Sastra Erotis, Membaca Sastra Agar Tidak Bertendensi Pornografi



Sebut saja Eka Kurniawan, Oka Rusmini, NH Dini, dan Ayu Utami adalah sederet penulis karya sastra yang secara karya dinilai selalu membangkitkan syahwat. Belakangan ini ada Kedung Darma Romansha dengan bukunya berjudul Talembuk:Dangdut dan Kisah Kisah yang Keparat yang terbit pada tahun 2017. Karya Kedung itu sebenarnya lebih banyak mengisahkan kehidupan masyarakat pantura, secara lebih spesifik Indramayu. Kisah “Talembuk,” merupakan kisah pekerja seks komersial yang di daerah Indramayu akrab dipanggil sebagai talembuk.

Menulis sedikit tentang sastra erotis ini, merupakan buah pikir dari beberapa karya yang membuat saya selalu sumringah ketika membaca. Seperti Cantik Itu Luka, atau Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, sastra erotis yang acap didedaktkan dengan karya beraroma porno kian seru tatkala Dewan Kesenian Jakarta menghelat acara bertajuk Erotisme Sastra: pada 22 Desember 2020.

Diskusi yang hangat tersebut, Eka Kurniawan menarasikan jika erotisme dalam karya sastra tidak berhubungan dengan pornografi. “Sebab berbicara seks, tahapan tahapannya hampir mirip dengan seorang penulis yang hendak menyusun kerangka novel, atau cerita.” Ada pembukaan atau pemanasan dahulu, tidak langsung pada arah klimaks, menjadi tidak seru saat novel tiba tiba klimaks di awal.

Sederhana saja saja, pornografi dipandang kaum feminis dengan karya yang berfokus pada bagian yang dianggap mampu membangkitkan syahwat, misalnya organ genital. Instrumen karya yang mengandung pornografi menjadi tubuh perempuan sebagai objek belaka, manusia tidak lebih dari sebuah benda. Pornografi, sebagai hal yang receh dan cabul.

Sementara itu, erotis atau erotika dipandang Sigmund Freud sebagai organ genital yang dianggap menarik itu sulit dipandang sebagai sesuatu yang indah. Sastra erotis percaya ada yang lain di balik kulit dan wacana yang melampauiannya.

Gloria Steinem dalam artikel karangan Royyan Julian berjudul Syahwat dan Seni Berbahasa mengilustrasikan perbedaan pornografi dan erotika dengan analogi sebuah ruang. Meskipun pornografi dan erotika mengacu pada penggambaran perilaku seksual (dengan kata atau gambar), keduanya berbeda.  Yang satu ibarat pintu tertutup (pornografi), yang lain pintu terbuka (erotika).

Sebenarnya secara sederhana yang membedakan sebuah karya itu pornografi atau sastra erotis adalah bagaimana sang penulis mengungkapkan syahwat. Tulisan yang pornografi menampilkan sesuatu yang gamblang dan apa adanya. Sastra erotis memainkan berahi dalam diksi, imaji, metafor, hingga alegori dengan super canggih.

Dalam sejarah nusantara, artinya perkembangan khazanah sastra Indonesia tidak lepas dari karya yang berbau erotik. Hal tersebut dapat terlihat dari serat Gatoloco, Serat Kamasutra, Serat Centhini, bahkan Serat Tanah Jawi. Meski penulis belum membaca semua karya di atas, tetapi melalui Gatoloco dan Kamasutra sudah cukup tergambarkan bagaimana seorang penulis bermain diksi dengan super canggih.

 

 

Penulis: Dani Alifian, kelahiran Situbondo. Saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Malang, bermain kata sesakali menulis di beberapa media.

Sastra Erotis, Membaca Sastra Agar Tidak Bertendensi Pornografi    Sastra Erotis, Membaca Sastra Agar Tidak Bertendensi Pornografi Reviewed by Redaksi on Januari 14, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar