Bedah QLC Dalam Diri Seorang Pengangguran



“Kok belum kerja?” itulah pernyataan teman tatkala menasihati saya untuk memperkuat mental dan iman ketika mendapat pertanyaan sejenis saat menyandang gelar sebagai seorang pengganggguran. Memang sederhana, namun cukup membuat rasa percaya diri mengerut. Apalagi jika ia seorang lulusan S1 dari sebuah universitas ternama, ya mungkin bebannya lebih berat lagi. Jikalau makna “kerja” bukan cuman sekadar kegiatan menghasilkan uang, pasti para penganggur bisa bernapas lega.

Ketika di rumah, ia bisa mengklaim bahwa dirinya melakukan pekerjaan macam: menyapu, mencuci pakaian, menyetrika, memasak, dan aktivitas bebenah lainnya. Namun realita tidak berkata demikian. Pekerjaan sesuatu yang bakal amat dipertanyakan ketika tamat dari SMA, SMK, dan kampus. Bahkan ada salah seorang teman merantau yang mengaku malas untuk pulang ke kampung sebab ngeri jika ditanya, “Kok belum dapat kerja juga?”

Ia berpikir tanpa ditanya seperti itu, seorang pengangguran pasti melangkah untuk cari kerja sana-sini. Menyisir setiap portal daring maupun media sosial yang segalanya berbau lowongan kerja. Tapi, tuntutan dari lingkungan akan selalu ada. Baik dari lingkungan keluarga maupun kerabat. Bisa dari media sosial juga. Jadi jika seorang pengangguran mengalami kecemasan, keresahan, bahkan berujung putus asa. Merekalah yang amat merasakan “krisis seperempat abad” atau quarter life crisis (QLC).

Quarter life crisis berkaitan dengan krisis emosional yang kerap menimpa usia 20-30 tahun atau tahap ketika orang tersebut memasuki masa dewasa awal. Umumnya ditandai dengan adanya kecemasan, resah, gelisah, bimbang, dan tak percaya diri dalam menjalankan hidup. Hal ini bisa bertalian di bidang karier, relasi atau finansial. Menurut Nash dan Murray (2010) bahwa yang dihadapi individu ketika mengalami quarter life crisis adalah masalah yang berkaitan dengan mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitas, serta kehidupan pekerjaan.

Bila kita bedah pernyataan di atas bahwa QLC biasanya menyangkut soal karier, relasi, dan finansial. Amat jelas semua itu ada pada diri seorang pengangguran. Beban karier misalnya, seorang pengangguran pasti membayangkan mendapat kerja yang enak dan upah yang sesuai. Mereka cari lowongan kerja dengan spesifikasi yang relevan dengan bidang akademisnya. Namun, karena persaingan kian ketat, mau tak mau harus melepas keinginannnya untuk bekerja sesuai bidang yang ia inginkan.

Walhasil, pekerjaan apa pun akan diterima meski itu bukan bidangnya. Kondisi ini pernah ditemui saat penulis menilik beberapa unggahan yang ada di media sosial LinkedIn. Karena kondisi ekonomi di tengah pandemi corona kian jeblok, seorang pencari kerja akhirnya memanifesto dirinya untuk bekerja apa saja asal bisa menghasilkan uang untuk membantu orang tua. Dia berkata demikian juga karena faktor melihat kawannya yang lain sudah pada kerja.

Patut dipahami bahwa pada dasarnya mencari kerja di negara ini memanglah sulit. Dan ketika wabah corona menyerang bumi nusantara pada pertengahan Maret tahun lalu hingga sekarang, kian kritis lapangan pekerjaan dan kian miris kondisi pencari kerjanya. Bergelut dengan ketidakpastian dan keresahan yang membabi buta. Situasi ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis sekitar 29,12 juta orang usia kerja di Indonesia terkena dampak pandemi Covid-19 pada Agustus 2020. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) melonjak dari 5,23 persen naik jadi 7,07 persen.

Kemudian dalam ranah relasi, QLC seorang pengangguran berwujud merenggangnya hubungan dengan orang-orang terdekat seperti orang tua, teman, bahkan pacar atau istri. Kerap mendapat cibiran atau terlalu sering ditanya soal “kapan dapat kerja?” kadangkala membuat hati gundah dan tertekan. Padahal, si penganggur sudah berusaha mencari dan melamar ke puluhan bahkan ratusan perusahaan. Sudah dipersiapkan tampilan CV yang memukau guna menarik perhatian HRD. Pun telah dilakukan upaya “Hi, i’m interested” dalam kolom komentar seorang perekrut di LinkedIn. Jika memang belum berjodoh, ya masa mau dipaksakan?

Syahdan, keadaan demikian mendorong seorang pengangguran untuk menepi dari hiruk pikuk kehangatan keluarganya. Ia merasa tidak berguna apa yang dilakukannya selama ini. Terus-menerus didesak dengan sindiran atau pertanyaan seperti di atas. Jelas hidupnya tak merasa nyaman. Bila kondisinya beralih ke ranah relasi asmara, maka seorang pengangguran akan terjebak dalam situasi minder. Lha, bila pacarnya ajak jalan, mungkin ia akan berpikir dua kali. Ya masa mau minta fulus sama orang tua terus? Mending kalau dikasihnya uang, lha kalau malah diberi wejangan, “Kamu kok jalan-jalan melulu, bukannya cari kerja!” justru makin pedih derita yang diterima.

Itu baru dalam lingkup pacar, bila sudah sah jadi pasangan suami-istri. Masalah pengangguran ini bisa berujung aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hilangnya penghasilan karena di-PHK berakhir pada hilangnya “asap” dalam dapur. Krisis finansial turut memacu seseorang untuk krisis emosional. Oleh karena rasa tersinggung seorang suami bisa saja menyiksa atau bahkan membunuh sang istri. Di masa pandemi kayak sekarang, hal semacam itu jadi rentan terjadi. Organisasi internasional sekelas PBB sejak April tahun lalu sudah memperingatkan bayangan pandemi telah menyebabkan peningkatan KDRT terhadap perempuan. Perilakunya tidak terbatas pada kekerasan secra fisik, seksual atau psikologis, tapi bisa termasuk taktik seperti pemaksaan pernikahan anak.

Dan terakhir, ranah finansial. sebetulnya sudah sedikit disinggung dalam penjelasan di atas. Krisis finansial turut memacu seseorang untuk krisis emosional. Tidak ada uang, berarti sulit untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginan seseorang. Keinginan mungkin malah melebihi kebutuhan. Di zaman sekarang, orang berlomba-lomba ingin pergi ke tempat wisata ini dan itu, ke kafe ini dan itu sekadar untuk bercengkerama maupun melepas penat. Tentu yang pengangguran agaknya sulit untuk memiliki gaya hidup demikian. Sebab pemasukan tak ada, maka ia hanya bisa menyaksikan gaya hidup kawannya itu via instastory saja. Muncul rasa gelisah dan bimbang yang tak berkesudahan. Mimpi dan harapan tak sejalan dengan kenyataan yang akhirnya membuat ia depresi. Merasa bahwa dirinya tak berharga.

Dari pemaparan tersebut, bisa terlihat bahwa QLC yang dialami seorang pengangguran cukup membuat kondisi psikis terpuruk. Meski begitu perlu adanya upaya untuk lekas bangkit dari kondisi yang memprihatinkan itu. Cara masing-masing orang untuk meminimalisir QLC mungkin beragam. Ada yang mengembangkan potensinya di bidang tertentu seperti menulis puisi dan esai, ada pula yang mencari hobi lain agar tak suntuk dan ada yang giat mencari orang dalem  teman senasib agar lebih terbuka saat bercerita tentang kondisi krisis yang ia alami sekarang.

Bila memang predikat menganggur adalah bagian dari jalan hidup yang mesti dilalui. Maka kita mesti menerima dan menyadari kondisi tersebut. Berawal dari proses penerimaan dan kesadaran tersebut maka akan ditemukan bahwa menganggur ialah satu bentuk proses pendewasaan diri agar mampu mengelola emosi di tengah kondisi yang tak pasti.

Menurut Atwood dan Sholtz menyatakan bahwa QLC bisa menjadi alat ampuh untuk menentukan jati diri. “Anak-anak muda mungkin beralih dari satu relasi ke relasi lain, pekerjaan demi pekerjaan, bukan karena mereka tak mampu berkomitmen, melainkan komitmen mereka berbeda. Mereka justru berkomitmen pada diri mereka sendiri–untuk mencari makna dan tujuan hidup, mengejar kebahagiaan dan kebebasan masing-masing apa pun bentuknya,” tulis mereka dalam makalahnya sekaligus jadi penutup tulisan ini.

 

Sumber:

Antaranews.com. Tingkat Pengangguran Melonjak Akibat Pandemi. https://www.antaranews.com/infografik/1826468/tingkat-pengangguran-melonjak-

Rahmania, F. A & Tasaufi. 2020. Terapi Kelompok Suportif untuk Menurunkan Quarter Life-Crisis pada Individu Dewasa Awal di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Psisula,vol (2).

Raimeidi. 2019. Quarter Life Crisis: Saat Dewasa, Tak Seperti Asa.  https://www.biem.co/read/2019/11/29/50834/quarter-life-crisis-saat-dewasa-tak-seperti-asa/

Wahyuni, N.C. Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat Selama Pandemi. https://www.beritasatu.com/dunia/668971/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-selama-pandemi

 

BIODATA

Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di islami.co. terminalmojok.co, tatkala.co, nyimpang.com, nusantaranews.co, pucukmera.id, ibtimes.id., dan cerano.id. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com, literasikalbar, ruangtelisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai, scientia.id, LPM Pendapa, metamorfosa.co, morfobiru.com, Majalah Kuntum, Radar Cirebon, koran Minggu Pagi,  Harian Bhirawa, Dinamika News, dan Harian SIB. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta”.   E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah, WA: 089654580329.

 

Bedah QLC Dalam Diri Seorang Pengangguran    Bedah QLC Dalam Diri Seorang Pengangguran Reviewed by Redaksi on Januari 23, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar