Cerpen - Musim Kawin

Barkah menaruh sejumput tembakau di kertas papir lalu menggulungnya perlahan. Setelah terbentuk Barkah mulai merapikan hasil gulungan dengan cara memilin menggunakan kedua telapak tangannya. Saat gulungan itu dirasa sudah memadat dan kuat, Barkah pun segera menyulut ujung depannya dengan korek api. Lalu dia hisap dalam-dalam lintingan tembakau yang baru dibuatnya itu. Asapnya dia perlahan hembuskan ke udara.
Sudah dua hari ini Barkah memilih untuk melinting tembakau sendiri sebagai bahan hisapnya daripada membeli sebungkus rokok. Hal itu terpaksa dia lakukan karena sudah tak cukup gaji bulanannya untuk dibuat membeli keperluan udutnya itu. Tapi sebagai seorang perokok berat, Barkah tak bisa barang sehari saja tak menghisap rokok. Maka dari itu, dia pilih tembakau yang harganya tak terlalu menguras kantong.
“Yang penting mulut tak terasa kecut.” katanya.
Gajinya sebagai pegawai negeri golongan rendah selama sebulan sudah habis untuk keperluannya sehari-hari ditambah utang-utang pada bank. Hutang yang timbul karena Barkah meminjam untuk keperluan menikah anaknya beberapa tahun lalu. Sampai saat ini hutang itu masih belum lunas. Barkah terpaksa meminjam uang pada bank karena anaknya saat itu ingin pernikahannya diadakan dengan mewah.
Belum lagi akhir-akhir ini Barkah dan istrinya harus menghadiri banyak acara perkawinan sanak famili dan tetangganya. Sesuai dengan tradisi yang di tempat tinggalnya, datang ke acara seperti itu tidaklah sekadar datang biasa. Tamu undangan yang datang harus membawa amplop yang berisikan uang. Bahkan untuk seorang istri atau wanita biasanya juga sambil menjinjing tas yang isinya gula atau beras.
Sebenarnya bisa saja Barkah dan istrinya tak datang ke undangan-undangan perkawinan yang mereka terima, andai saja dirinya belum pernah menggelar hajatan serupa. Sayangnya, dua tahun lalu Barkah baru menikahkan anaknya. Saat itu dia juga mengundang orang-orang untuk datang, dan mereka yang diundang, datang dengan membawa amplop beserta beras, gula dan macam-macam sumbangan lainnya. Jadi bila saat ini datang sebuah undangan padanya, maka Barkah harus mengembalikan sumbangan yang dulu pernah dibawa si pemiliki hajat saat dirinya menggelar hajatan anaknya. Begitulah tradisinya.
“Pak, barusan ibu sudah lihat,” kata Yanti, istri Barkah. “kembalian ibu ke Nanik itu gula lima kilo dan uang tiga puluh ribu.”
Kembalian adalah istilah untuk sumbangan yang dulu pernah dibawa orang saat kita menggelar hajatan dan wajib kita kembalikan saat orang tersebut juga menggelar hajatan serupa. Secara tidak langsung memang sama dengan hutang.
“Ya sudah ini kamu besok beli gula,” kata Barkah sambil menyerahkan beberapa lembar uang pada Yanti.
Itu baru kembalian si istri, belum punya Barkah. Kembalian si Barkah sendiri uang sebesar lima puluh ribu. Itu pun baru satu undangan, belum undangan yang lain. Padahal dalam satu bulan ini saja sudah ada tujuh undangan yang datang pada Barkah. Masing-masing undangan kembaliannya pun berbeda-beda. Seminggu setelah hajatan si Nanik, Barkah dan istrinya juga mesti datang ke undangan hajatan si Ahmad. Ahmad adalah teman baik Barkah di kantor dinas tempat mereka sama-sama bekerja. Hajatan kali ini Ahmad gelar untuk perkawinan anak pertamanya yang empat bulan lalu baru bertunangan.
Sudah Barkah cari di buku catatan sumbangan dan ternyata kembalian miliknya kepada si Ahmad sebesar lima puluh ribu rupiah. Sementara kembalian milik Yanti uang sebesar lima puluh ribu juga dan beras sebanyak lima belas kilogram.
Berapa harga beras satu kilo saat ini?
Barkah tidak tahu berapa, tapi yang pasti dia dan istrinya harus menyerahkan kembalian itu pada si Ahmad sebab itu sudah menjadi kewajiban yang harus dia tunaikan. Tidak bisa ditawar. Maka dia harus merogoh kantongnya, meski sudah mulai menipis.
Tapi dari ketujuh undangan yang datang pada Barkah, kembalian paling besar itu pada si Hanif, sepupu Yanti, istrinya. Hajatan si Hanif, yang menikahkan putri keduanya, sehari setelah hajatan Ahmad.
Dulu di hajatan Barkah, si Hanif memberi sumbangan uang sebesar tiga ratus ribu, dan istri Hanif sendiri menyumbang beras satu kwintal, gula sepuluh kilo, minyak goreng tiga liter, bawang putih lima kilo, dan uang sebesar seratus ribu rupiah. Belum lagi sumbangan rias pengantin darinya. Barkah tak heran jika sumbangan Hanif dan istrinya sebanyak itu, sebab dia adalah sanak familinya sendiri.
“Kita mesti mengambil tabungan, bu,” kata Barkah pada istrinya, “tak mungkin cukup gajiku. Belum lagi kembalian untuk undangan yang lain.”
Bayangkan saja berapa nilai kembalian pada si Hanif jika dirupiahkan. Apalagi rias pengantin sekarang tidak murah. Darimana kalau tidak mengandalkan tabungannya?
“Untung saja aku masih bisa sempat menabung,” syukur Barkah.
Hal itu wajar jika musim kawin seperti ini. Ah, berapa biaya yang harus Barkah keluarkan? Belum lagi untuk keperluan sehari-hari yang tak mungkin dia tinggalkan.
Gaji Barkah sebulan tak bisa diandalkan bila untuk keperluan-keperluan macam ini. Sebagai pegawai negeri golongan rendah, gaji Barkah tidaklah seberapa. Untuk keperluan sehari-hari saja, seperti keperluan pangan, tagihan listrik, arisan, cicilan motor, kredit bank, hanya tersisa sedikit saja. Siapa bilang jadi pegawai negeri enak, pikir Barkah.
Barkah sendiri menjadi pegawai negeri lantaran karena terpaksa. Sebenarnya dia tak punya cita-cita untuk menjadi aparatur negara macam itu. Sejak masih di bangku sekolah, Barkah sudah bercita-cita untuk bekerja di BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta. “Aku pasti kelihatan keren dan gajinya besar pula,” kata Barkah. Namun sayangnya ibu Barkah masih punya pemikiran kolot ‘jadi pegawai negeri itu enak’, dan Barkah pun dipaksa bekerja di instansi pemerintah. Barkah pun terpaksa melepas cita-cita yang dia pendam sejak lama.
Maka saat ini tak ada anak Barkah yang mengikuti jejaknya menjadi pegawai negeri sebab dia melarangnya. Anak pertamanya bekerja di bank swasta, sedangkan anak kedua bekerja di kantor akuntan publik. Sebab dia tak mau anaknya juga punya kehidupan seperti dirinya.
Barkah kadang berpikir, kenapa sarjana-sarjana masa kini masih banyak yang menginginkan menjadi pegawai negeri? Apa mereka juga masih punya pemikiran macam orang-orang dulu? Atau kalau tidak, mereka pasti ingin pekerjaan yang santai tapi dapat uang banyak, hari tua pun bisa dapat pensiunan.
Alhasil beginilah hidupnya sekarang, tidak melarat namun juga tak kaya-kaya amat. Dia juga pernah merasakan bagaimana bingungnya orang saat dililit hutang. Tapi beruntunglah dia pandai mengatur keuangan hingga sekarang dia bisa keluar dari jerat hutang. Meski di musim-musim tertentu, seperti musim kawin sepert ini, kadang dia juga kewalahan mengatur keuangan, hingga harus merelakan memotong jatah uang rokoknya, dan menggantinya dengan tembakau yang dia beli di pojokan terminal.
“Ah, biarlah, yang penting mulut tak berasa kecut, dan terus mengepulkan asap.”
Lagipula, pikir Barkah juga, musim kawin tak selama berlangsung. Jika keuangannya sudah kembali stabil, dia tak perlu mengurangi jatah merokoknya lagi. Tak perlu lagi melinting tembakau seperti saat ini. []
Cerpen - Musim Kawin Cerpen - Musim Kawin Reviewed by takanta on Desember 17, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar