Cerpen : Nyata dan Maya



Oleh: Arum Reda Prahesti


Kembali terputar di otakku rekaman peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi dan melibatkanmu di dalamnya. Pita kaset yang terputar pertama ialah peristiwa saat kita pertama kali bertemu. Aku ingat persis kala itu kau memakai kaos berkerah warna biru terang dan duduk di sampingku. Hal itu kau lakukan karena dosen pengampu matakuliah dasar komputer mengharuskan semua tempat duduk paling depan terisi penuh dan kebetulan di samping kiriku belum ada yang menempati. Seketika itu juga aku tergagap kebingungan, karena selama ini aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari bersebelahan dengan laki-laki ketika di dalam kelas, karena dalam kepercayaanku, laki-laki dan perempuan kehidupannya memang harus terpisah. Aku hanya tersenyum kecut. Ingin sekali rasanya pindah tempat duduk tetapi tidak memungkinkan karena aku berada di tengah antara dirimu dan temanku, Elis.  Sepanjang jam pelajaran aku merasa tidak nyaman dan selalu menggeser kursi sejauh yang aku bisa supaya jarak kita semakin jauh. Perasaan tidak enak dan tidak nyaman tambah menjadi-jadi ketika di akhir perkuliahan dosen mengatakan bahwa tempat duduknya tidak boleh berpindah-pindah selama satu semester. Dalam benakku sudah terbesit untuk tidak melanjutkan mata kuliah ini untuk kedepannya karena aku tak ingin duduk disampingmu.

Ingatanku selanjutnya memutar peristiwa-peristiwa setelah pertemuan pertamaku denganmu. Hari demi hari setelah kuperhatikan, ternyata banyak matakuliah yang aku sekelas denganmu dan kuakui dirimu menonjol hampir di semua mata kuliah yang kita sekelas. Bahkan aku sering memintamu mengajariku perihal pelajaran komputer yang sangat kau pahami. Semakin hari, aku semakin tak canggung lagi meminta bantuanmu. Jauh berbeda ketika pertama kali aku bertemu denganmu

Dan aku masih mengingat dengan jelas ketika aku mengirim pesan singkat WA kepadamu pagi itu untuk meminta materi pertemuan kelas komputer berikutnya. Sejak waktu itu aku bisa melihat status WA-mu dan kau pun bisa melihat statusku karena kita sama-sama menyimpan nomor. Sejak itu pula aku tahu bahwa kau adalah tipe orang yang ramah kepada siapa pun. Meski itu adalah perempuan, kau sama sekali tak berusaha membatasi interaksi dengannya. Hal itu semakin jelas ketika kerap kali aku mendapatimu sedang bercanda dengan sangat akrab dan hangat dengan beberapa mahasiswi. Berbeda denganku, yang menatap mata laki-laki saja tak berani, apalagi ngobrol dan bercanda seperti yang kaulakukan.


Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku semakin tahu kalau ternyata kau pun tertarik untuk mendakwahkan agama Islam setelah aku melihat statusmu selalu berbau dakwah. Sama sekali jauh dari kesan pertamaku saat melihatmu yang kukira kau adalah mahasiswa yang urakan. Namun hal itu malah menimbulkan tanda tanya besar dalam hatiku. Bagaimana bisa seseorang yang kerap mendakwahkan Islam tidak terlalu menjaga interaksi dengan lawan jenisnya? Bagaimana bisa seseorang yang agamis sepertimu tidak bersegera dalam menjalankan sunnah berjenggot dan bercelana cingkrang? Hal ini membuat hati kecilku kecewa dan selalu meremehkanmu. Aku selalu beranggapan bahwa kau hanya pintar mendakwahi orang lain tapi tidak dengan mendakwahi dirimu sendiri. Sejak itu, aku selalu mencibir dan meremehkan ketika melihat status dakwahmu. Aku berpikir bahwa kau tidak lain hanyalah orang yang tidak totalitas dalam berdakwah, tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam, dan hanya memilah-milah saja hal yang sudah umum dan tidak menyerukan syariat yang masih langka dalam masyarakat.

Pernah suatu waktu, ketika aku sedang mencari buku di perpustakaan, kau mengomentari statusku mengenai Keasingan Islam di Akhir Zaman. Kau berkomentar.

“Arum, maukah kau lebih jauh mengenal Tuhanmu?”

Aku tertegun sejenak, lalu ibu jariku mulai mengetik, “Mau, tapi bagaimana caranya?”

“Pernah dengar istilah ­syari’at, tharikat, hakikat, ma’rifat?”

“Pernah belajar kitab Al-Hikam?”

Dan masih banyak lagi pertanyaan seputar Islam yang kau lontarkan tapi sama sekali aku tak bisa memberikan jawaban memuaskan. Aku tersentak, aku tersadar ternyata aku tidak tahu apa pun mengenai agama Islam. Lalu untuk kesekian kalinya aku menjawab

Aku tidak tahu, Ternyata aku tidak tahu apa pun. Aku malu kepadamu.”

“Tak perlu malu, kita partner dalam kebaikan.”

Aku hanya tertegun, melamun, dan menangis, menyesali perbuatanku yang selalu meremehkanmu. Ternyata penampilan tak menjamin agama seseorang. Aku dengan pakaian sesuai syariat yang kubanggakan, aku dengan gamis panjang menyapu lantai, aku dengan kerudung lebar selebar mukena, diam seribu bahasa dan bertekuk lutut lantaran tak tahu apa-apa ketika berhadapan dengan seorang tak berjenggot dan tak bercelana cingkrang sepertimu.

Sejak peristiwa itu, aku selalu berhati-hati dalam menilai seseorang. Tak hanya sekedar dari penampilan saja, tetapi jauh lebih dalam dari itu, kepribadiannya. Sejak itu aku tahu bahwa kau memiliki kepribadian Islam, meski tak berpenampilan Islam. Kau yang selama ini kuremehkan lantaran tak berpenampilan sunah, kau yang selama ini kucibir karena kuanggap memilah-milah syariat, ternyata merupakan sesosok pibadi yang bersahaja dengan pemahaman Islam yang dalam. Berbanding terbalik denganku yang lantaran punya secuil saja pengetahuan Islam menjadi takabur dan meremehkan orang lain. Sejak itu pula aku paham bahwa Allah menghadirkan seseorang dalam kehidupan itu bukanlah tanpa sebab. Terkadang Allah menghadirkan seseorang dalam hidup kita sebagai pelita yang menuntun. Terkadang Allah menghadirkan seseorang sebagai duri yang menahan laju. Terkadang pula Allah menghadirkan seseorang ke dalam hidup kita sebagai cambuk yang membuat kita bergegas. Dan kurasa Allah mengahdirkanmu dalam kehidupanku sebagai cambuk, agar aku bergegas berlari mengejar ketertinggalanku sehingga lebih dekat dengan-Nya. (*)

Arum Reda Prahesti, lahir di Pacitan. Sekarang berdomisili sementara di Jember sebagai mahasiswa Universitas Jember.
Cerpen : Nyata dan Maya Cerpen : Nyata dan Maya Reviewed by takanta on September 02, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar