya dirinya. Sehingga ia terus saja bertanya kepada dirinya sendiri. Lagi dan lagi.
Apa mungkin surat ini dikirim orang yang sengaja mengerjaiku? Atau apakah surat ini dikirimkan oleh sesosok malaikat yang turun dari langit dan menaruhnya di atas meja di samping tempat tidurku itu?
Yang membuat laki-laki itu semakin bingung adalah kenapa harus ia yang menerima surat itu, seorang pegawai perusahaan pembangkit listrik tenaga uap, kenapa tidak anak-anak kampus yang menyebut dirinya sebagai pencinta alam, atau kenapa bukan para penyair yang selalu melukiskan keindahan dengan sebuah kata?
Dengan perasaan kebingungan dan kepala yang penuh dengan tanda tanya, ia masukkan kembali kertas itu ke dalam amplop tadi dan membiarkannya seperti sedia kala. Kemudian ia bangkit dari tempat tidur, meninggalkan alarm sialan itu dan melakukan ritual hari libur yang seperti biasa ia lakukan ketika hari minggu tiba; membuat kopi panas lalu bermalas-malasan di atas sofa sambil melihat dan mendengarkan berita di TV.
Laki-laki itu duduk sambil menyandarkan badan di atas sofa empuk produk terbaik di tahun itu, merk Memorable. Di depannya tampak sebuah layar TV dengan ukuran 100 inch. Laki-laki itu mulai melihat dan mendengarkan berita pagi yang muncul di hadapannya.
Pemirsa, salju abadi di puncak pegunungan Jaya Wijaya telah mencair dan tidak menyisakan sebutir pun salju, berikut beritanya.
Dalam berita tersebut menjelaskan bagaimana keadaan puncak Jaya Wijaya yang telah kehilangan salju abadi yang menyelimuti puncaknya.
Sangat ironi, bukan? Peristiwa-peristiwa silih berganti; terjadi dari kebakaran hutan, kekeringan, es di kutub utara mencair dan yang pasti puncak Jaya Wijaya telah kehilangan salju abadi sekian paruh waktu menyelimutinya. Belum lagi berita-berita dengan jumlah penduduk yang kian padat atau pembukaan hutan untuk dijadikan lahan indrustri pabrik dan berita tentang hewan-hewan liar yang kebingungan mencari tempat tinggal.
“2050, sejarah akan menulisnya yang entah apa judulnya,” kata laki-laki itu.
Dimatikan TV tersebut lalu ia kembali menghampiri surat yang telah di bacanya tadi.
Surat ini harus aku apakan?”
Dengan perasaan untuk menghormati orang yang telah menulis surat tersebut, laki-laki itu memutuskan untuk membalasnya walau ia tahu orang yang menulis surat tersebut telah lama mati.
Puncak Cartenz, koordinat : 04 ° 04′44 ″ S 137 ° 9′30 ″ E.
Salvador Dali, aku telah membaca surat yang kamu tuliskan. Tapi sayang, aku membacanya di tahun 2050 di mana di TV memberitakan tentang salju abadi di Puncak Cartenz atau Puncak Jaya Wijaya telah hilang. Dan asal engkau tahu itu hanya satu dari berbagai macam peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2050. Mungkin jika kau melihatnya,  kau akan bertanya  apa yang telah dilakukan manusia sepanjang perjalanan sejarah sehingga bumi seakan tak layak huni lagi. Di dunia mana pun sekarang kau berada, semoga kau menerima suratku ini. Jika surat ini tidak sampai kepadamu, setidaknya surat ini akan sampai bersama tukang pos di Puncak Cartenz di mana salju abadi pernah ada dan yang pasti kenangan tentang salju abadi akan tetap menjadi abadi.
AX – Manusia terakhir di muka bumi. (*)
Situbondo, 29 Juli 2020.
Alex, lahir di Situbondo. Saat ini masih sibuk dengan kesepian.

Surat tentang Salju Abadi Surat tentang Salju Abadi Reviewed by takanta on Agustus 02, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar