Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari



Oleh : Ipul Lestrari
Satu malam suntuk aku menulis surat untuknya. Satu persatu aku tuangkan kata terbaikku lewat selembar kertas ini, dengan semangat yang menggebu, besok pagi aku akan menemui Raisha. Aku bayangkan sedang mengetuk pintu kelasnya, lalu dia membukanya dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Aku angsurkan selembar kertas ini melayang di tangannya
"Aku punya surat khusus untukmu, Raisha."

Aku terdiam sejenak memusatkan pandangan hanya untuknya, menunggu reaksi muka Raisha yang akan bingung, dan bahkan pikirannya akan kacau tak menentu, kemudian aku segera pamit dan membiarkan ia ternganga dengan selembar kertas di tangannya.
Aku pergi dulu ya. Kamu tidak usah membacanya hari ini, nanti saja saat menjelang tidurmu, semoga dengan surat ini bisa mengerti isi hatiku, dan besok akan menjadi hari yang maha penting bagiku, karena  orang yang aku sayang akan segera tahu isi hatiku.
Selepas menulis surat, aku baca berulang-ulang surat tersebut, takut ada salah kata, dengan perasaan bahagia, aku mulai melipat surat ini, dan menyelipkan di saku seragam yang akan aku kenakan besok, rasanya sudah tidak sabar.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, dan berangkat lebih awal  ke sekolah. Aku mau mendahului Raisha dan menunggu di tepi kelasnya, tapi kenyataannya berbanding terbalik, dia tetap saja datang lebih awal, wajar saja dia sering menjadi bintang kelas, itu adalah buah dari kedisiplinannya,  berbeda jauh denganku.
Setibanya di sekolah dengan tanpa ragu-ragu aku menyeret kakiku menuju kelas Raisha. Aku mengintip di balik daun jendela kelasnya, dia duduk sendiri dengan tangan kanan menempel di bawah dagunya yang tertutup kerudung, mukanya murung, tatapannya kosong, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu entah itu apa? Perlahan aku berjalan menuju pintu, terdiam beberapa detik sebelum mengetuk pintu kelasnya,  tok tok tok, aku dorong pintu itu, seketika Raisha berpaling dariku, tangannya terlihat beberapa kali menyapu pipi dan matanya, tidak salah lagi rupanya dia sedang menangis.
"Kau kenapa, Raisha?"
"Aku tidak mengapa," dia sedikit tersenyum, senyumnya simetris. Dia mencoba menutupi masalahnya, aku tahu ini bukan senyum kamu, Raisha, mungkin kamu bisa berbohong di depan semua orang tapi tidak untukku, pipinya yang masih basah, ujung hidungnya memerah semakin memperjelas kepiluannya. Aku bisa merasakan itu. Jujur aku tidak tenang melihat Raisha seperti ini.
"Apa bukan sebaiknya kamu cerita saja ke aku?"
"Dia jahat, Pul."
"Dia siapa, Raisha?"
Dia, pacarku. Dia lebih memilih gadis itu, dan menyuruhku pergi di tempat umum, hatiku seperti disayat-sayat pedang, Pul! Tangisannya semakin menjadi-jadi, dia menyandar di bahu kananku.
"Kamu yang sabar ya? Bukankah kamu yang mengatakan kepadaku, kesabaran itu akan berbuah kebahagiaan? Tapi kali ini berbeda, ini masalah perasaan dan harga diriku yang diinjak-injak di depan umum.
Tidak ada perbedaan dalam kesabaran, Raisha, semuanya pasti akan Indah pada waktunya.
Raisha terdiam dia memilih menjadi pendengar saja, hanya saja yang terganjal dalam hatiku adalah saat Raisha mengatakan pacar, mendengar kata Raisha rasanya darahku berhenti mengalir,  membeku di setiap denyut nadiku. Setahuku dia selalu sendiri, diantar dan di jemput mamanya saat pergi dan pulang sekolah, keinginanku untuk memberikan sepucuk surat ini perlahan memudar terbawa oleh suasana haru Raisha, siapa yang sanggup melihat orang yang kita sayang menangis di depan kita?
Kamu boleh cerita apa saja sama aku, Raisha, kapan pun aku siap mendengarkan, itu kata yang keluar dari mulutku sebelum pamit karena bel tanda masuk kelas sudah berbunyi.
Hari ini aku tidak fokus menerima mata pelajaran, kata-kata Raisha masih terngiang di telingaku. Ibu Lina sebagai guru Kimia lagi menjelaskan (...) Aku hanya mendengar sepintas sub bab dari pelajaran hari ini. Aku yang duduk di bangku pojok paling belakang masih sibuk berdiskusi dengan diriku sendiri, seharusnya pacar Raisha bersyukur bisa mendapatkan gadis yang baik, hebat, dan jago matematika, seandainya saja aku bisa memiliki Raisha pasti aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini,  berusaha untuk membahagiakannya mungkin akan menjadi prioritasku. Raisha sangat dekat dengan Fani, tidak ada salahnya jika aku mencari informasi dari dia tentang kekasihnya yang .... itu. Apa mungkin Fani tahu tentang kejadian ini?
Nggak kelar-kelar otakku memikirkan Raisha.
"Pul, kamu ke depan, kerjakan soal nomor tiga!" kata Ibu Lina, dengan nada sedikit terangkat.
Aku maju perlahan, mengambil spidol di tangan Ibu, Lina.
"Sekarang, Bu?"
"Nggak, besok! Sergahnya, ia sekaranglah, mau kapan lagi?"
Parah banget ini, jangankan mengerjakan soal, pelajaran hari ini aku tidak tau tentang apa. Aku hanya berdiri tegak mengarah ke papan, berpura-pura mikir agar terlihat seperti berusaha mengingat-ingat rumus pelajaran minggu lalu, padahal sebenarnya aku lagi memikirkan, Raisha. Dalam pikiranku hanya ada wajah Raisha yang lagi bersedih.
"Gimana? Bisa nggak? Tanya ibu Lina.
"Nggak bisa, Bu."
"Kamu berdiri sampai pelajaran selesai!”
"Ah, pelajaran apa ini?" Kok sulit banget, batinku bicara.
Kemudian, Ibu Lina menyuruh Datin untuk mengerjakan soal tadi, kurang dari 3 menit Datin sudah bisa menjawabnya, hebat sekali, sedangkan aku hanya menghitung kancing saat ada soal semacam itu, nggak peduli ah! Mending berdiri saja biar otot kaki sedikit terlatih.
#
Ini rencana baruku mendatangi Fani, berharap mendapatkan informasi dari dia tentang kejadian sebenarnya. Setelah bel istirahat berbunyi aku datang ke kantin, biasanya Fani sering nongkrong disana, kecuali kalau dia lagi hoki biasanya dia akan pergi ke perpustakaan dibacalah buku-buku yang berbau humor, atau komik-komik lucu, yang aku tahu itu.  Aku memperhatikan setiap siswa yang datang tapi Fani belum juga kelihatan batang hidungnya, aku mencoba menanyakan kesalah satu teman kelasnya, katanya sih tadi sudah keluar juga, tapi kemana? Aku menatap halaman sekolah yang hijau, rumput-rumput tumbuh menutup permukaan lapangan dengan sangat rapat, nyaris tidak ada cela sedikitpun, terlihat semakin menarik saat ada beberapa siswa yang tengah duduk bersantai di bawah pohon rambutan, beberapa diantara mereka terlihat berkomat-kamit, sepertinya sedang menghafalkan sesuatu, setelah selesai diberikannya buku tersebut kepada teman yang duduk di sampingnya, bergantian. Mereka terlihat akrab sekali. Ada juga yang lagi bercanda sampai suaranya terdengar ke kantin. Tanganku mengetuk-ngetuk meja kantin, dengan tangan kanan menopang di dagu tapi Fani tak kunjung datang, kamu dimana sih Fan? Hampir saja aku beranjak dari tempat duduk, setelah aku teguk teh terakhirku ternyata Fani berjalan ke arahku, dia memegang secarik kertas.
"Di sini kamu, tumben sendirian?
"Aku ada perlu sama kamu, Fan, kamu darimana saja sih?"
"Ehm, ehm, ada perlu apa nih? Sepertinya serius banget, pasti rindu aku ya? Ayo ngaku, dia menggodaku.
"Kamu ya, memang tidak pernah bisa diajak serius, Fan. Raisha Fan".
"O, Raisha,  kenapa dengan dia?”
"Kemarin aku ke kelasnya, aku temui  dia dalam keadaan menangis, katanya lagi ada masalah sama pacarnya, betul begitu?”
"O, itu, dia sudah cerita semuanya sama aku, jadi kamu tenang saja biarkan dia sendiri dulu, aku pastiin dia baik-baik saja, oke?"
"Oke, aku percaya sama kamu," sembari aku menepuk-nepuk pundaknya
"Aku kekelas dulu ya, nanti kalau Raisha sudah baikan kita ketemu lagi di sini, aku ajakin Raisha juga, oke," dia terlihat terburu-buru mengeluarkan uang dari dompetnya.
"Biar aku yang bayarin, Fan."
"Tumben baik kamu," dia nyengir.
"Sudah sejak lahir aku baik kok, he he."
"Terima kasih loh."
"Ia, sama - sama bawel."
Temenku yang satu ini paling bisa membuat suasana menjadi cair, wajar saja banyak teman yang suka dengannya, gayanya yang slengekan sudah menjadi ciri khasnya, dan terkadang dia suka bertingkah yang aneh-aneh, ketika suasananya lagi sepi dia akan segera mengeluarkan permainan andalannya yaitu domino, aneh kan? Cewek kok sukanya main domino, satu lagi nih yang menjadi permainan favoritnya adalah catur, terkadang kita berdua meluangkan waktu khusus hanya untuk bermain catur, menghabiskan waktu berjam-jam duduk anteng di sebuah kursi menatap satu persatu isi catur yang awalnya tertata rapi samapi acak-acakan mengikuti irama langkah dari setiap fungsi biji-biji catur tersebut. Aku mengenal Fani dari permainan ini.
Dulu kami pernah mengikuti seleksi antar kelas untuk mewakili sekolah di kejuaraan antar SMA. Aku akui Fani memang jago dalam permainan ini, hanya saja dia sering kalah kalau main sama aku. Bisa dikatakan aku satu step di atasnya lah, hehe.
Pernah suatu ketika bapak dan ibunya lagi keluar kota, dia menelponku, lalu menyuruhku datang ke rumahnya hanya untuk menemani dia main catur.
"Kamu di mana?"
"Di kosan Fan, ada apa?”
"Kamu bisa kerumah malam ini nggak? Ayah ibuku lagi diluar kota, aku sendirian nih."
"Aku ada perlu sama temen malam ini, Fan, maaf ya?  Kamu main sama adikmu saja."
"Dia mah bukan levelku, kesini dong plis, kali ini aja, aku benar-benar bete nih nggak ada Ayah."
"Ia bawel, ntar aku kesana," Kalau sudah ada maunya dia sering begitu, manjanya minta ampun.
"Nah gitu dong, itu baru namanya sahabat, jangan lama-lama aku sudah siapin makanan khusus buat kamu loh."
"Oke."
Selain sama Fani, aku juga pernah beberapa kali main sama ayahnya, tapi aku selalu kalah sama beliau, kedekatan Aku, Fani dan keluarganya sudah seperti saudara dan hobi ayahnya di dunia catur tertular sama Fani. Malam ini dia tidak berbohong dia masak sup kesukaanku.
"Terima kasih ,Fani," rupanya dia jago juga kalau disuruh masak.
"Aku tahu kamu belum makan, ayo kita makan dulu."
"Aku nyengir saja mendengar perkataan Fani."
Malam itu kami makan bertiga, Fani, Rani (adiknya), dan aku .
Di samping rumahnya terdapat gazebo sederhana yang menjadi tempat bermain  catur malam itu .
"Skak, kali ini quiqmu kena," ucapnya dengan sedikit senyum di bibirnya
"Oke, aku akui kehebatanmu."
Dia paling pandai memainkan kuda, tidak jarang langkah kudanya menusuk ke jantung pertahananku, hingga akhirnya aku di skak mati. Awal permainan aku sudah kalah sama Fani, mungkin dia sering berlatih sama ayahnya, serangannya berat sekali.
" Jangan senang dulu, baru set pertama."
"Fan kamu tidak ada rencana membuatkan aku kopi gitu,   nggak seru nih! ngantuk!
"Ia, tunggu sebentar," dia bangun dari hadapanku
"Agak pahit dikit, Fan," teriakku.
"Ia, aku sudah paham, bawel banget sih."
Selang beberapa menit dia datang dengan secangkir kopi di tangan, aroma khas kopi buatan si Fani sudah tercium.
"Nah, gitu dong, ini baru sahabat baik."
Fani mulai menata satu persatu biji caturnya sesuai tempat dan fungsinya, dalam permainan catur hanya ada dua warna, pada umumnya putih dan hitam, kali ini aku pegang putih, aku paling suka memainkan posisi ini karena ada kesempatan memindahkan duluan dan berpotensi menyerang lebih awal ke pertahanan musuh, aku bantai habis-habisan si Fani, sengaja aku menumbangkan kudanya terlebih dahulu, menukarnya dengan peluncur, aku balas tuntas kekalahanku sebelumnya, quiqku mulai masuk ke jantung pertahanannya, sengaja hanya aku sisakan satu pion yang kemudian ditutup dengan skak mati. Tidak terasa sudah larut malam, entah sudah berapa set aku main sama Fani.
"Fan, sudah tengah malam nih,  lanjut dilain kesempatan lagi ya."
"Sekali lagi dong, habis ini kamu boleh pulang."
Begitulah Fani, kegigihannya dalam bermain catur menggambarkan ke pribadinya, tapi aku punya cara khusus untuk menaklukannya, solusi satu-satunya adalah mengalah, sebab kalau dia masih kalah akan terus mengajakku bermain, sengaja aku berikan set ini untuknya, selanjutnya dia akan merasa puas karena sudah bisa mengalahkanku, saking bahagianya terkadang suasana di malam itu dibawanya ke sekolah, dia akan mengolokku di kantin tempat kita nongkrong. Wajar saja dia seperti itu, teman satu kelasnya pun sudah pernah ditumbangkannya, tapi tidak untuk aku.
"Terima kasih waktunya, aku puas bermain denganmu malam ini, yang nyenyak tidurnya, jangan karena kamu kalah nanti tidak bisa tidur," sambil menutup gerbang rumahnya.
"Siap! Nona cantik, kamu yang nyenyak juga, jangan sampai mengigau karana sudah memenangkan pertandingan malam ini."
"Hati-hati di jalan."
"Oke."
Aku pergi meninggalkan halaman rumahnya, Fani memang paling bisa menggagalkan acaraku sama teman-temanku.
Malam itu, setibanya di kosan aku buka lagi diaryku, menulis kalimat ini.
Dan akan tercapai kemuliaan yang abadi, perselisihan dari perjalanan yang nyaris tak berujung singkat lalu terhenti, hanya ada sebuah harapan yang mampu aku perjuangkan untuk mencapai bahagia.
Tiba di kata "bahagia" seketika tulisanku terhenti, seakan-akan otakku nge-blank, aku hanya meraba kalimat "bahagia" itu  kemudian segera menutup diary-ku dan memasukkan kedalam laci, lalu tidur.
Bersambung

Biodata Penulis
Ipul Lestari tinggal di Situbondo, aktif di Komunitas Backpacker Situbondo.
Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari Reviewed by Redaksi on Januari 27, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar