Cerpen : Azab Pemuda yang Menyukai Postingannya Sendiri Karya Nanda Insadani



Seseorang mengirim pesan suara via Messenger padaku waktu matahari sepenggalan naik, “Bung, apakah kau gila? Kenapa kau menyukai postinganmu sendiri?”
Aku terkejut. Proses penggilingan nasi dan secuil daging ayam di mulutku terhenti. Bukan, bukan karena pesan suara itu, tapi karena suara pintu diketuk oleh seseorang. Aku mencoba menerka siapa sosok yang tengah berdiri di balik pintu itu. Dan ternyata...
Tidak ada.

Oh, iya, aku lupa. Suara pintu diketuk adalah nada dering tanda SMS masuk di ponselku. He-he. Aku tak heran lagi jika lupa terhadap nada dering ponsel sendiri. Bayangkan, umurku sudah dua puluh tiga tahun! Itu artinya aku tiga tahun lebih tua daripada orang yang berumur dua puluh tahun. Pantas saja aku mulai pikun!
SMS itu kubuka. Ada nama "Sayang Akuh" di layar. Aku yakin ini pasti sebuah ucapan selamat pagi dari kekasihku. Atau, pertanyaan perihal sarapan. Memiliki pacar memang membosankan.
Kita putus. Aku nggak bisa hidup bersama seseorang yang menyukai postingannya sendiri. Salam.
Kita apa? Hei, tunggu dulu, aku pasti bermimpi. Tidak mungkin kekasihku memutuskanku via SMS. Jauh-jauh hari, bahkan sebelum mengenalnya, aku sudah berencana untuk memutuskannya terlebih dahulu sebelum ia memutuskanku. Lalu, bagaimana bisa ini terjadi? Aku juga tak mengerti apa maksudnya dengan kalimat "seseorang yang menyukai postingannya sendiri". Eh, tapi kenapa...
Aku melihat kalender. Tidak, bukan kalender yang terbuat dari kertas dan ada foto artis di atasnya, tapi kalender yang ada di ponsel. 13 Februari 2018. Sial, benar-benar sial. Tanggal 13 adalah tanggal sial bagiku. Mau tahu kenapa?
Tanggal 13 Juli 2010, ibuku meninggal dunia;
Tanggal 13 Januari 2011, aku melihat pocong;
Tanggal 13 Agustus 2012, aku pergi ke sekolah untuk mengikuti Upacara Hari Kemerdekaan Indonesia;
Tanggal 13 November 2013, tahi cicak masuk ke dalam mulutku di saat diriku sedang asyik tidur siang;
Tanggal 13 Maret 2014, aku dipeluk oleh sepupu perempuanku yang tidak pernah memakai deodoran;
Tanggal 13 Juni 2015, aku ketahuan menukar sandal di masjid waktu salat Jumat;
Tanggal 13 Desember 2017, aku mengikuti kompetisi melawak sambil berdiri dan tak ada penonton yang tertawa;
Dan kini, 13 Februari 2018, aku menerima dua pesan aneh dan diputuskan oleh kekasihku secara tidak hormat. Kenapa aku selau tertimpa azab di tanggal 13?
Ah, ayolah, aku sudah dewasa. Aku sudah besar dan sudah berbulu. Tidak pantas lagi rasanya aku berpikir secara kekanak-kanakan dengan mengaitkan segala yang terjadi terhadap sesuatu yang di luar nalar. Sebagai manusia yang hanya sikat gigi ketika mandi, aku harus menjadi cerdas dan berpikir positif!
Langkah pertama untuk menghilangkan segala kenegatifan pikiran, aku harus bersih-bersih. Piring-piring harus kucuci terlebih dahulu sebelum aku menyapu dan mengepel lantai. Menjadi anak indekos bukan berarti harus bermalas-malasan. Justru dengan hidup sendiri seperti ini, gaya hidupku diuji.
Keran sudah kuputar, tapi air tak juga keluar. Ada apa lagi ini? Ah, sebuah tulisan tergurat di dinding.
Air tidak pantas untuk orang-orang yang menyukai postingannya sendiri.
Apa? Gila! Siapa yang menulis ini? Pasti Ibu Kos. Sial! Aku harus pergi mendatanginya sekarang juga. Jadi buat apa aku bayar tepat waktu jika air tak ada untukku?
Loh? Pintunya tidak bisa dibuka. Hei, ada tulisan lagi!
Tak ada jalan keluar bagi orang-orang yang menyukai postingannya sendiri.
Gawat. Sumpah, ini menyeramkan! Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa lagi berpikir positif. Ini hal yang tak lazim. Semua ini seperti ulah hantu. Atau bisa jadi, di dalam rumah ini ada seorang pembunuh yang sedang bersembunyi dan menunggu saat yang tepat untuk menghabisiku. Tidak boleh lengah! Aku harus menelepon polisi.
“Selamat siang, Pak. Maaf, bisakah Anda datang ke alamat...”
“Maaf, jasa polisi tidak untuk orang-orang yang menyukai postingannya sendiri.”
“Apa? Halo, apa? Bisakah Anda... Halo?”
Bahkan keanehan ini sampai ke kantor polisi. Apa jangan-jangan aku sedang berada di sebuah acara TV yang gemar memasukkan artis-artis ke dalam situasi yang tidak menyenangkan? Lalu di rumah ini terdapat beberapa kamera tersembunyi yang tidak kuketahui letaknya? Tapi kan aku bukan artis. Jadi tidak mungkin begitu.
Ketimbang aku berpikiran aneh-aneh, alangkah baiknya aku bermain Facebook saja untuk meredakan segala ketakutanku. Oh, tidak! Bagaimana bisa postinganku tiga jam yang lalu baru satu orang yang menyukai? Aku tahu, satu orang itu pasti...
Hah? Diriku?
Aku menyukai postinganku sendiri?
Ha-ha. Kenapa aku terkejut? Begitulah aku. Aku selalu menyukai postinganku terlebih dahulu dan menjadi orang pertama yang menyukainya sebelum orang lain menyukainya.
Facebook terasa sepi. Bagaimana kalau aku membuka Instagram?
Apa? Masih satu orang yang menyukai?
Aneh sekali ketika fotomu hanya di-love oleh dirimu sendiri padahal pengikutmu mencapai ribuan orang. Tidak bisa dipungkiri, ini adalah konspirasi global! Perusahaan TV swasta Indonesia tentu bekerja sama dengan Mark Zuckerberg dan, (ah, aku tidak tahu siapa pencipta Instagram) untuk dapat membuat akunku menjadi tidak terlihat dan postinganku tidak muncul di beranda orang-orang.
Tetapi, benarkah ini semua karena ulahku yang selalu menyukai postingan sendiri? Apa salahnya menyukai postingan sendiri? Bukankah itu berarti kita mencintai diri kita sendiri? Kita menghargai apa yang kita kerjakan? Kita mengapresiasi setiap apa yang kita buat?
Ha-ha. Tentu saja bukan itu tujuanku menyukai postinganku sendiri. Aku menyukai setiap postinganku itu agar jumlah penyuka postingan tersebut satu orang lebih banyak dari seharusnya. Contohnya begini, jika jumlah penyuka postinganku adalah 99 orang, dengan aku turut menyukainya juga, berarti jumlah penyuka postinganku menjadi 100 orang. Dengan kata lain, aku berusaha memperbanyak jumlah suka pada setiap postinganku!
Hei, ada apa dengan ponselku? Kenapa tiba-tiba ia mati? Ponsel di atas dua juta tidak mungkin bisa mati sendiri apalagi tanpa sebab yang jelas.
Orang-orang yang menyukai postingannya sendiri tidak pantas memiliki ponsel.
Waw, lihat! Sekarang ponsel ini seakan kesurupan dan memunculkan tulisan yang berusaha terlihat tegas. Tidak mungkin ini ulah seorang manusia. Tidak mungkin ini upaya para pembuat acara TV atau si vendor ponsel. Kini aku percaya apa yang dikatakan orang-orang, bahwa tanggal 13 adalah tanggal setan!
Aku berdiri dan berjalan menuju kamar. Kubusungkan dada agar setan-setan yang melihat tahu bahwa manusia ini tidak merasa gentar sedikit pun. Mulutku terus merapal doa-doa. Semua doa yang ada di dalam otakku berusaha kurapal. Ada doa mau makan, doa berbuka puasa, doa sebelum tidur, doa sehabis buang air besar, doa ketika melihat ular, doa sehabis mimpi basah, ah, pokoknya harus doa!
Setiba di kamar, aku mengambil tasbih. Ini adalah tasbih peninggalan mendiang kakekku yang terbuat dari butir manik-manik Eropa. Setan pasti takut. Setan pasti...
“Sungguh, merugilah kaum yang menyukai postingannya sendiri, kecuali mereka memohon ampun dan berjanji tak akan melakukannya lagi.”
Suara apa itu? Siapa yang berbicara? Keluar kau, setan! Tipu dayamu tak mempan kepada manusia baik sepertiku! Keluarlah kau, maka akan kucekik lehermu dengan... Ah! Tolong!
...
Ya ampun. Aku mati. Aku sudah mati. Tasbih yang kugunakan untuk mencekik leher setan, malah mencekik leherku sendiri.  Lantas, kenapa tubuhku masih di sini? Kenapa tak ada yang berinisiatif untuk menguburnya?
Bagi orang-orang yang menyukai postingannya sendiri, mati pun mereka mesti mengubur diri mereka sendiri.
Kalimat tersebut tergurat jelas di lengan kananku. (*)


Tentang penulis:
Nanda Insadani yang bukan siapa-siapa ini lahir di Medan. Gemar membaca dan berpikir. Kumpulan cerpen terbarunya "Ketakutan Seorang Penulis Miskin" akan segera terbit. Kini ia mengadu nasib di Pulau Borneo. Dapat ditemui di Facebook: Nanda Insadani.

Cerpen : Azab Pemuda yang Menyukai Postingannya Sendiri Karya Nanda Insadani Cerpen : Azab Pemuda yang Menyukai Postingannya Sendiri Karya Nanda Insadani Reviewed by Redaksi on Maret 10, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar