Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto



Mayat laki-laki itu tergeletak mengenaskan di atas pematang dengan leher dan selangkangan yang bersimbah darah. Ia telah mati dengan cara digorok dan kemaluannya dipotong. Warga kampung Karang Gegger seketika menjadi geger. Hampir seluruh warga memenuhi sekitar tempat kejadian. Banyak warga yang ingin tahu, tetapi polisi sudah memasang garis di sekitar area agar tidak ada warga yang mendekat. Polisi langsung menyisir tempat kejadian untuk mengumpulkan bukti-bukti.
Laki-laki itu adalah Burhan, pemilik gilingan padi yang cukup besar di kampung itu. Warga pun mulai menduga-duga siapakah yang membunuh Burhan. Mereka menyangka saingan bisnisnya yang telah melakukannya. Tetapi, agak sedikit aneh jika cara itu yang di tempuh. Di kampung, biasanya untuk mengalahkan pesaing digunakanlah sihir-sihir untuk mengirim penyakit bagi si saingan. Mereka pun menyangka pembunuhan itu barangkali bukan dilakukan oleh saingan bisnis Burhan.
***
Saijan membanting pintu rumahnya. Kemarahannya kepada sang istri, Tini, membuatnya hilang kendali. Namun, ia masih bisa menahan tangannya agar tak terayun ke wajah wanita itu. Akhirnya pintu itu yang menjadi tempat ia melampiaskan kemarahan yang telah memuncak. Ia lantas pergi ke warung kopi dan meninggalkan isterinya sendirian.
“Jangan bisanya cuma ngerokok dan ngopi. Kerja dong!” bentak istri Saijan.
“Aku sudah usaha cari sana-sini. Memangnya gampang cari kerjaan?!”
“Ya usaha terus dong.”
“Kamu harusnya membantu. Jangan cuma ngomel.”
“Mana janjimu bakal membahagiakanku? Tahi kucing!”
Saijan mulai menahan amarah. Tangannya mulai menggenggam menahan geram. Istrinya masih terus saja mengeluarkan umpatan-umpatan. Saijan mencoba untuk tidak terpancing amarah. Tetapi wanita itu justru seperti tak mau berhenti bahkan kini dengan serapahnya.
“Kalau saja aku menuruti ibuku, aku tidak mungkin susah seperti ini. Bodoh sekali aku menuruti cinta. Benar-benar tahi kucing!”
Pernikahan Saijan dan Tini terjadi tanpa restu orangtua si wanita. Orangtua Tini tak mau anaknya menikah dengan lelaki yang orangtuanya dibunuh saat terjadi gegeran enam-lima karena dituduh pe-ka-i.Jelas sekali orangtua sang istri menolaknya dengan keras. Anak kuminis dan miskin pula.Tetapi sang istri telah jatuh cinta pada Saijan. Apa pula yang membuatnya jatuh cinta pada Saijan, tak jelas dan membuat orangtuanya heran. Hanya dirinyalah yang tahu. Cinta hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Orang-orang menuduh Saijan telah melakukan guna-guna pada sang istri. Mana mungkin salah satu anak gadis perawan berparas cantik di kampung itu mau dengan Saijan?
Namun, Tini pernah bercerita bahwa dirinya dibuat jatuh cinta pada Saijan karena puisi-puisinya.
“Puisi?”
“Iya, puisi. Dia membuatkanku puisi-puisi yang indah.”
“Kamu sudah gila ya? Aku saja terakhir baca puisi saat di sekolah dasar dulu.” Kata salah seorang teman Tini.
Memang selama mereka menjalin hubungan Saijan sering membuatkan Tini puisi-puisi. Saijan sering tak tidur sepanjang malam hanya untuk menulis puisi bagi Tini. Hampir tiap hari Saijan membuatkannya. Dan kata-kata memang sebuah sihir, bukan? Saijan bagai menyihir Tini lewat puisi-puisinya yang indah. Tini pun juga mulai mencintai puisi. Setiap kali bertemu, Tini selalu meminta pada Saijan sebuah puisi. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tidak hanya mencintai puisi.
Mereka pun pada akhirnya tetap menikah. Tini dengan segala kerendahan hatinya menentang keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Burhan, anak pemilik giling padi di kampung itu. Sejak itulah orang tuanya tak lagi mau mengakui Tini sebagai anaknya.
“Kau bukan anakku lagi. Kau sudah kawin dengan anak setan itu. Anak dari seorang kuminis.”
Saijan dan Tini telah menikah selama empat tahun. Namun mereka belum memiliki seorang anak. Kenyataan itu membuat orangtua Tini setidaknya sedikit bahagia dan tenang. Anaknya tak melahirkan buah hati dari lelaki yang bagai seonggok bangkai menjijikkan di hadapan mereka itu.
Hal ini juga membuat Tini bersyukur setelah mengetahui bahwa Saijan tak seperti yang diharapkannya.
“Heh. Untung saja kita belum punya anak. Kalau tidak, pasti anak kita akan kau bikin kelaparan dan terlantar.”
Ucapan sang istri itulah yang membuat Saijan sampai pada puncak amarahnya. Ia ingin sekali memberi pelajaran pada sang istri bagaimana menghargai seorang suami. Namun ia menahan dan hanya bisa geram sendiri dan pintu di rumahnya ia banting lantaspergi keluar menuju warung kopi.
Saijan ditinggal oleh orangtuanya sejak berumur 3 tahun. Orangtuanya dibunuh bersama beberapa orang di kampung itu lantaran dituduh sebagai kuminis. Lantas Saijan tinggal bersama Pak Liknya. Setelah Saijan sudah tumbuh dewasa, Pak Liknya itu meninggal. Tinggalah Saijan seorang diri. Ia bekerja sebagai apa saja, buruh tani hingga kuli bangunan. Semua ia lakukan untuk menyambung hidupnya dari ke hari.
Maka tak heran jika orangtua Tini tak merestui cinta anaknya kepada Saijan. Orangtua Tini lebih menyetuji Tini menikah dengan Burhan. Sudah kaya, tampan pula. Pewaris gilingan padi milik keluarganya.Tetapi, Tini menolak perjodohan itu. Cinta gilanya pada Saijan tak bisa dihentikan oleh siapapun bahkan restu orang tua.
Tetapi, cinta yang gila nyatanya masih bisa luntur juga. Semakin lama, karena kesulitan hidup, terbetuk jurang pemisah antara mereka berdua. Kesulitan hidup membuat Saijan sulit mendapat pekerjaan. Kalaupun ia dapat bekerja, pekerjaan itu tak menjamin penghasilan yang tetap. Penghasilannya tak menentu. Lebih parah lagi penghasilan yang tak menentu itu, tidak cukup membiayai kehidupan ia dan dirinya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi hampir setiap hari. Mereka semakin jauh. Cinta makin tak ditemukan dalam tatapan keduanya. Yang ada hanyalah perasaan yang barangkali adalah kebencian satu sama lain. Cinta mereka tidak lagi sepuitis saat berpacaran dulu.
Setelah pertangkaran di malam itu, Saijan tidak pulang ke rumah. Istrinya pun juga tak mencari. Tetapi melalui para tetangga, Tini tahu bahwa Saijan berdiam di hutan bambu. Beberapa warga melihatnya masuk ke sana. Hutan yang menjadi tempat para korban pembunuhan biadab tahun enam-lima dikubur. Tempat yang berarti di mana orangtuanya juga dikubur.
Hutan bambu itu berada di sisi terluar kampung Karang Gegger. Karena tempatnya agak terasing dari kampung, hutan bambu itu menjadi salah satu tempat yang dianggap angker.  Bambu-bambu di hutan itu tumbuh lebat dan rimbun. Bila berada di dalamnya, kita nyaris tidak dapat melihat cahaya matahari yang dapat masuk. Keadaan di sana nyaris gelap. Barangkali karena itulah, tempat tersebut dijadikan pembuangan dan kuburan mayat. Tak ada yang berani pergi ke hutan bambu itu bahkan di siang hari. Barangkali hanya tokoh pemuka agama saja yang berani ke sana. Selain itu tidak ada. Bukankah itu adalah kuburan massal para pendosa? Tak bisa dibayangkan bagaimana arwah-arwah yang menghuninya.
“Selain Pak Ustad, yang berani pergi ke hutan itu adalah orang gila.”
Dan mereka memang menganggap Saijan sudah gila. Seminggu sudah ia tidak pulang ke rumahnya. Awalnya mereka menganggap Saijan meninggal. Tetapi beberapa warga melihat Saijan pergi ke sungai. Ia duduk di tepi sungai cukup lama, sebelum kembali ke hutan bambu. Penampakannya tak lagi menggambarkan bahwa ia seorang lelaki yang masih memiliki keluarga. Bajunya sudah sangat kotor. Wajahnya juga tidak terawat. Tampaknya selama seminggu itu ia tak pernah membersihkan diri.  Jadi, sudah jelas bahwa Saija sudah gila, bukan? Saijan juga tertangkap oleh warga berbicara sendiri saat duduk-duduk di sungai. Ya, Saijan sudah gila.
Selain terlihat di pinggir sungai, Saijan juga terkadang terlihat berjalan-jalan di sepanjang pematang. Bahkan tak jarang orang yang pergi ke sawah terkejut tiba-tiba mendapati Saijan duduk-duduk di pematang sawah. Biasanya juga Saijan kedapatan tertidur di pondokan di tengah-tengah persawahan.Melihat kondisi Saijan, para warga hanya bisa meratapi betapa malangnya nasib laki-laki itu. Tumbuh tanpa orang tua dan kini harus menjadi gila.
Tini mendengar desas-desus itu. Dia ingin menangis. Tetapi Tini menguatkan hatinya. Ia tak ingin menangisi laki-laki itu. Kalau pun ingin menangis, ia hanya akan menangis untuk nasibnya yang malang. Orantuanya sudah tak mungkin menerimanya lagi. Telah terucap sebuah serapah baginya dulu. Kini ia hanya bisa menerima takdirnya sebagai wanita yang malang.
***
Sudah bisa ditebak pembunuhnya adalah Saijan. Polisi akhirnya menemukan bukti-bukti yang mengarah pada Saijan. Ya, Saijan yang sudah gila itu. Ia telah melakukan pembunuhan itu di tengah malam gulita di pematang sawah saat melihat korban baru saja keluar dari rumahnya. Saijan mengamatinya dari jauh sebelum ia ikuti Burhan lantas menggorok lehernya dan mengiris kemaluannya.
Itu Saijan lakukan sebab setelah pertengkaran dengan istrinya di suatu malam itu, Saijan beranjak dari warung kopi dan pulang. Namun saat memasuki rumahnya betapa terkejutnya ia ketika mendapati dari celah gedek, sang istri tengah bergumul berdua sembari telanjang di atas ranjang dengan seorang lelaki. Saijan tak bisa menangkap dengan jelas siapa laki-laki itu karena lampu-lampu di rumahnya yang remang. Mereka berdua saling mendesah dan mendengus bagai dua anjing yang melepas birahi. Hati Saijan hancur. Dunia di sekitarnya seperti berputar-putar. Rasanya langit telah runtuh dan menimpanya.Ia nyaris limbung. Tetapi ia bertahan. Saijan memilih pergi menuju hutan bambu. Padahal ia ingin sekali mendatangi laki-laki itu dan langsung membunuhnya.
“Tidak malam ini,” katanya.
Tidak ada yang tahu bahwa di malam hari selama hidup di hutan bamboo Saijan selalu berjalan menuju rumahnya; mengintip siapa laki-laki yang keluar dari rumah itu. Ia bersumpah bahwa siapapun yang keluar dari rumah itu, akan ia habisi. Saijan tidak peduli lagi. Ia sudah gila.

Biodata Penulis
Yudik Wergianto lahir di Situbondo, beberapa cerpen pernah dimuat di media cetak. Dan sangat peduli kepada kawan-kawannya terutama ketika sedang patah hati.
Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto Reviewed by takanta on Januari 13, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar