Sudahi Tengkarnya, Baluran Butuh Kita

Penulis: Nurul Fatta* 


Suatu sore di lantai 12 sebuah gedung di Jakarta, aku sedang ngobrol santai dengan seorang kawan, sebut saja R — seorang pejabat yang cukup sering pulang-pergi Bali karena mertuanya berasal dari sana.

"Bang, sering ke Bali kan, pernah mampir ke Situbondo nggak?" tanyaku.

"Gak pernah sih, Bro. Menurut gue, Situbondo tuh nggak ada added value-nya. Cuma kota santri doang, nggak ada yang bikin gue pengen berhenti di situ. Jadi kalau ke Bali ya langsung aja ke Bali," jawabnya.

"Tapi pernah mampir ke Baluran?"

"Ya pernah, Bro. Sekali doang."

"Itu kan Situbondo, Bang?"

"Bukannya itu Banyuwangi?"

"Situbondo, Bang. Banyuwangi berhasil nge-branding TN Baluran karena mereka punya kepekaan kolektif pemerintah dan masyarakatnya. Sehingga TN Baluran bahkan masuk ke dalam paket wisata mereka."

Sebagai anak yang lahir di kampung kecil lereng Baluran, aku tidak merasa insecure. Aku tidak malu mengakui bahwa Baluran adalah bagian dari identitasku. Bahkan, pernah juga suatu ketika, aku berdebat dengan kawan asal Banyuwangi, saling membanggakan kabupaten masing-masing.

Dia membandingkan perbatasan Situbondo dan Banyuwangi dengan Nogales — kota perbatasan antara Amerika Serikat dan Meksiko — sebagaimana dikisahkan dalam Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson.

Nogales di Arizona dan Nogales di Sonora itu secara geografis satu wilayah, satu kultur, tapi beda nasib.

Menurut kawanku, begitu pula nasib daerah perbatasan Situbondo dan Banyuwangi, secara budaya mirip, tapi secara ekonomi dan pembangunan jauh berbeda. Banyuwangi jauh lebih melesat.

Tapi aku tetap tak berhenti mempertahankan pendapatku.

Aku membela kampung halamanku, bukan karena ada keuntungan pribadi — bukan karena faktor ekonomi, bukan karena fasilitas — tapi karena identitas. Karena di sanalah aku dilahirkan dan dibesarkan.

Meski kini aku terbiasa bergumul di tengah elit Jakarta, aku tetap terikat dengan tanah kelahiran. Tetap merasa punya utang moral pada kampungku sendiri, bahwa aku adalah anak kampung.

Sebenarnya, yang memicu ingatanku tentang obrolan yang sudah tiga tahun lalu itu wacana yang dilempar ke publik oleh Bupati Situbondo, Mas Rio, tentang pembuatan kecamatan baru di kawasan Baluran.

Wacana ini, menurutku, bukan sekadar soal administrasi. Tapi soal memberi tantangan kepada masyarakat Situbondo, khususnya anak-anak mudanya.

Kita tahu, selama bertahun-tahun, Banyuwangi berhasil memanfaatkan momentum. Pemerintahnya, masyarakatnya, bahkan anak-anak mudanya, begitu kompak membangun citra daerah mereka.

Baluran memang secara administratif masuk Situbondo. Tapi dalam praktik pariwisata, Banyuwangi dengan cerdik memasukkan Baluran ke dalam paket wisatanya.

Narasi di sosial media juga sering membingungkan, banyak yang mengira Baluran adalah bagian dari Banyuwangi.

Tapi menariknya, ketika isu Baluran mencuat, masyarakat Banyuwangi tidak sibuk mati-matian mempertahankan Baluran. Mereka justru dengan percaya diri membela Kabupaten mereka sendiri — bahwa Banyuwangi tetap unggul, tetap maju, dan tetap menjadi destinasi wisata utama, meskipun tanpa Baluran.

Di sinilah letak rasa bangga mereka. Mereka membela kabupatennya, bukan sekadar satu objek wisata. Mereka tahu, identitas dan rasa cinta daerah tidak hanya ditentukan oleh satu tempat saja.

Sebagai anak muda Situbondo, aku mendukung langkah ini.  Baluran bukan sekadar soal potensi ekonomi wisata. Baluran adalah soal identitas. Identitas yang selama ini, perlahan-lahan, mulai digerus narasi pihak luar yang lebih gencar membangun citra mereka sendiri.

Yang aku sesalkan, sebagian dari kita justru memilih menjadi penonton pesimis. Ada yang berkata, "Saya orang Situbondo, tapi lebih suka tinggal di Banyuwangi, wisatanya lebih maju". Ada pula yang skeptis: "Infrastruktur di Situbondo kan masih kalah jauh."

Narasi-narasi semacam ini, tanpa sadar, justru merusak kebanggaan kolektif kita sendiri. Padahal, kebanggaan itu penting. Bukan untuk sekadar membusungkan dada, tapi untuk membangun tekad bersama bahwa daerah kita juga bisa berkembang—asal kita mau berjuang bersama. Kalau kebanggaan terhadap daerah hanya muncul saat menguntungkan diri sendiri, itu namanya oportunisme, bukan rasa cinta.

Pemerintah baru tentu belum sempurna. Tapi jika ada terobosan, mengapa tidak kita dukung dulu? Kalau kita sendiri terus mencaci maki, kapan Situbondo akan maju?

Di sinilah letak tantangan kita, anak-anak muda Situbondo. Bisakah kita belajar dari mereka — bukan untuk meniru, tapi untuk menemukan caranya sendiri membela potensi daerahnya?

Karena ironisnya, di saat masyarakat Banyuwangi kompak membela identitas mereka, justru sebagian anak muda Situbondo sibuk mencaci, skeptis, dan merasa pesimis terhadap kampung halamannya sendiri.

Serba salah memang. Saat dulu pemerintah tidak serius mengurus dan memanfaatkan Baluran, kita mengkritik. Tapi ketika hari ini ada upaya untuk merebut kembali identitas itu, kita masih juga skeptis dan pesimis.

Jangan-jangan masalah utamanya bukan cuma di pemerintah. Tapi juga di mentalitas kita sendiri, masyarakat dan anak mudanya. Kita kehilangan rasa bangga.

Padahal, rasa bangga itu mestinya tidak tergantung pada fasilitas atau jumlah hotel berbintang. Rasa bangga itu soal keberanian mencintai kampung halaman, meski penuh keterbatasan. Soal berani membangun narasi positif, bukan menebar caci-maki.

Jangan cuma bisa mengeluh di sosial media. Mari kita buktikan bahwa Situbondo juga bisa! Karena perubahan itu lahir dari anak-anak muda yang memilih untuk mencintai, bukan mencaci.

Kita tidak sedang berlomba dengan Banyuwangi atau kabupaten lain. Kita hanya sedang membuktikan pada diri sendiri, bahwa tanah tempat kita lahir layak kita perjuangkan. Baluran butuh kita. Situbondo butuh kita.

__

*) Penulis merupakan konsultan politik. Anak muda Situbondo yang tinggal di Jakarta.

**) Editor: Hans.

 


Sudahi Tengkarnya, Baluran Butuh Kita Sudahi Tengkarnya, Baluran Butuh Kita Reviewed by takanta on April 28, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar