Cinta Tak Pernah Ada Batas



“Hai, perempuanku, apa kabar…”
Tidak seperti biasanya aku memanggilmu dengan sebutan ‘perempuanku’, saat ini aku ingin berkejar-kejaran denganmu di angan-anganku. Kau adalah gadisku yang biasa memberikan senyuman di saat mataku redup harus jauh darimu, dan yang biasa memberikan tawa di saat aku ingin mendengar tawa renyahmu di kedua telinga ini, dan memberikan pundakmu untuk menjadi sandaran setiap masalah yang menimpaku.

Perempuanku yang biasanya hadir di setiap kedipan pelupuk mata dan tetesan air mata bahagia, apa kabarmu, sayangku…
Sebenarnya, kata ‘sayang’ pun sepertinya tidak akan pernah berani aku lantunkan untukmu, perempuanku. Aku yang selalu melihat langkah-langkahmu di setiap jengkal tanah yang kau lewati, dan setiap bayangan yang selalu mengiringi indah tubuhmu di saat kau mulai menjauh dariku. Apakah masih ada sedikit celah untuk aku lewati dan masih adakah kesempatan untuk bisa menyelami lebih dalam di sela-sela hatimu.

**
“apa kabar, perempuanku?” kataku menyapanya.
“bae-bae…. Kamu sendiri gimana...“ sebuah jawaban terlontar dari mulut mungilnya, yang selalu aku rindukan akan hadirnya.
“lama juga ya, kita tidak ketemu…. atau barangkali, kamu merasa senang, kalau kamu bisa jauh dari aku” aku sedikit menggodanya.
“ehm… gimana ya… nggak tuh, biasa-biasa saja”
Jawaban itu yang selalu dan selalu terlontar dari mulut mungilnya dan semua lembaran-lembaran kalimat itu membuat aku semakin merasa dibuat seperti kincir angin yang akan selalu terombang-ambing terbawa arah angin yang mengalir tak tentu arah.

“Maksud kamu… apaan, dengan kata ‘biasa-biasa aja’ itu..”
“ya… ngga’ tau, sa’karep….”
Apalagi kalau muncul sebuah jawaban sa’karep yang artinya dalam bahasa Jawa ‘terserah’.
Waduh…. Perempuanku yang semakin membuat aku bingung. Jangan kau bikin aku ini semakin membuyarkan semua warna akan dirimu. Padahal aku sudah berkali-kali bilang kepada kamu, kalau sampai saat ini, sampai detik ini, aku tetap tidak bisa melepas begitu saja tanpa ada kesempatan untuk bisa lebih dalam dekat denganmu.

Aku akan selalu mencoba untuk bisa lebih dekat dengannya, karena ada sesuatu yang memang tidak pernah terjawab dengan jelas sampai saat ini. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu aku dan perempuanku sama-sama pernah kuliah satu kampus di kota Surabaya ini.

Dia, perempuanku yang selalu tak pernah dirundung kesedihan, perempuan yang seakan-akan hidupnya penuh dengan senyuman dan yang jelas semua akan bisa menyapanya ketika dia hadir di tengah-tengah temannya. Dia, perempuanku yang selalu aku rindukan untuk bisa memberi jawaban yang lebih berarti.

**
Aku siapkan segenggam bunga mawar merah yang berjumlah sembilan belas tangkai saat itu. Bunga mawar merah yang menurutku saat itu, bisa mewakili akan rasa yang aku miliki untuk perempuanku. Aku khususkan bunga itu untuk hari jadinya yang ke sembilanbelas. Saat itu, aku bawakan bunga mawar sejumlah dengan angka ulang tahunnya dengan harapan, dia akan mengerti bahwa kalau saat itu, aku memang sangat berharap dia mau menerima aku sebagai teman dekatnya. Sekedar teman dekatnya, karena untuk melangkah lebih jauh, seakan kakiku tidak akan sanggup dan terasa kaku membiru untuk bisa mendekatinya. Tapi apalah arti dari segenggam mawar merah berjumlah sembilan belas baginya, kalu memang yang memberikan hanyalah aku. Yang mungkin saat itu, sangatlah tidak berarti di pelupuk matanya.

“Hai, perempuanku.. apa kabar?”
Jauh-jauh hari ketika menyambut datangnya liburan semester, saat itu aku sudah mulai menyiapkan sesuatu untuknya.
“Hai, perempuanku… liburan semester nanti, kamu ada acara apaan?” tanyaku.
”kaya’nya.. di rumah aja, karena di rumah ada hajatan” jawabnya singkat.
“ehm…. Emangnya hajatan apaan, boleh nggak liburan nanti aku mampir ke rumahmu”.
“ga’ usah lah… kamu kan sibuk, apalagi rumahku jauh..”
“emangnya, nanti kamu pulang sama siapa sih..”
“ye… emangnya kenapa?”
“ya.. sapa tau aku bisa nganterin”
Sebelum pertanyaanku selesai, tahu-tahu dia meninggalkan aku begitu saja. Apakah pertanyanku yang konyol ataukah memang dia yang tidak mau lagi melihat dan bicara lagi denganku. Aku paksakan dengan keberanian yang seadanya, dari kejauhan aku selipkan pertanyaan untuknya.
Sambil aku tarik tangannya, aku bilang, “kamu pulang kapan, jam berapa?”
Dia agak marah ke aku tapi yang kuharapkan akhirnya keluar juga dari mulut mungilnya. Dia menjawab,” aku pulang lusa, jam enam pagi”.

Seketika itu, hati ini terasa seperti teriknya tanah arafah yang tersiram salju antartika. Gembira, senang, merasa dianggap dan rasa sedih melebur jadi satu. Saat itu yang ada dalam pikiranku adalah, bagaimana caranya agar bisa menyenangkan hati perempuanku ini, ketika dia akan meningglkan kampus menikmati liburan di rumahnya. Kereta bisnis Argobromo yang akan mengantarkan perempuanku ke kampung halamannya sudah terbayang jelas di otakku.

Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk perjalanan jauh, sudah aku siapkan dengan harapan yang begitu dalam, agar perempuanku bisa senang dalam perjalanan nantinya. Dari makanan ringan sampai minuman yang dia sukai, sudah aku siapkan untuknya. Semuanya sudah aku berikan padanya, ketika dia berpamitan akan pulang menggunakan kereta. Aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan, perempuanku.

Dengan harapan yang begitu besar akan perhatianku ini padanya, agar dia tahu betapa aku sangat mengharapkan bisa menjadi teman dekatnya saja. Hanya sekedar teman dekatnya, karena melangkah lebih jauh, seakan kakiku tidak akan sanggup dan terasa kaku membiru untuk bisa mendekatinya. Tapi apalah artinya sebuah makanan ringan dan minuman yang aku bingkiskan untuknya. Walaupun semua barang itu, aku dapatkan dengan pengorbanan yang sangat besar, karena saat itu aku harus mengorbankan sepedaku satu-satunya terpaksa dijual sebagai pengganti biaya pengobatan seorang anak kecil yang aku tabrak di jalan saat beli barang-barang itu.

Begitu kecewa dan merasa tidak dihargai sama sekali, ketika aku tahu kalau semua bingkisan yang penuh perjuangan itu ternyata tidak menemaninya pulang ketika di kereta. Tapi semuanya ternyata, dikasihkan ke orang lain, yaitu teman-teman satu kos dengannya.
Perempuanku, betapa kamu sudah membuat hati ini kecewa. Betapa, kamu telah membakar sebagian dari satu-satunya anugerah yang aku punya, yaitu kesabaran.

“Hai, perempuanku… apa kabar?”
Lima tahun telah kita lalui tanpa memberi selembar kabar dan just say hello. Apakah aku masih pantas memiliki sedikit celah untuk bisa menghirup udara segar hidup berdampingan bersamamu. Meskipun tidak ada yang tahu, engkau saat ini bertempat dimana tapi perempuanku, akan  selalu tetap di pelupuk mataku ini.

“Hai, perempuanku… apa kabar?”
Aku masih ingat betul ketika kamu mengalami kecelakaan ringan. Saat kamu harus di bawa ke rumah sakit dan saat itu tangan kanan kamu harus mendapatkan perawatan secepatnya. Tapi apakah ini sebuah kebetulan ataukah ini sesuatu yang sudah digariskan oleh Tuhan untukku. Ketika itu, uang yang aku miliki hanya tinggal satu-satunya, setelah kudapatkan dari bekerja seharian penuh di tempat pencucian mobil milik temanku. Uang itu sebenarnya, akan aku gunakan untuk melunasi biaya kuliahku yang sudah dua semester ini nunggak, karena orang tuaku tidak bisa mengirimnya. Mereka berdua sudah dua tahun ini menghadap padaNya. Mereka mengalami keracunan makanan di sebuah jamuan makan malam undangan temannya. Sudahlah, mereka memang sudah waktunya menghadap-Nya. Tapi dengan sepenuh hati dan tanpa beban sedikitpun, uang itu terasa lebih berharga untuk pengobatan tanganmu yang terkilir saat itu. Apakah itu karena dorongan harapan darimu atau hanya sekedar rasa kasihan. Aku tidak bisa menjawabnya.

“Hai, perempuanku… apa kabar?”

**
Tidak terasa  sebelas puntung rokok telah menghiasi asbakku yang sedari tadi setia menemaniku kesana-kemari terbang bersama dirimu, perempuanku. Tinggal satu batang lagi, rokok Gudang Garam Interku terjepit erat di kedua jariku. Haruskah aku bakar juga rokok ini, rokok yang tinggal satu batang ini. Haruskan aku bakar juga, agar panasnya rasa sayangku ini pada perempuanku akan tetap bisa membara seperti lima tahun yang lalu. Seakan bisa menyulut kembali harapan-harapan akan jawaban darimu, yang seakan telah hangus terbawa abu rokok tertiup angin.

Bunyi langkah jarum jam tembok yang selalu bertengger kuat di tembok, persis di depan mukaku menggelantung di atas pintu. Bunyi langkah jarum panjang di angka duabelas, yang menandakan saat ini tepat jan satu dini hari. Menggetarkan telinga yang sedang ikut berkelana bersama, perempuanku. Jam tembok yang tidak pernah merasa lelah menemani aku di saat seperti ini. Di saat aku bisa menggandeng tanganmu dan berjalan berbarengan menyusuri lorong-lorong, gang-gang, dan trotoar di sepanjang jalan Surabaya ini. Masihkan hatiku ini mampu untuk selalu bisa berjalan dan terus berputar mengisi sebagian jawaban yang sampai saat ini belum pernah memberikan arti yang jelas bagiku.

Bagiku, perempuanku adalah cahaya mentari yang tak pernah padam dalam menyinari seluruh relung di hati ini. Biarkan semua ini bisa berjalan di atas jalanan tanpa ada bebatuan sekecilpun dan kerikil tajam yang akan menghadang. Perempuanku, yang selama ini masih membisu dan tampak ragu begitu haru memendam semua jawaban yang tak pernah terungkap. Mampu terbaca dari semua untaian nafasmu, yang bisa terjawab meski tak bisa terdengar. Tulisan tanganmu yang begitu indah akan selalu bisa kubaca meski semuanya tak pernah bisa berbentuk.

“Hai, perempuanku, apa kabar?”
“Selamat jalan”
Kata itu yang saat ini dengan terpaksa harus aku sampaikan kepadamu. Kembalilah kepada Tuhan-Mu yang akan selalu setia menemanimu. Di sanalah tempatmu saat ini untuk menyimpan semua jawabanmu untukku. Berjalanlah dengan tenang di sisi-Nya, dengan segenggam jawaban yang tak pernah Kau berikan. Berbaringlah dengan damai di pelukan-Nya, dengan semua jawaban yang tak pernah jelas tergambar untukku.
“Selamat jalan, perempuanku, biarkan semua jawaban hanya ada dalam angan-anganku.”. kata terakhirku untuk perempuanku.
 __________________
*) Penulis merupakan Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Besuki. Penyuka sastra.
Cinta Tak Pernah Ada Batas Cinta Tak Pernah Ada Batas Reviewed by takanta on Januari 25, 2020 Rating: 5

1 komentar

  1. Cinta tulus yang tak bersyarat dan tak berbalas berakhir tragis namun tetap membara....

    BalasHapus