Cerpen - Hari Libur


Apa yang lebih menyenangkan selain berlibur? Anggap saja tidak ada. Apa yang paling membuat tidak sabaran selain menunggu liburan? Anggap juga tidak ada. Apa yang membuat orang-orang mencoret kalender, mendaftar tempat-tempat wisata untuk dikunjungi, memesan tiket untuk melakukan perjalanan, berkunjung ke saudara, teman. Atau sekadar menikmati waktu di pantai, di tengah laut, di pegunungan, di luar negeri atau di luar angkasa barangkali, selain untuk berlibur pada saat liburan tiba. Sekali lagi, anggap tidak ada.
Kita hanya butuh libur, semua ingin libur. Libur dari tugas, libur dari masalah—bukan kabur, libur dari kesedihan, libur dari ingatan-ingatan masa lalu. Bahkan, ada yang ingin berlibur dari desakan waktu lalu bermain-main dengan fantasinya. Gila, bukan? Memang, karena dunia dipenuhi hal-hal gila sejak awal.
Oleh : Ahmad Zaidi
“Liburkan sekolah!” Seorang remaja dengan seragam sekolah awut-awutan, tak jelas macam kurikulum yang membikin pusing itu, berdiri paling depan. Pagi itu seluruh siswa berkumpul di halaman sekolah. Kecil saja masalah mereka: ingin libur.
“Ya. Apa susahnya beri kami libur, sehari saja.” Yang lain menimpali dari barisan paling belakang.
“Kami lelah.”
“Tugas menumpuk. Padahal tidak sedikitpun materi yang diajarkan.”
“Ya. Benar!”
Sementara di dalam, para guru tengah melakukan rapat bulanan. Sudah tiga hari gaji mereka belum menampakkan sedikit pun batang nominalnya. Padahal tagihan listrik, telepon, tagihan utang mengejar-ngejar seperti hantu. Tidak siang tidak malam selalu telepon berdering.
“Halo.”
“Benarkah ini Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya?”
“Ya. Benar.”
“Kebetulan sekali. Kami sudah beberapa hari ingin menyampaikan kabar baik ini kepada Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya…”
“Kabar baik? Astaga! Jangan bilang saya menang undian sabun colek.” Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya sumringah, tidak menyangka ia menang undian. Ai, berapa jumlahnya? Sekarang kepalanya dipenuhi bayangan segepok uang atau benda-benda hadiah lainnya.
“Tentu tidak! Kami bukan ingin mengabarkan bahwa Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya menang undian. Tapi, kabar ini jauh lebih menyenangkan dari hal tersebut.” Penelepon menjawab datar.
Senyum Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya tersumpal.
“Katakan. Kabar apa?”
“Begini, terhitung sejak tanggal sekian bulan sekian. Jumlah tagihan yang belum Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya bayar sudah hampir mencapai batas jumlah tagihan yang bisa kami tolerir. Nah, bla..bla..bla,” penelepon menjelaskan situasi dengan penuh perasaan, “Bagaimana, apakah pembayaran akan dilakukan di kantor kami atau orang kami perlu mendatangi kediaman Bapak atau Ibu yang tidak perlu disebut namanya?”
Hening beberapa menit. Tidak ada jawaban.
“Halo..halo.”
“Tut..Tut..Tutt..” Telepon dimatikan.
Maka, seperti itulah kejadian yang dialami para guru. Hal itu terjadi secara berulang, menyesaki pikiran dan menyelinap melaui saraf-saraf motoris. Akibatnya, kegiatan di sekolah diabaikan. Mereka hanya datang untuk mengadakan rapat, lupakan soal mengajar. Toh, siswa bisa mencari materi pelajaran di Google.
Awalnya hanya terjadi di satu sekolah, lama kelamaan diikuti sekolah lain. Awalnya hanya segelintir guru yang merasa tertekan dengan masalah hidupnya, kemudian hampir seluruh guru terkena efek domino yang cepat sekali. Beruntung, kurikulum terbaru—yang spektakuler itu memihak kepada guru. Mereka tidak perlu lagi mengajar, cukup memberikan motivasi dan menyuruh siswanya mencari materi sendiri melalui internet. Metode lama dianggap kuno, tidak efisien, tidak canggih, tidak kreatif. Buang jauh-jauh.
Sejak saat itu, aktifitas sekolah tidak lagi menyenangkan. Masuk kelas-diberi tugas-pulang. Hingga salah satu siswa memberanikan diri meminta libur. Disusul dua orang, tiga orang, ribuan hingga seluruh siswa di setiap daerah melakukan demonstrasi, membentuk Asosiasi Pelajar Indonesia. Mereka jenuh dengan sistem pendidikan. Mereka menuntut libur massal. Apa gunanya kalau sekolah hanya mengerjakan tugas, mengejar nilai, mengejar ijazah yang digadaikan saja tidak bisa? Mereka sadar bahwa ada yang salah dengan pendidikan, yang melahirkan pejabat-pejabat cabul, koruptor, tukang suap dan masih banyak yang tidak perlu disebut.
“Tenang semuanya! Harap tenang.” Ketua Perserikatan Guru memberanikan diri untuk menghentikan tuntutan libur yang telah lama berlangsung. Setelah bosan dengan masalah pribadi, ditambah aksi demonstrasi seluruh siswa, akhirnya para guru sepakat meliburkan sekolah, hingga kapan belum diputuskan. Yang terpenting aksi protes siswa dapat diatasi.
“Jangan dengarkan pria cabul itu, Teman-teman. Lempar!” Rupanya salah seorang demonstran mengenal betul siapa pria yang sedang bicara. Pria yang ketahuan melakukan hubungan gelap dengan salah satu murid perempuannya. Berita sekaligus video perbuatannya tersebar di internet.
“Tunggu! Sesuai kesepakatan Perserikatan Guru. Mulai hari ini sekolah diliburkan hingga batas waktu yang belum ditentukan. Kalian senang? Nah, Bubarlah.”
Mendengar penuturan itu, ketua demonstran membubarkan massa yang semuanya adalah siswa sekolah. “Bubar, Teman-teman. Mulai besok kita libur.”
***
Apakah permasalahan selesai? Tidak! Masalah baru saja dimulai: masalah yang sebenarnya.
Tampaknya ada yang keliru dengan pemahaman orang-orang tentang definisi libur. Tidak hanya siswa, guru, pegawai kantoran, pejabat, pedagang di pasar, sopir, kondektur, tukang becak, dan semua pekerja sedang libur. Disusul ibu-ibu, berhenti dari rutinitasnya, lalu ayah-ayah berhenti dari kewajibannya, anak-anak berhenti bermain. Semua ingin libur. Semua lelah dengan rutinitas, monoton dan membosankan.
Hewan, pepohonan, batuan, udara, bahkan planet dan matahari serta rembulan ingin berlibur. Berhenti sejenak dari rutinitasnya.
Dan, sebelum semua menyadari apa yang terjadi. Seisi semesta terlanjur menjadi gelap. Kosong.
Hari libur telah tiba[…]
____
Tentang Penulis ; Ahmad Zaidi, lahir di Situbondo pada tanggal 19 September. Tinggal di desa Tanjung Pecinan Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo, sebuah desa terpencil di ujung utara Kabupaten Situbondo. Ia mulai menulis sejak SMP dan baru mendalami dunia literasi secara intens pada pertengahan 2015 lalu. Pernah mengenyam pendidikan S1 di STKIP PGRI Situbondo dan lulus pada tahun akademik 2014/2015. Kesehariannya adalah petani hortikultura. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Ahmad Zaidi, E-mail: zaidi.ach@gmail.com.

Cerpen - Hari Libur Cerpen -  Hari Libur Reviewed by takanta on Desember 03, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar