Cerpen - Dunia Silver


Sarimin merasa dirinya berada di cermin. Anehnya, dia melihat tubuhnya sendiri berbaring di tempat tidur yang letaknya persis di depan cermin. Bagaimana dia ada di dalam cermin kamarnya, serta bagaimana bisa melihat tubuhnya sendiri padahal merasa tidak tidur, ia tidak tahu.
Sarimin mengira ini pasti mimpi.

"Aku harus keluar. Kalau tidak, nanti telat," pikirnya mengingat-ingat janji temu dengan Suketi, pacar barunya.
Namun, ketika hendak keluar dengan melompat, kepalanya terbentur. Dikiranya di mimpi, seseorang tidak terluka meski melompat menembus cermin. Ia terpental sampai punggungnya membentur dinding.
Sarimin bangkit dan melihat sekeliling.
Di luar bingkai cermin ini, semua benda berwarna silver, dari mulai lemari tempat cermin itu berada, meja belajar, kursi, jendela, foto-foto, jam, sampai tempat tidur yang kini ia tumpangi. Semua serba silver.
Sarimin pusing tujuh keliling. Dia sadar dia bermimpi, walau aslinya seperti bukan mimpi. Bagaimana mungkin orang tidur, lantas bermimpi, kemudian merasakan sakit di kepala yang menimbulkan benjol? Padahal seharusnya tidak ada rasa sakit di mimpi, apalagi benjol!
"Apes! Kalau kayak gini, gimana aku bisa bangun, dan gimana aku bisa menepati janji sama Suketi?" gerutu Sarimin. Kali ini duduk di kasur. Kasur warna silver yang dia tahu terbentuk dari kasurnya yang ada di alam fana.
Sarimin bangkit dan menghela napas.
Sarimin menggeser tempat tidur silver itu ke samping, ke luar jangkauan cermin, dengan maksud agar tak ada penghalang. Biar bisa lompat lebih jauh dari sebelumnya. Kalau tadi cuma melompat sekadarnya, gara-gara jarak antara kasur dan lemari cermin di dunia fana itu kira-kira cuma setengah meter.
Setelah tempat tidur digeser, siap mengambil ancang-ancang lebih lebar, Sarimin mengintip ke luar bingkai. Betapa kagetnya. Dia tidak menemukan kasur dan tubuhnya yang berbaring di dunia fana. Sarimin bingung.
"Lha, kalau aku melompat sekarang, mungkinkah aku kembali ke tubuh fanaku?"
Sarimin maju beberapa langkah, mengintip ke arah digesernya tempat tidur silver tadi. Dan tentu saja, mengikuti apa yang terjadi di dunia cermin, tempat tidur asli yang ada di dunia fana juga tergeser ke sudut kamar, bersama tubuhnya yang lelap. Sangat jauh dari bingkai cermin. Kalau melompat kali itu juga, dari dunia cermin ke dunia fana, tidak mungkin satu lompatan bisa menjangkau tempat tidur itu.
"Iya kalau balik. Kalau enggak?" Entah kenapa Sarimin berpikir, untuk kembali ke dunia fana, ia harus tepat melompat ke tubuhnya yang sedang tertidur.
Sarimin tidak berani mengambil risiko. Harus pakai cara lain. Ia geser tempat tidur silver ke posisi semula, lalu mengintip dari bingkai. Kasur dan tubuh fananya kembali ke tempat semula.
Yang paling mungkin dilakukan hanya melompat dari atas kasur. Tapi jarak yang sempit, dengan ketinggian kasur yang lumayan, plus tubuh Sarimin yang agak gembrot, bisa membuatnya jatuh. Bukan ke dunia fana, tetapi justru ke lantai silver; dunia mimpi yang seharusnya ia tinggalkan, dunia mimpi yang ada di dalam cermin.
"Kalau begini caranya, aku tidak bisa pulang. Apa jangan-jangan kupecah saja cerminnya? Barangkali aku bisa kembali ke dunia fana tanpa perlu melompat!"
Ya, Sarimin percaya, tanpa melompat pun, ia bisa kembali ke tubuh aslinya. Ia tinggal memecah cermin, lalu memanjat bingkai itu selayaknya memanjat bingkai jendela. Itu gampang.
Maka Sarimin mencari sesuatu guna memecah cermin yang ada di dunia mimpi ini, agar bisa segera kembali, agar tidak telat, dan lebih-lebih: agar Suketi tidak minta putus. Ini hari penting. Janjinya tidak boleh gagal. Masa iya, baru pertama dapat pacar, hari pertama kencan, sudah gagal karena terjebak di dunia mimpi yang kurang ajar? Sarimin tidak mau itu terjadi.
Dengan tongkat baseball silver, akhirnya Sarimin pecahkan cermin lemari sekali pukul. Pyar! Pecah berserakan di lantai, sampai tidak bisa dibedakan, mana yang lantai, juga mana yang beling. Semua serba silver. Sarimin mengambil sandal di rak kecil di sudut kamar, rak yang tentunya juga silver, agar kakinya tidak tertancap beling, lantas melangkah hati-hati demi mencapai bingkai lemari.
Tetapi siapa kira, bahwa dengan memecah cermin di dunia mimpi, Sarimin justru tidak bisa melihat apa-apa di balik bingkai. Yang dia lihat cuma warna silver polos.
"Lha, kamarku di mana? Kasurku? Tubuhku juga di mana?" katanya seraya meraba bagian dalam bingkai lemari silver.
Oh, Sarimin menepuk jidat. Ia baru sadar, bahwa bagaimanapun, yang namanya cermin ya tetap cermin. Ia tidak bisa kembali ke dunia fana sebab cerminnya sudah pecah. Yang ada di balik bingkai itu sekarang cuma papan lemari baju berwarna silver, tanpa cermin.
"Jiamput[1]!" umpatnya keras.
Sarimin tahu, kemungkinan ia sudah tidak punya jalan untuk pulang, dan cermin di lemari silver tidak bisa dikembalikan lagi. Untuk beberapa saat, ia berkeliling di seputar kamar, merasa bodoh dan sial, karena semua jadi berantakan. Suketi pasti marah. Suketi pasti benci, pikirnya bertubi-tubi.
Dilihatnya jam dinding di kamar silver ini, Sarimin tidak tahu ini jam berapa. Jarum dan angka di sana berwarna sama dengan background logo Arsenal, klub bola kesayangannya, yang ada di jam dinding itu. Bahkan ia pun tidak melihat ada logo klub itu di sana!
Sarimin kesal. Ia tidak mengerti, kenapa sampai harus bermimpi seperti ini, hingga kerepotan walau sekadar menepati janji dengan Suketi. Tidak ada cara lain. Sarimin bangkit, berjalan ke pintu, menggenggam gagangnya.
"Barangkali aku bisa balik lewat cermin di tempat lain."
Sarimin berusaha tenang. Dia tahu, tubuh fananya masih berbaring di tempat tidur kamar kos. Dan dia tahu, kalau tidak kembali ke dunia fana, apa pun caranya, dia tidak bisa menepati janji dengan sang pacar.
Maka Sarimin membuang pengertian: bahwa bila ingin kembali ke dunia fana, ia harus melompat ke tubuh aslinya. Tidak, tidak. Itu tidak mungkin karena cermin di kamarnya pecah. Sekarang, ia mengubah pandangan menjadi: untuk kembali ke tubuh fana, ia harus keluar dari dunia silver.
Ya, ya. Bukankah mimpi ini berakhir kalau Sarimin sudah keluar darinya?
Tapi di luar kamar Sarimin tidak melihat siapa-siapa. Biasanya, di jam sesiang ini, teman-teman kos lalu lalang. Rumah besar berisi belasan kamar kos ini tampak sepi. Tak seorang pun terlihat. Yang dia lihat lagi-lagi serba silver. Jejeran pintu di lorong rumah mirip asrama, semua silver. Barang-barang mulai rak sepatu, gantungan baju, sapu, kursi-kursi, semua juga silver.
Sarimin membuka salah satu pintu, kamar seorang teman. Rencananya dari kamar itu dia kembali ke dunia fana. Dia pernah tahu, sang teman juga punya sebuah cermin.
Tetapi, apa yang dilihatnya di kamar itu sungguh aneh. Bukan karena warna silver. Itu biasa. Yang Sarimin lihat justru sang teman berdiri mengarahkan lehernya ke dinding. Kepalanya hilang seolah ditelan dinding. Oh, Sarimin tahu. Teman itu ternyata sedang mendorong kepalanya menembus cermin. Di lubuk hati terdalamnya dia lega. Bukan cuma dia yang bermimpi aneh ini. Temannya juga. Tersesat di dunia silver.
"He, gimana caranya?"
Menyadari ada yang memanggil, teman Sarimin itu menarik kembali kepalanya, menoleh dan Sarimin tertawa geli karena wajah si teman berwarna silver.
"Kenapa?"
"Mukamu itu... silver! Hahaha!"
"Memangnya mukamu enggak?"
Sarimin baru menyadari hal lain, bahwa sejak dirinya tersesat di dunia mimpi aneh, sejak berusaha keluar dari tempat ini, bukan cuma benda-benda saja yang berwarna silver, melainkan semua, termasuk tubuh dan wajahnya.
"Eh, gimana caranya? Kok bisa nembus? Tadi aku lompat, malah jatuh!"
"Bukan lompat, Min. Kau dorong kepalamu ke cermin!"
Teman itu tidak lagi bicara. Tak berapa lama, setelah mendorong kepala dan leher, lalu menarik badan, bokong, dan kaki, ia hilang dari hadapan Sarimin, menembus cermin dan kembali ke tubuh fananya. Sarimin iseng mengintip dari bingkai cermin. Di sana sang teman bangun dalam keadaan tubuh yang bukan silver; kembali ke dunia nyata! Sarimin menyesali perbuatan gegabahnya memukul cermin. Kalau bukan karena cermin itu pecah, barangkali sekarang ia sudah perjalanan ke rumah Suketi.
"Dasar goblok, sok tahu, sok pintar. Sekarang nyesel sendiri!"
Sarimin harus segera menemukan cermin yang sesuai ukuran tubuhnya. Karena hampir semua pintu dikunci, tidak semua kamar bisa dimasuki. Begitulah, setiap masuk sebuah kamar, Sarimin gagal karena perutnya terlalu buncit, atau kalau tidak, diusir oleh penghuni kamar yang shock melihat semua serba silver.
Sarimin ingat Suketi, ingat janjinya. Ia harus pulang. Tapi dari semua kamar yang dimasukinya, ia gagal. Sebuah kamar di ujung lorong lantai bawah menjadi kesempatan terakhir. Kalau tidak bisa juga, Sarimin siap keluar rumah, mencari tempat-tempat umum yang ada cerminnya. Kali itu tujuannya cuma satu, kembali ke dunia fana dulu. Tidak penting lewat cermin mana.
Tapi, belum sampai keluar rumah, di kamar terakhir milik induk semangnya, Bu Kos cantik yang terkenal suka dandan itu, Sarimin menemukan cermin yang besar.
"Wuaahh! Pas banget sama aku ini!"
Sarimin mengintip ke luar cermin itu. Tak ada Bu Kos. Ia sempat berharap melihat janda seksi itu tidur di kasur dengan memakai daster. Tapi yang dilihatnya hanya Meong, kucing peliharaan Bu Kos, tengah terlelap di permukaan selimut tebal.
"Di mana Bu Kos, ya? Ah, bodoh amat. Yang penting aku keluar!"
Mengikuti saran temannya, Sarimin mendorong kepala ke cermin. Dan benar saja, bukannya pecah, cermin itu lentur, kenyal seperti karet. Sarimin yakin, ia bisa kembali ke dunia fana dengan selamat. Ia dorong kepala hingga lehernya keluar. Begitu lubang hidungnya menghirup udara dunia fana, aroma parfum khas Bu Kos tercium memenuhi ruangan.
Sarimin semangat menarik badan, perut, bokong, dan paha yang lebar. Tapi ia jatuh karena tidak kuat menahan beban tubuh di bingkai cermin yang tipis. Brukk! Kepala Sarimin makin benjol. Diusapnya itu, tapi sesuatu seperti silet melukai kepalanya. "Sial! Kok kukuku panjang-panjang, ya?" Ia tarik tangan dan betapa kaget Sarimin. Yang barusan mengusap kepalanya bukan tangan, melainkan kaki. Kaki depan seekor kucing!
"Kok aku jadi kucing?!" teriak Sarimin tak percaya setelah melompat ke atas meja rias dan melihat tubuh fana yang ditumpanginya. Meong, kucing kesayangan Bu Kos, kini menjadi tubuh fana Sarimin.
Ia berlari menyusuri lorong lantai bawah, membuat beberapa penghuni kos heran. Begitu sampai di anak tangga menuju lantai atas, dilihatnya high heels pink. Sarimin tak percaya. Ini bukan lagi mimpi. Di pintu kamarnya, ia lihat teman-temannya berkumpul. Bu Kos yang seksi juga di sana. Dari dalam terdengar suara Suketi. "Mas Min kok jadi gini? Kenapa?! Apa aku kurang cakep? Apa aku kurang seksi?!"
Dan Sarimin, dengan tubuh barunya, cuma bisa bengong melihat raga manusia di pelukan Suketi, mengeong-ngeong bak pemuda kehilangan akal.
Gempol, 2015-2018

Ket : [1]Umpatan kasar khas Jawa Timuran.

Biodata Penulis
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen horor kontemporer Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan kumpulan cerpen romansa Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).



Cerpen - Dunia Silver Cerpen - Dunia Silver Reviewed by takanta on Februari 04, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar