Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual



Tidak pernah ada ‘selesai’ dalam mendiskusikan “Jawa”, sebagaimana dikatakan oleh Justus Van Der Kroef bahwa tujuan tatanan sosial masyarakat Jawa adalah homeo-statis, melingkupi keseimbangan, keselarasan, harmoni, dan sinergi.[1] Berbicara mengenai keselarasan dan keseimbangan akan menarik jika dikaitkan dengan feminisme. Kesetaraan gender selalu jadi bahasan yang tidak pernah habis apalagi jika dikaitkan dengan masyarakat Jawa. Hermawati dalam tulisannya berjudul Kesetaraan Gender dalam Budaya Jawa menjelaskan budaya patriarki yang cukup besar dalam pandangan masyarakat Jawa. Pemahaman yang muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa yakni dengan adanya ungkapan-ungkapan tradisional mengenai gender, misalnya istri hanyalah kanca wingking artinya sebagai teman dibelakang, yang tugasnya mengelola urusan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, mencuci, dan lain-lain. Selain itu terdapat pula istilah swarga nunut neraka katut yang artinya kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga. Namun jika suami masuk neraka, istri juga ikut masuk neraka karena mengikuti suaminya. Ungkapan lain yang mengunggulkan budaya patriarki adalah adanya tugas domestik istri bahwa seorang istri mempunyai tugas manak, macak, masak. Istilah ini memberikan pengertian bahwa tugas istri hanyalah memberikan keturunan, berdandan, dan memasak.[2]
Terkait dengan bias gender, Syeh Amongraga dalam Serat Centhini berhasil mematahkan pandangan budaya Jawa dalam memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814-1823 Masehi ini memberikan gambaran mengenai budaya dan cara pandang masyarakat Jawa. Salah satu cara pandang masyarakat Jawa yang dapat dilihat dalam Serat Centhini adalah cara pandang mengenai keadilan gender.[3] Gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perbedaan dalam penilaian sosial. Gender secara ringkas didefinisikan sebagai “the socially constructed ways in which we live out our identity as males or females” yang artinya konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup sebagai lelaki atau perempuan.[4] Pada tahun 1814-1823, para pujangga melalui tokoh Syeh Amongraga sudah membela keadilan gender. Menempatkan lelaki dan perempuan dalam kedudukan yang sama. Jika merujuk pada teori perwujudan keadilan Fudyartanta (1974)[5], maka sikap Syeh Amongraga merupakan perwujudan dari keadilan sosial.
Pembahasan mengenai perempuan yang dianggap lebih rendah dari laki-laki selalu erat kaitannya dengan kekuasaan dan ekonomi, utamanya di Jawa. Hal tersebut berbanding terbalik dalam Serat Centhini, yakni kedudukan perempuan cukup setara dengan laki-laki karena kaitannya dengan hal batin dalam keadilan sosial. Namun, nilai-nilai patriarkis selalu tumbuh subur dalam lingkup kekuasaan, misal dalam tradisi keluarga bangsawan Jawa, seperti yang dialami Kartini dan hal lain seperti pergundikan dan buruh pada perkebunan di Deli. Dari dua kasus tersebut kita bisa melihat bahwasanya perempuan menjadi alat untuk memperkuat posisi kekuasaan dan menciptakan hegemoni yang lebih besar pada seorang laki-laki. Dalam teori kekuasaan Jawa, seperti ditulis oleh Justus Van der Kroef dalam bukunya Indonesia in The Modern World[6], bahwa pertemuan pria-wanita menjadi suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan keraton, untuk mempertahankan simbol kesaktian kekuasaan Sang Raja maka diperlukan sebuah simbol lain yang tergambarkan dengan kelompok penari perempuan yang disebut bedhaya[7]. Hal tersebut juga dipertegas oleh pendapat Bennedict Anderson dalam bukunya Kuasa-Kata, bahwa pertanda sosial konsentrasi kekuatan, salah satunya adalah kesuburan yang tercermin dari seorang wanita, jadi tanda kekuasaan didapat dengan memiliki wanita-wanita yang dianggap subur dan terbaik dari sekian wanita lainnya.[8]
Sistem Patriaki yang dipahami sebagai salah satu contohnya yakni pada kehidupan anak perempuan bangsawa Jawa yang menjalani pingitan[9], yang dilarang berinteraksi dengan dunia luar karena dipersiapkan untuk menikah dengan calon suami yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, seperti yang dijalani oleh Kartini. Kartini menjalani pingitan sekitar awal tahun 1892 setelah dia lulus dari ELS. Dari hal tersebut kita dapat melihat mengenai ketidak-adilan gender, karena perbedaan kelamin, Kartini harus dipingit berserta adik-adik perempuannya, sedang kakak laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.[10]
Hal lain dapat kita temukan kembali pada masa Pemerintahan Kolonial, mengenai pergundikan, dimana perempuan selalu menjadi objek laki-laki, hal ini menjadi permakluman oleh para orang Jawa utamanya, karena memang banyak korban pergundikan dan buruh perempuan yang berasal dari Jawa. Salah satu contohnya, pada pertengahan abad Ke-19, Di perkebunan Deli, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di lain sisi, para direksi perkebunan memiliki siasat dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan seksual pekerja laki-laki yang masih bujang dengan mengambil buruh perempuan. Buruh perempuan beberapa dijadikan gundik yang terbebas dari status kuli kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20, dengan demikian mereka tidak lagi kekurangan dalam hal pangan jika dibandingkan dengan upah kuli kontrak yang relatif sedikit. Sekitar tahun 1923-1925, Bagi para tuan kulit putih, kuli atau buruh pribumi tak pernah menyandang status pernikahan dengan perempuan yang mereka tiduri, sehingga muncul pola kebiasaan dalam memandang rendah perempuan dan tak mengindahkan status mereka.[11]
Perkembangan zaman dengan era pengetahuan yang semakin maju, membuat para wanita Jawa turut menyadari pentingnya peran diri mereka dalam ikut ambil andil dalam perubahan, seperti yang dilakukan Kartini untuk keluar dari sistem pembatasan terhadap perempuan, dan memberikan kepada perempuan lainnya kesempatan untuk belajar dan memiliki hak sama seperti laki-laki. Meskipun, Penjajahan Belanda di Indonesia memberi pengaruh terhadap penurunan posisi dan peranan wanita di Indonesia. Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia muncul kembali diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di Yogyakarta yang giat dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk puteri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan pula sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dengan lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917 dirubah menjadi Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa semakin terdidik seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju.[12]
Pemaparan diatas mengenai dialektika perkembangan kesetaraan dan keadilan gender, dapat dipahami bahwasanya dalam tradisi masyarakat Jawa secara umum, perempuan tetap memiliki peran dan posisi yang istimewa meskipun dalam kaitan yang berbeda-beda akan berbeda pula hubungannya. Satu hal yang menjadi penting bahwa, seperti yang ditulis dalam Serat Centhini, perempuan dalam masyarakat Jawa memiliki posisi yang sama dan porsiya seimbang dengan laki-laki. Seperti dikatakan dalam konteks Jawa, perempuan diistilahkan sebagai Siti atau tanah. Sedangkan laki-laki, diibaratkan sebagai Siwa atau api. Penamaan tersebut sama halnya dengan filosofi Lingga Yoni, yaitu perempuan sebagai penyangga yakni sifat yang menjaga, mendorong, dan memelihara, dan laki-laki berdiri sebagai sosok yang dinamis. Jika berangkat pada pemahaman ini, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Jawa sangat menghargai posisi perempuan secara luhur. Jika diatas tadi dikatakan bahwa perempuan lebih fokus pada macak, masak, dan manak, maka jika dikaitkan bahwa perempuan adalah penyangga dalam pemahaman kebudayaan Jawa, berarti itu adalah sebuah bentuk pembagian kerja dalam rumah tangga, karena laki-laki tugasnya adalah mencari nafkah diluar. Dan hal tersebut juga menjadi sangat cocok dan relevan jika dikaitkan dengan simbol ikonografis bahwa kemampuan muncul karena keseimbangan antara laki-laki dan perempuan.[13] 






[1] Justus M Van der Kroef. “Javanese Messianic Expectations: Their Origin and Cultural Context”. Comparative Studies in Society and History, Vol. 1, No. 4. Cambridge University Press, 1959.
[2] Tanti Hermawati. “Kesetaraan Gender dalam Budaya Jawa”. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1, Juli 2007. Hlm.20.
[3] Karkana Kamajaya. Serat Centhini Latin Jilid I-XII. (Yogyakarta: UP Indonesia, 1995). V.341: 6-7.
[4]  Faturochman dan Sadli, Saparinah. “Gender dan Model Penilaian Keadilan”, Jurnal Psikologi Sosial. Vol. 8, No. 2, 2002. Hlm.1.
[5] Keadilan dalam realita kehidupan manusia, menampakkan diri dalam empat perwujudan, yaitu (1) keadilan tukar-menukar: kebajikan untuk selalu memberikan kepada sesamanya sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau sesuatu yang semestinya harus diterima oleh pihak lain, (2) keadilan distributif: kebajikan untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata dan merata menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmaniah dan rokhaniah para warganya, sehingga terlaksanalah azas sama-rasa sama-rata, (3) keadilan sosial: kebajikan untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu, yang memajukan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara, dan (4) keadilan hukum atau umum, yaitu mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum. (Fudyartanta, R.B.S. 1974. “Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta: Warawidyani.)
[6] Justus M Van der Kroef. “Indonesia in The Modern World”. (Bandung: Masa Baru, 1956). Hlm.182-195.
[7] Bedhaya adalah kelompok khusus yang terdiri dari wanita yang bertanggungjawab untuk menjaga symbol-simbol kesaktian, maupun menarikan tari-tarian keramat keraton.
[8] Bennedict R. O G Anderson. “Kuasa-Kata”. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2016).  Hlm.63.
[9] Pingitan adalah fase yang terjadi pada anak perempuan yang sudah berumur 10 tahun lebih dan pada saat itu anak ini tidak boleh berinteraksi dengan dunia luar dan mereka harus mau atau harus setuju dengan semua perintah yang disuruh oleh orang tua mereka.
[10] Sitisoemandari Soeroto. “Kartini Sebuah Biografi. (Jakarta: Gunung Agung, 1976). 
[11] Reggie Baay. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. (Depok: Komunitas Bambu, 2010).
[12] Jajat Burhanuddin. Ulama Perempuan Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[13] Bennedict R. O G Anderson. Op.Cit. Hlm.55.




Biodata Penulis
Irham Kahfi Yuniansah lahir pada September 1998 di Bondowoso, Jawa Timur. Setelah lulus SD melanjutkan pendidikan di Situbondo, SMPN 1 Panji, dilanjutkan jenjang selanjutnya di SMAN 1 Situbondo. Kini mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

IG: irkahfi
WA/No Telpon: +62 82257857524
Email: irhamkahfi123@gmail.com


REFERENSI

Anderson, Bennedict R. O G. 2016. “Kuasa-Kata”. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Baay, Reggie. 2010. “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu.
Faturochman dan Sadli, Saparinah. 2002. “Gender dan Model Penilaian Keadilan”, Jurnal Psikologi Sosial. Vol. 8, No. 2.
Fudyartanta, R.B.S. 1974. “Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta: Warawidyani.
Hermawati, Tanti. 2007. “Kesetaraan Gender dalam Budaya Jawa”. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1, Juli.
Jajat Burhanuddin. 2002. Ulama Perempuan IndonesiaJakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kamajaya, Karkana. 1995. Serat Centhini Latin Jilid I-XII. Yogyakarta: UP Indonesia.
Soeroto, Sitisoemandari. 1976. “Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. 
Van der Kroef, Justus M. 1956. “Indonesia in The Modern World”. Bandung: Masa Baru.
Van der Kroef, Justus M. 1959. Javanese Messianic Expectations: Their Origin and Cultural Context. Comparative Studies in Society and History, Vol. 1, No. 4. Cambridge University Press.
Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual Reviewed by Redaksi on Juni 15, 2020 Rating: 5

6 komentar

  1. Balasan
    1. Terimakasih apresiasinya. Penulis sedang dalam proses belajar dan masih perlu menggali wawasan lebih jauh

      Hapus
  2. Ngeri sekali bung, merdeka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih apresiasinya Bung. Penulis sedang dalam proses belajar dan masih perlu menggali wawasan lebih jauh
      MERDEKA

      Hapus
  3. Menarik, semoga ada kesempatan untuk berdiskusi santai dengan penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih apresiasinya. Monggo silahkan bisa menghubungi kontak yang tersedia dalam bagian biodata penulis

      Hapus