Sebuah Cerita Horor Tentang Pernikahan




Sepuluh bulan yang lalu, saya sedang duduk dengan gamang di ruang tamu salah satu vendor undangan pernikahan. Saya membaca ulang, berkali-kali, hampir puluhan kali nama yang tertera pada undangan yang telah jadi tersebut. Ada nama saya dan seorang laki laki, juga nama kedua orang tua kami, serta tanggal dan tempat acara. Saya berkali kali meyakinkan diri saya jika detik itu saya tidak sedang bermimpi. Saya seperti ingin keluar dari fragmen itu.
Laki laki di sebelah saya, yang namanya juga tercetak di dalam undangan tersebut nampaknya menginginkan hal yang sama. Hanya saja raut mukanya lebih bisa terkontrol. Pemilik vendor menjelaskan panjang lebar bonus-bonus yang kami dapatkan karena kami telah memesan undangan kepadanya. Telinga saya mendengar tapi pikiran saya tidak di sana. Saya mengingat-ingat, apa iya saya benar-benar memasang nama saya di sana? Saat itu saya hanya ingin membakar tujuh ratus undangan di hadapan saya.

Barangkali perasaan-perasaan demikianlah yang dirasakan beberapa orang sebelum menikah. Atau jangan-jangan hanya saya? Kadang saya berpikir, mengapa saya memutuskan menikah? Mengapa saya, yang notabene keras kepala pada akhirnya mau berkompromi membagi seluruh yang saya punya dengan orang lain yang baru saya kenal dua tahun belakangan?
Beberapa orang memutuskan menikah karena teman-teman seusianya sudah menikah. Beberapa yang lain karena telah menemukan yang mereka cari. Sebagian kecil lainnya karena terpaksa. Tapi diakui atau tidak, beberapa saat sebelum menikah, muncul perasaan-perasaan ingin kabur dari pernikahan, perasaan ragu, atau muak dengan segala hal yang membicarakan pernikahan. Saya membaca beberapa jurnal tentang sindrom pra pernikahan. Beberapa di antaranya menyebutkan ciri-ciri ‘ingin kabur’ sebagai suatu sindrom pra pernikahan, secara urban disebut Bridezilla.
Mungkin, orang-orang tua kita menyebutnya sebagai ‘godaan menjelang pernikahan’. Padahal, secara psikologis, kita sedang gemetar dan grogi mempersiapkan pernikahan. Ada ketakutan tentang bagaimana hidup setelah pernikahan, keberadaan anak, hubungan dengan mertua, finansial, dan sebagainya. Namun, secara tidak sadar hal itu diterjemahkan sebagai perasaan ‘ingin kabur’ atau ‘belum siap’.
Terkadang saya berpikir, atau jangan jangan karena pola pernikahan di Indonesia ini cukup ruwet dan rumit, ya? Bayangkan saja, belum-belum, ada ucapan ‘kamu bukan hanya menikahi pasanganmu, tapi juga keluarga dan lingkungan sosialnya’. Membayangkan harus beramah tamah dengan banyak orang baru, menghapalkan pohon keluarga orang lain (yang bahkan pohon keluarga kita sendiri saja ribuan tahun belum hapal), dan membangun citra diri yang luar biasa di depan keluarga dan atau rekan-rekan pasangan, tentu membuat begidik. Belum lagi jika kamu menikahi sandwich generation, atau bahkan dirimu sendiri adalah sandwich generation, betapa rumitnya membagi cita-cita rumah tangga yang bergelimang harta dengan kewajiban membahagiakan orang tua (baca: menanggung biaya sekolah adik-adik dan kehidupan sosyel mama papa).
Sulitnya memiliki tempat tinggal atas nama sendiri juga menghantui pasangan-pasangan muda yang akan menikah. Lonjakan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan upah pekerja. Berdasarkan data Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia (BI), harga hunian naik 39,7 persen dalam satu dekade. Sedangkan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) di seluruh Indonesia per-tahun dengan memperhatikan pertimbangan tingkat inflasi masih belum sebanding. Mau mengontrak? Coba survei harga kontrakan, bikin geleng-geleng kepala. Pada akhirnya mau tidak mau, Pondok Mertua Indah jadi pilihan. Pondok Mertua Indah memang punya fasilitas lengkap. Tapi diimbangi dengan kebaperan tingkat tinggi. Mau bangun siang? Jadi menantu tidak tahu diri. Mau beli makan di luar? Dikira tidak suka dengan masakan ibu mertua. Pokoknya jadi serba salah.
Menjadi perempuan yang menikah jadi lebih sulit dua kali lipat. Apalagi jika kamu dikelilingi tukang nyinyir. Ketakutan paling mendasar adalah pertanyaan pertanyaan menjijikkan semacam ‘kapan punya anak?’ tentu akan selalu ditujukan kepada perempuan. Entah bagaimana mulanya, pertanyaan demikian sembilan puluh persen ditujukan untuk perempuan. Padahal perempuan tidak membelah diri, kan? Laki-laki turut andil juga, kan?
Ketakutan tidak lagi mendapat pekerjaan juga menghantui. Entah kenapa, rasa-rasanya kebanyakan perusahaan menginginkan mereka yang jomblo-jomblo saja yang bekerja. Coba amati, kebanyakan selalu menyantumkan syarat ‘belum menikah’. Memang apa hubungannya kualitas dan kemampuan pekerja dengan status hubungan? Berbahagialah kalian para fakir asmara, bekerjalah sampai lupa rasanya patah hati. Lebih parah lagi, jika terjadi kepada pekerja perempuan. Salah satu teman saya gagal menduduki posisi manager di salah satu fashion retail hanya karena dia perempuan yang sudah menikah. Perusahaan lebih memilih memberikan posisi tersebut kepada pekerja laki-laki, meskipun pekerja laki-laki tersebut juga telah menikah. Perusahaan menganggap, perempuan yang telah menikah ruang geraknya akan terbatas.
Tapi, bagaimanapun, pada akhirnya, saya tidak jadi membakar undangan pernikahan saya. Saya tetap menikahi pasangan saya, meski sampai sekarang ketakutan-ketakutan saya beberapa sudah terbukti. Tulisan ini memang tidak solutif dan cenderung menakut-nakuti kamu yang akan menikah atau berpikir ke arah pernikahan. Supaya kamu, terutama kamu yang mau menikah muda karena quote-quote hijrah dan slogan ‘hindari zina, dekati KUA’ berpikir seribu kali. Sebab, menikah bukan cuma soal kelon kelon halal. Tapi ada banyak hal yang akan kamu hadapi di masa yang akan datang. Selamat berpikir. []

Sebuah Cerita Horor Tentang Pernikahan Sebuah Cerita Horor Tentang Pernikahan Reviewed by takanta on Januari 01, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar