Kekerasan Budaya Pasca 1965

Dokumentasi Diskusi Kekerasan Budaya Pasca 1965
Oleh : Sutrisno
Dalam sejarah konstelasi politik internasional tidak dapat dipisahkan dari pertarungan dua blok besar di dunia, yaitu blok komunis sosialis dengan blok kapitalis. Baik ketika perang dunia I maupun II, bahkan sampai pada awal 1960an sampai 1970an yang disebut dengan perang dingin atau clash of civilication (perang kebudayaan atau peradaban). Dari semua pertarungan ini, tujuannya ialah untuk mengembangkan dan melaksanakan gagasan atau teori masing masing tentang politik, ekonomi dan sosial.
Indonesia sebagai negara ketiga (negara berkembang), juga dijadikan lapangan pertarungan dua blok besar tersebut, puncaknya pada 1965 sampai 1966 sebagai momentum penghancuran ideologi komunisme yang pernah berkembang selama hampir setengah abad itu. Dengan demikian kemenangan telah berpihak kepada kelompok anti komunis (kapitalis dan kroni-kroninya).
Dimulai pada malam 30 septempber 1965 sekolompok tentara, yang sebagian besarnya anggota pasukan pengawal presiden Cakrabirawa yang dipimpin oleh Kolenel Untung melancarkan operasi militer dengan menculik 7 pemimpin senior Angkatan Darat, seperti Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan dan S. Parman. Ketujuh korban penculikan tersebut akhirnya dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam lubang di daerah timur Jakarta, yang kemudian dikenal dengan nama lubang  buaya. Gerakan 30 September ini diinterpretasi oleh Angkatan Darat sebagai usaha kup atau kudeta terhadap pemerintah. Diantara para pemimpin Angkatan Darat yang tidak menjadi target penculikan Untung dan kelompoknya adalah Jendral Soeharto, komandan KOSTRAD (Komando cadangan strategis angkatan darat). Pada tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan membuat pernyataan bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh D.N Aidit berada di belakang operasi Untung dengan didukung oleh Angkatan Udara. Dalam waktu singkat, sejak 2 oktober 1965 Angkatan Darat yang di pimpin Soeharto melancarkan kampanye kekerasan terhadap PKI yang mengakibatkan jutaan orang dibunuh, hilang dan ditahan. Pembunuhan massal inilah yang kemudian membawa Soeharto naik ke tampuk kekuasaannya selama 32 tahun.
Selama memimpin Pemerintahan Orde Baru, Soeharto dan agen-agen kebudayaannya mempromosikan ideologi anti komunisme, seperti ideologi negara, museum, monumen, agama, buku-buku pegangan siswa, film, ideologi kebudayaan dan karya sastra. Salah satu contoh, menurut orde baru dalam buku G 30 S / PKI yang ditulis oleh Arswendo, sampai dengan proklamasi kemerdekaan, anggota PKI tidak pernah kelihatan andil dalam peristiwa tonggak suci kemenangan bangsa Indonesia. Buku ini jelas menafikan kenyataan bahwa PKI adalah partai politik pertama yang mengusung nama “Indonesia” dan melakukan perlawanan secara terbuka pada 1926. Orde Baru juga menyebut bahwa percobaan kup itu adalah 30 September yang didalangi oleh PKI, padahal Soekarno menyebut peristiwa itu dengan nama “Gestok”(Gerakan 1 Oktober), dimana terjadi kup terhadap pemerintahan yang dipimpin Soekarno oleh Soeharto. Dalam  Produk budaya di atas sebagai instrumen untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok komunis dan aliran politik sayap kiri. Selain versi Orde Baru, ideologi kebudayaan liberalisme atau yang dikenal dengan humanisme universal juga berperan penting dalam membentuk paham anti komunisme.  
Liberalisme atau humanisme universal dalam konteks di Indonesia dalam kebudayaan dipakai untuk gerakan kebudayaan yang berorientasi pada barat, seperti kebebasan intelektual, kebebasan berekspresi dan lain-lain. Dalam pengertian politik, liberalisme merujuk pada gerakan elemen-elemen sayap kanan untuk melawan komunisme. Dalam pengertian ekonomi atau neoliberalisme digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep ekonomi pasar besbas, fundamentalisme pasar, perdagangan bebas dan sejenisnya.
Kedua subyek ini, yaitu ideologi liberalisme dan versi resmi pemerintah orde baru tentang peristiwa 1965 ialah sebagai salah satu propaganda yang bertanggung jawab dalam menjustifikasi penghancuran komunisme, yang pada gilirannya komunisme dipandang sebagai musuh utama negara, baik dalam praktek politik maupun budaya. Akibat dari ini, kekerasan yang dialami oleh kaum yang dituduh komunis pada 1965-1966 dapat diterima sebagai sesuatu yang lumrah dan mudah dilupakan. Tidak hanya itu tetapi juga untuk mendorong kebudayan yang berorientasi pada barat, disinilah erat kaitannya dengan kepentingan politik ekonomi jangka panjang barat, khususnya Amerika Serikat.
Peran Amerika yang paling urgen diterapkan sebagai perlawanan terhadap Komunisme di Indonesia ialah melalui jalur kebudayaan, pendidikan dan penelitian. Seperti halnya yang dilancarkan CCF (Central for Cultural Freedom) yang didonori oleh ford fondation dan rockefeller fondation, CCF juga dimotori oleh CIA. Yayasan-yayasan raksasa ini dengan kegiatan kebudayaan yang membawa misi politik luar negeri AS. Selain dari itu, Amerika berkolaborasi dengan simpatisan intelektual pro barat  yang ada di Indonesia. Pada 1951 Sumitro menjalin hubungan dengan institusi pendidikan di AS, yaitu sekitar 900 mahasiswa Indonesia menerima beasiswa untuk pelatihan tekhnik di AS, dengan harapan  kelak mereka dapat mempelajari dan  mengimplementasikan doktrin ekonomi barat di Indonesia. Amerika Serikat dan agen kebudayaannya mendistribusi ribuan karya fiksi dan non fiksi seperti buku-buku ilmu sosial dan politik ke perpustakaan dan universitas yang ada di Indonesia. Di indonesia sendiri beberapa agen kebudayaan anti komunisme seperti KUK (Komunitas Utan Kayu) pimpinan Goenawan Muhammad.
Kepentingan AS dan negara Kapitalis lainnya setidaknya dipengaruhi 2 faktor dalam menguasai perekonomian Indonesia dengan membasmi komunisme. Pertama, kesadaran mereka tentang kekayaan alam Indonesia yang berpengaruh pada kepentingan strategis AS (misalnya, Indonesia saat itu berpotensi memproduksi 20 milyar barel minyak). Kedua, Kekhawatiran mereka terhadap pesatnya pertumbuhan PKI sejak 1950.
Dari berbagai argument di atas antara ideologi liberalisme dan pemerintah Orde Baru telah cukup berpengaruh untuk membentuk ideologi anti komunisme bagi masyarakat di Indonesia.
Pada dasarnya, peristiwa 30 September 1965 dijadikan momentum oleh yang berkepentingan (yaitu kelompok kapitalis seperti Amerika dan kelompok sayap kanan di Indonesia) untuk memporak-porandakan komunisme dan ide-ide kiri di Indonesia dalam melanggengkan kekuasaannya. Padahal, fakta sejarah yang selama ini ditampilkan dihadapan publik masih diragukan kebenarannya. Wijaya Herlambang mengutip pendapat Mary Zurbuchen mengatakan, setidaknya ada lima skenario tentang peristiwa 1965. Pertama, pembunuhan terhadap para jenderal dipercaya seluruhnya dilakukan oleh PKI dan simpatisannya. Kedua, percobaan kup adalah hasil dari pertarungan internal angkatan bersenjata (konflik militer). Ketiga,  Jenderal Soeharto adalah pelaku sebenarnya atau paling tidak, memengaruhi memanipulasi dan mengaburkan pembunuhan para jenderal dengan kepentingannya sendiri. Keempat,  Presiden Soekarno memberi ijin para perwira yang terkucil, untuk bertindak melawan kolega mereka sendiri yang disebut sebagai dewan jenderal. Kelima, koperasi intelijen asing terlibat di dalam percobaan untuk menggulingkan Soekarno yang condong ke kiri, dari peranannya yang sangat berpengaruh di Indonesia dan di negara-negara dunia ketiga. Dari sini sebenarnya versi orde baru tidak dapat dilihat secara mutlak, namun juga mengimplikasikan pengertian bahwa cerita yang sebenarnya tentang peristiwa 1965 tidak dapat disimpulkan secara penuh.  
Bagaimanapun ideologi komunisme, sebagaiana rezim politik apapun juga berpotensi menjadi rezim yang represif seperti terbukti di banyak negara lain. Namun penting diingat adalah peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 tetap merupakan tragedi kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia yang dibenarkan atau dilegitimasi oleh penguasa Orde Baru dengan berbagai cara.
___
Disampaikan dalam diskusi buku Kekerasan Budaya Pasca 1965, 30 September 2017 di Rumah Baca Damar Aksara, Kampung Langai – Situbondo.
Kekerasan Budaya Pasca 1965 Kekerasan Budaya Pasca 1965 Reviewed by Takanta ID on Oktober 01, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar