Cerpen : Sepotong Kue Kekuasaan


Dari catatan kuno yang berhasil kutemukan, tercatat di sana; pernah berdiri sebuah negeri. Namun, catatatan usang tersebut tidak menyebutkan nama negerinya. Tetapi, aku dapat mengilustrasikan tipologi para warga dan para penguasanya; penduduk negri itu memiliki kebiasaan yang unik—yakni suka ikut-ikutan atau gemar mengikuti trend,  kuambil misal, bila negeri sebelah memiliki budaya pop boy band dan girl band maka seluruh penduduk negeri tersebut berbondong-bondong menggemari hingga membentuk boy band dan girl band sebagaimana negeri sebelah. Begitu pula dengan para penguasanya, sama halnya dengan para rakyatnya— mereka pun suka ikut-ikutan; bila negeri sebelah memakai sistem kenegaraan demokrasi liberal, makan sistem pemerintahan negeri itu pun berubah, dari fasisme menjadi demokrasi liberal, sebagaimana negeri sebelah.
Demikianlah sekilas gambarannya, dan demi kepentingan imajiner, alangkah baiknya kunamai saja negeri tersebut, dengan nama; Negeri Bebek—sebab penduduk dan penguasanya suka ikut-ikutan—membebek.
Belum pernah terjadi sebelumnya, perkara sepotong kue begitu menggemparkan, ini bermula dari komentar Syekh Abdullah terhadap sepotong kue yang tiba-tiba berada dalam istana. “Sungguh tak masuk akal. Pastinya sepotong kue itu, bukanlah kue sembarangan,” komentar Syekh Abdullah di hadapan para jamaahnya. “Coba kalian bayangkan, tiba-tiba kue itu berada saja di meja makan Baginda Presiden, sedangkan para juru masak istana, tidak seorang pun yang mengaku telah membuat kue tersebut. Dan aku sarankan pada Baginda Presiden tuk tidak memakannya—nanti harus melakukan kajian mendalam terhadap kue misterius tersebu—untuk sementara kue itu kuberi nama; Sepotong Kue Kekuasaan,” ujar Syekh Abdullah, semenjak itulah baik para penguasa maupun para warga menyebutnya kue sepotong kue kekuasaan, dasar negeri Bebek.
Atas komentar Syekh Abdullah—terhadap Sepotong Kue Kekusaan, terjadilah polemik dalam masyarakat, masyarakat pun terpecah menjadi dua golongan—golongan pertama mendukung pernyataan Syekh Abdullah, menganjurkan pada Baginda Presiden tuk tidak terburu-buru memakan Sepotong Kue Kekusaan itu. Sedangkan golongan kedua; menganjurkan pada Baginda Presiden tuk segera Memakan Sepotong Kue Kekusaan itu. Karena gunjang-ganjing dalam masyarakat kian meruncing—Baginda Presiden pun resah, dan akhirnya beliau memanggil Syekh Abdullah ke istana, berikut para cendikiawan, para penasehat, dan segenap menteri kabinet tuk membahas perkara; Sepotong Kue Kekuasaan.
 Tampak Baginda Presiden duduk di kursi gading emasnya, kemudian ia berujar membuka rapat, setelah menyampaikan sepatah dua kata, Baginda Presiden menyilahkan Syekh Abdullah tuk membuka pembahasan mengenai Sepotong Kue Kekusaan yang kini menuai pro dan kontra dalam masyarakat.
“Sungguh aneh, sepotong kue tiba-tiba berada di meja makan Baginda—saran hamba; Baginda jangan lekas memakan kue tersebut,” suara Syekh Abdullah, begitu halus dan merdu.
“Kenapa?” tanya Baginda.
“Hamba kuatir. Sepotong Kue Kekuasaan itu,” tukas Syekh Abdullah, seraya menghentikan pembicaraannya dan melirik Sepotong Kue Kekuasaan yang teronggok di meja Baginda Presiden, selanjutnya Syekh Abdullah melanjutkan kata-katanya; “Hamba kuatir, kue itu berbuah petaka. Coba perhatikan secara seksama—kue itu nampak lezatnya, siapa saja yang melihatnya, pasti akan tergiur tuk melahapnya, dan hamba yakin Baginda sendiri, secara naluriah sudah tak sabar tuk memakannya. Dalam hal ini, hamba hanya mampu memberi saran—Baginda jangan terburu nafsu, lakukanlah penelaahan secara mendalam terhadap kue itu,” ujar Syekh Abdullah.
Mendengar penjelasan dari Syekh Abdullah, Baginda Presiden manggut-manggut seperti mengerti. Namun, sesungguhnya hati dan pikirannya tengah dilanda bingung tiada berketepian.
“Menurut hamba, Baginda,” salah-seorang penasehat istana berkomentar. “Silahkan,” tukas Baginda. “Sepotong Kue Kekuasaan itu, telah dianugerahkan Tuhan pada Baginda, saran hamba—lekaslah makan, barangkali kue itu, akan menjadikan Baginda hidup abadi sepanjang masa, dan kue itu, dapat melanggengkan kekuasaan Baginda,” tutur penasehat itu.
Mendengar buah pikiran penasehatnya. Baginda Presiden tercenung, dalam hatinya; barangkali benar apa yang dikatakan penasehatnya, dan bila benar demikian, sungguh anugerah yang amat didambakannya—hidup abadi dan berkuasa sepanjang zaman—sungguh impian yang membahagiakan. Tanpa disadarinya, Baginda Presiden senyum-senyum sendiri, terbuai sebuah mimpi, menjadi penguasa abadi.
“Mohon izin berpendapat Baginda, Syekh Marawis mengacungkan tangan, karena kepandaiannya dan kedalaman ilmunya, beliau diangkat sebagai menteri pendidikan oleh Baginda Presiden, kendati pada kenyataannya; Syekh Marawis membuat kurikulum pendidikan, membebek pada kurikulum menteri-menteri pendidikan yang lalu-lalu, dan tetap saja rakyat Negeri Bebek, menjadi rakyat yang dijejali pendidikan yang mengajarkan tuk membebek. Sesungguhnya Syekh Abdullah pun ditawari jabatan menteri komunikasi dan informasi oleh Baginda Presiden. Namun, Syekh Abdullah menolaknya, dengan alasan, ia takut tak amanah dalam menjalankan tugasnya, hingga kekuasaan yang sejatinya mendekatkan diri pada surga, salah-salah kekuasaan akan menyeretnya ke dalam api neraka. Baginda Presiden pun tak bisa memaksa—sebab terlanjur menganut sistem demokrasi liberal—yang katanya menjunjung tinggi kebebasan.
Setelah mengambil napas sejenak Syekh Marawis melanjutkan kata-katanya; “Baginda, pendapat hamba terhadap Sepotong Kue Kekuasaan. Hamba sepakat dengan pendapatnya tuan Syekh Abdullah—yang menyarankan pada Baginda tuk tidak terburu-buru menikmati kue tersebut. Hamba juga sepakat dengan tuan Penasehat Istana—yang mengatakan bahwa kue itu, sesungguhnya diperuntukan Tuhan pada Baginda, karenya; Baginda berhak memutihkan atau pun menghitamkan kue tersebut. Saran hamba; lakukanlah pengkajian secara mendalam terhadap kue itu. Namun, tetap keputusan ada ditangan Baginda Presiden,” ujar sang menteri pendidikan, dengan nada suara yang lembut, mendayu-dayu, berirama.
Seiring waktu yang terus bergulir, rapat pun ditutup, dan Baginda Presiden memutuskan akan mengkaji secara mendalam terhadap Sepotong Kue Kekuasaan tersebut; baik dari persepektif kandungan gizi maupun filosofi, sebab tak tertutup kemungkinan sepotong kue itu, disusupkan oleh seorang pemberontak, dengan tujuan membunuh Baginda Presiden, atas pertimbangan itulah, Baginda Presidan pun, urung tuk menikmati kue, padahal ia sungguh tak sabar ingin segera menikmatinya.
ΩΩΩ
Demi sepotong kue kekuasaan, uang pun digelontorkan amat banyaknya, untuk pengkajian secara mendalam terhadap kue itu, seakan Baginda Presiden tak lagi peduli pada negerinya sendiri yang tengah dilanda krisis, dan rakyat dalam keadaan banyak yang kelaparan.
Dua bulan berselang—setelah rapat itu. setelah pengkajian mendalam, diambilah simpulan; bahwa Sepotong Kue Kekuasaan merupakan hak mutlak Baginda Presiden, adapun kandungannya amat kaya gizi, dan pastinya lezat rasanya tiada duanya.
Atas simpulan itu; Baginda Presiden membuat keputusan, beliau membagi-bagikan Sepotong Kue Kekuasaan pada segenap kroco-kroconya—kroni-kroninya.
“Baginda Presiden, sungguh tak bisa bertindak adil,” tutur Syekh Abdullah pada perkumpulan-perkumpulan masyarakat. “Coba kalian bayangkan, ditengah negeri kita sedang dilanda krisis, terjadi inflasi—nilai mata uang kita melemah dari nilai mata uang Negeri Atas Angin, para karyawan dipecat dari tempatnya bekerja, rakyat kian kelaparan. Eh, Baginda Presiden malah asyik-asyikan dengan kroni-kroninya menikmati Sepotong Kue Kekuasaan,” ujar Syekh Abdullah, diamini segenap penduduk Negeri Bebek.
Sontak serentak, para warga Negri Bebek pun melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Baginda Presiden, yang menurut mereka telah bertindak semena-mena dan tidak adil—mengunyah sepotong kue kekuasaan ditengah negeri dilanda krisis dan rakyat tidak sejahtera. Terjadilah sebuah revolusi berdarah. Negeri Bebek hancur porak poranda. Dan setelah kejadian itu, berabad-abad selanjutnya, Negri Bebek pupus dari peta dunia, dan para sejarawan, mengenal Negri Bebek, sebagai negeri antah-berantah.

Selesai
Rangkasbitung, Banten, 27 Maret 2019

BIODATA PENULIS
Agus Hiplunudin adalah sastrawan sekaligus akademisi; kumpulan puisi terbarunya berjudul ‘Nya’ dipublikasikan oleh Spektrum Nusantara pada 2019.
Cerpen : Sepotong Kue Kekuasaan Cerpen : Sepotong Kue Kekuasaan Reviewed by Redaksi on April 14, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar