Waria dan Kemenangan Kaum Feminis



Sebagai akademisi (asal Banten) terkadang saya mendapat undangan ke luar, seperti kemarin pada 7 Juni 2018, saya diundang untuk menjadi pembicara seminar bertemakan; “Pemanfaatan Internet oleh Masyarakat” digelar di Hotel Prima, Sleman Yogyakarta—bersama Roy Suryo, Anggota DPR RI Komisi I.
Setelah acara seminar tepatnya pukul 21.00 WIB, saya menyempatkan diri bermain ke Malioboro, di sana jelas terlihat meriah pernak-pernik kota yang terkenal dengan Gudeg-nya itu. Namun, hal yang paling menarik—saya melihat sekumpulan waria (wanita pria) atau bencong; mereka dengan gayanya yang khas, berlenggok kegenit-genitan, bernyanyi, bermain gitar, bahkan ada yang selfie—setelah itu meminta bayaran yang terkadang berbau pemaksaan.
Saya berpikir fenomena waria perlu diselidiki latar belakang penyebabnya; Apakah ini salah satu bentuk kekalahan pria oleh wanita sehingga para pria mencoba menjadi wanita? Ataukah gangguan mental pada diri pria sehingga mereka berdandan dan bertingkah layaknya wanita? Untuk itu saya mencoba menganalisanya.
Akhir-akhir ini gerakan feminisme bermunculan, tuntutan mereka ingin disetarakan dengan laki-laki. Kesetaraan tersebut mencakup; sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hal yang paling menonjol di Indonesia yakni di bidang politik dengan diterapkannya afirmasi action yang mana perempuan disyaratkan dalam kepengurusan partai politik dan pemilihan legislatif dengan kuota 30%, denggan demikian diharapkan kebijakan publik tidak terlalu berwajah laki-laki atau maskulin. Maraknya gerakan feminisme ini menandakan keadaan perempuan sedang mengalami ketertindasan karenanya membutuhkan pertolongan. Jika demikian sejak kapan perempuan tertindas? Dan benarkah pada hari ini mereka masih tertidas?
Saya sepakat dengan apa yang diargumentasikan Angels penulis buku The Origin of the Family, Private, Property, and the State; dari sudut pandang dialektika historis; pergumulan sejarah pada pase pertama peradaban umat manusia, perempuan cukup berkuasa sebab mereka memiliki keahlian mengolah tanah, meramu makanan, dan membuat manik-manik perhiasan—bahkan para dewa sekalipun sering diidentikkan dengan sosok perempuan atau dewi kesuburan, sedangkan laki-laki peranannya berkutat pada persoalan buru-memburu hewan dalam hutan belantara. Pase kedua, dengan ditemukannya alat-alat pertanian seperti skop dan cangkul terbuat dari besi, perunggu, dan timah, sehingga adanya tuntutan lahan pertanian dibuka semakin luas dan hak milik mulai dikenal oleh masyarakat—hal tersebut menyebabkan kebutuhan akan tenaga laki-laki semakin meningkat, pada akhirnya laki-laki tampil mendominasi ekonomi, karenanya laki-laki terdaulatkan sebagai pemilik properti, sumber produksi, bahkan laki-laki menjadi pemilik perempuan. Dari situlah awal mula kekalahan perempuan oleh laki-laki atau dengan kata lain kaum maskulin mendominasi kaum feminis—patriarki berkuasa penuh.
Namun, berbicara dialektika historis tidak cukup sampai di situ, perlu ditelaah lebih lanjut. Marx penulis buku Das Capital berargumentasi bahwa dialektika historis sejalan dengan perkembangan ekonomi. Pada awal pertumbuhan ekonomi ditandai dengan penemuan alat transpotrasi air, sehingga sirkulasi barang komoditi dari satu tempat ke tempat lainnya lebih cepat. Melalui transportasi air bahan-bahan mentah dari seluruh penjuru dapat dikumpulkan sebanyak mungkin, sehingga diperlukan alat produksi yang lebih besar dan canggih, dari semenjak itulah manusia mengenal industrialisasi modern dicirikan dengan tenaga mesin sebagai alat produksi yang tidak tertandingi. Munculnya masyarakat industrialisasi menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua kelas yakni kelas kapitalis yaitu mereka pemilik alat-alat produksi dan modal, dan kelas proletar atau buruh yakni mereka yang menjual tenaganya pada kelas kapitalis tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul laki-lakikah atau perempuankah kaum proletar tersebut?
Pada, pase pertama perkembangan industrialisasi dengan corak tekhnologi yang masih sederhana maka tenaga laki-laki masih relevan dengan kondisi produksi. Paradigma yang terbentuk pun lelaki lebih kuat dari perempuan, pada pase ini perempuan kembali terkalahkan dan bertekuk lutut di hadapan laki-laki. Pada pase kedua teknologi semakin berkembang, paradigma laki-laki lebih kuat dari perempuan pun semakin meluntur. Hal ini sejalan pula dengan gerakan feminisme yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Perempuan mulai bangkit di bidang ekonomi selanjutnya merambah ke dunia politik. Perlahan perempuan memiliki pengaruh di dunia industeri—sejalan dengan tuntutan mereka yang ingin disetarakan dengan laki-laki.
Dialektika historis terus-menerus bekerja, perempuan dengan gerakan feminisnya semakin kuat memengaruh cara berpikir masyarakat dunia. Faktanya perempuan masa kini tampil di perusahaan-perusahaan, mereka mencitrakan diri sebagai “perempuan karir”. Selain menjadi buruh dan manager di perusahaan, perempuan karir juga tampil dalam pentas-pentas politik; sebagai politisi mereka tampil ke permukaan publik menjadi petinggi partai, anggota parleman, kepala daerah, hingga menjadi presiden. Ini merupakan pase ketiga dari dialektika historis. Pada pase ini peran lelaki dan perempuan mulai setara, bahkan mereka terkesan saling mendominasi, ada semacam perkelahian antara indiologi patriarki dan idiologi feminitas.
Hal yang cukup menycengangkan dimana industeri kosmetik dan pakaian semakin hari semakin berkembang pesat, dengan demikian ini memperkuat posisi perempuan di era industerialisasi—dampaknya para perempuan di samping sebagai pegawai industri mereka juga tampil sebagai marketing-marketing handal untuk prodak kecantikan dan pakaian tersebut. Pase berikutnya yakni pase keempat, pada pase ini perempuan mulai menguasai politik dan ekonomi, yang menyebabkan kaum laki-laki lambat-laun tersingkir, dan memaksa mereka (kaum laki-laki) untuk menyesuaikan diri dengan permintaan pasar (ekonomi politik).
Laki-laki yang terlempar dari kehidupan ekonomi politik melakukan transformasi, mereproduksi diri dengan lingkungan—tujuannya agar bertahan hidup. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan istilah “waria (wanita pria)”. Kenapa saya menyimpulkan demikian; adapun analisisnya telah dijelaskan di atas. Selanjutnya, para lelaki yang terlempar dari kehidupak ekonomi politik itu demi kelangsungan hidupnya mereka bersolek—berdandan, berpakaian, dan berperilaku layaknya seorang perempuan. Motivnya tak lain berupa pelayanan jasa—yang menjadi sumber pendapatan mereka.
Dialektika historis perlahan namun pasti berpotensi meruntuhkan patriarki, para waria yang sejatinya kaum laki-laki melakukan perubahan-peruhan tampilan pada dirinya; mulai dari cara berdandan dan berpakaian bahkan melakukan operasi wajah, payu dara, hingga alat kelamin—agar dirinya terkesan feminin. Nampaknya, para waria meyakini dengan mengubah diri menjadi feminin mereka dapat bersaing di pasar. Fakta menunjukkan jika kita berkeliling di salon-salon kecantikan atau tempat-tempat busana mewah di sana para pegawainya terdiri dari para waria. Bahkan banyak pula waria yang begitu cantik dan feminin—mereka menampilkan dirinya yang lemah gemulai, dan muncul sebagai marketing dari produk kecantikan dan pakaian, bahkan para waria sudah tampil ke khalayak sebagai selebritis dan model ditampilkan pada majalah—lebih jauh lagi para waria melakukan transformasi gender dengan mengistilahkan dirinya sebagai pengusung kebebasan gender atau “trans gender”. Dan lagi trans gender merupakan salah satu bentuk kekalahan patriarki.
Jika Simon De Beauvoir seorang pengusung feminisme libertarian dalam bukunya The Scond Sex menyatakan bahwa kaum perempuan dan kaum buruh merupakan kaum yang sama-sama tertindas. Maka, dalam tulisan ini saya menyatakan sebuah keniscayaan dialektika sejarah dimana kaum laki-laki merupakan kaum yang terlempar dari kehidupan ekonomi; dan untuk itu mereka melakukan transformasi mereproduksi diri dengan cara mengubah dirinya menjadi waria, selanjutnya menjadi pengusung kebebasan gender dan trans gender. Sampai jumpa Malioboro.

Yogyakarta, 8 Juni-12 September 2018

Tentang Penulis
Agus  Hiplunudin  1986  lahir  di  Lebak-Banten,  adalah  lulusan  Fakultas  Ilmu Sosial  dan  Ilmu  Politik  Universitas  Sultan  Ageng  Tirtayasa  Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi  2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital  2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan   Birokras   dan   Pelayanan   Publik   Suatu   Tinjauan   Kritis   Ilmu Administrasi Negara 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik, Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.

Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung, Lebak-Banten.

Email             : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp                  : 081-774-220-4
Facebook       : @Agus Hiplunudin


Waria dan Kemenangan Kaum Feminis Waria dan Kemenangan Kaum Feminis Reviewed by takanta on September 13, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar