Yang Muda Juga Bisa Berkuasa, Tapi Harus Merdeka Dulu
Penulis:
Nurul Fatta*
Beberapa waktu lalu,
adik-adik tingkat saya mendekat dan berkata begini. "Mas, kita
berhasil menunjukkan bahwa anak-anak muda yang dulu tidak dianggap, sekarang
mereka berada di pusaran arah kebijakan daerah," ungkapnya dengan nada
yang terdengar sedikit bergetar.
Saya tersenyum saja.
Lalu menjawab begini.
"Dan,
kamu harus percaya diri. Bahwa itu bukan berkat siapa-siapa. Itu karena usahamu
sendiri."
Belum selesai saya
melanjutkan kata-kata, ia buru-buru menimpali pernyataan saya. "Ini karena
bimbinganmu kak," kali ini nadanya terdengar lebih tegas.
Saya kaget dan
sedikit geli mendengarnya.
"Kamu
salah. Kamu berada di posisi ini karena kamu memilih jalan ini. Aku cuma cameo
dalam lakon yang kamu bintangi sendiri," begitu pungkas saya.
***
Cerita kecil itu
menggambarkan satu hal besar yang sedang terjadi hari ini di
Situbondo. Anak-anak muda mulai muncul di permukaan. Mereka menampakkan
diri dalam arena kekuasaan. Mereka tak lagi hanya jadi gincu. Mereka hadir,
duduk di ruang-ruang penting, dan ikut ambil keputusan.
Anak-anak muda yang
dulunya hanya "pengembira", kini bisa berdiskusi langsung dengan
Bupati dan Wakil Bupati serta jajaran pejabat-pejabat daerah, untuk ikut
menentukan arah kebijakan.
Di satu sisi ini
tentu membawa angin segar, tapi juga gesekan di sisi yang lain. Nah di sisi
yang lain ini, sebagian golongan tua—yang selama ini merasa sebagai “kelas
elit” dalam lingkar kekuasaan—tiba-tiba merasa kehilangan orbit. Mulai muncul
tanda-tanya, rasa cemas, bahkan kecemburuan. Mereka tampak gelisah entah
gerangan.
Saya membacanya
wajar jika muncul kegelisahan. Begini, siapapun harus harus ingat ini:
kekuasaan itu bukan hak milik. Ia tidak diwariskan, dan tidak bisa diklaim atas
dasar senioritas. Kekuasaan adalah soal kesiapan dan kemampuan. Siapa pun yang
punya kapasitas, punya ruang untuk tampil—termasuk yang muda.
Masalahnya, dalam
banyak ruang politik kita, masih sering ada anggapan bahwa yang muda harus
menunggu giliran. Harus sabar di belakang. Harus “sopan” dengan tidak
mendahului. Padahal siapa yang bisa menjamin giliran itu akan datang? Bisa saja
ketika giliran itu tiba, justru kita sudah tidak relevan lagi atau bukan kita
lagi yang dibutuhkan. Zonk,
dong!
Di sinilah letak
pentingnya menjadi manusia merdeka. Manusia merdeka yang saya maksud adalah
merdeka dari rasa takut. Merdeka dari rasa tidak percaya diri. Dan merdeka dari
bayang-bayang senior. Bukan apa-apa, Karena kalau soal itu tidak diambil,
anak-anak muda hanya akan jadi bumbu-bumbu yang mudah digeser dan dilupakan.
Dan kalau terlalu bergantung pada senior, begitu tali itu putus, ia akan jatuh
dan hilang arah.
Jadi, buat yang
muda, dekat dengan kekuasaan itu bukan segalanya. Tapi kalau memang sudah
dekat, jangan cuma ikut-ikutan. Jangan cuma jadi pelengkap. Bangun dirimu sendiri.
Gantungkan hidupmu bukan pada relasi atau basa-basi, tapi pada attitude,
knowledge, dan skill.
Tiga hal itu yang
akan membawa anda semua berjalan lebih jauh. Bukan pujian senior. Bukan jabatan
hadiah. Itu yang sering aku sampaikan kepada adik-adik tingkatku. Camkan
itu!
Dan buat yang
senior. Begini, Kak. Kalau memang ingin dihormati, ajarkan sesuatu. Kalau
pernah memegang tangan si muda saat ia bingung, ia pasti akan hormat tanpa
diminta. Tapi kalau tak pernah berbagi apa-apa, lalu menuntut tunduk—itu bukan
minta dihormati, itu sedang minta dipatuhi. Dan itu bukan saya banget.
Bagi saya, hormat
itu urusan etika dan berpikir itu wilayah logika. Dalam argumentasi, semua
setara. Tak ada senioritas dalam berpikir. Mungkin kalimat ini sudah familiar,
apalagi bagi senior-senior. Betul, kan?
Nah yang muda juga
harus belajar, jangan simpan dendam. Jangan ganti kesombongan lama dengan
kesombongan baru. Karena kekuasaan juga berputar. Berganti. Hari ini bisa
milikmu. Lima tahun lagi bisa jadi milik mereka lagi.
Kalau kita sama-sama
tahu diri—yang muda tak merasa paling tahu, yang tua tak merasa paling
benar—politik bisa jadi tempat belajar bersama. Bukan ajang saling
menyingkirkan. Ngeri,
Bos.
Karena pada
akhirnya, politik bukan soal siapa yang lebih dulu. Tapi siapa yang benar-benar
siap.
Saya
tentu tak ingin menggurui kalian adik-adikku, apalagi berlagak paling bijak.
Tentu tidak. Ini hanya catatan kecil sebagai pengingat—untuk saya sendiri juga.
Tapi kalau kalian menganggap saya keren, ya anggap aja itu hanya kebetulan saja.
Karena saya sendiri tidak merasa keren, tapi keren banget, dong.
Akhirukkalam. Ingat
baik-baik pesan senior kalian ini, ya: “ixgdtfab nhxkxo ndhsfsuskx mcisosbsbaf
nhccosgsut bv dryojsksn msjsspldjdndhsn.” Demikian.
____
*)
Penulis merupakan konsultan politik. Anak muda Situbondo yang tinggal di
Jakarta.
**)
Editor: Hans.

Kelazz👏🏼
BalasHapus